Pages

cursor

Jumat, 17 Mei 2019

SASTRA BANDINGAN. MAKALAH KELOMPOK 3



MAKALAH SASTRA BANDINGAN
POKOK PENGKAJIAN SASTRA BANDINGAN

Hasil gambar untuk logo stkip pgri jb

Dosen Pengampu : Dr. Mu’minin, S.Pd., M.A.

Oleh : Kelompok 3

1.      Bagus Satriawan (166079)
2.      Siti Mufidahtun Nabilah (166105)
3.      M. Zukhruf Fikri A. (166106)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP PGRI JOMBANG
2018 - 2019






POKOK PENGKAJIAN SASTRA BANDINGAN

A. Bidang Kajian Utama Sastra Bandingan

Pokok kajian sastra bandingan sesungguhnya amat luas. Kajian utama sastra bandingan perlu difokuskan, agar memperoleh hasil yang memuaskan. Biarpun saya sebut bidang kajian utama, tidak berarti bahwa bidang lain tidak penting. Kajian utama ini merupakan jalur yang sering digunakan oleh teman-teman yang tertarik pada sastra bandingan. Sebagaimana dinyatakan dalam pengantar buku Jost (1993), pengkajian utama dapat dibagi menjadi empat bidang pokok, yaitu (1) pengaruh dan analogi, (2) gerakan dan kecenderungan, (3) genre dan bentuk-bentuk dan (4) motif, jenis, dan tema. Keempat bidang tersebut bukan harga mati, melainkan masih dapat berkembang, sesuai dengan kebutuhan. Pokok pengkajian sastra bandingan dapat dipertajam lagi sejalan dengan aspek teoritk dan pragmatik yang dipergunakan.

Kategori analogi dan pengaruh ini telah mewarnai sebagian terbesar dari studi sastra bandingan. Pengaruh dan analogi sering dianggap sebagai dua disiplin yang memiliki tujuan tunggal. Bahkan, berbagai studi di berbagai bidang pengetahuan manusia dalam arti tertentu, direduksi menjadi sebuah studi hubungan dalam hal pengaruh atau analogi. Dua permasalahan pokokini telah menjadi master dalam pengkajian sastra bandingan. Analogi dapat disebut juga dengan pengidentikan suatu fenomena sastra. Daya identik sastra satu dengan yang lain, yang perlu dilacak dalam studi sastra bandingan. Analogi juga merupakan kekuatan simbolik seorang pengarang, untuk memburu suatu estetika. Analogi sering berebut dengan konsep pengaruh. Baik analogi maupun pengaruh dapat meluas ke berbagai hal, yang menjadi inti sastra bandingan. Analogi dan pengaruh akan membuka kemungkinan hadirnya pokok-pokok pengkajian yang perlu diungkap.

Gerakan dan kecenderungan pun juga tidak kalah penting, terutama untuk memfokuskan peta kajian. Gerakan dan kecenderungan, juga berguna apabila karya sastra yang dibandingkan secara kebetulan anonim. Karya sastra anonim membu tuhkan pengolahan bahasa dan kecenderungan. Gerakan dan kecenderungan muncul sebagai titik berat, penonjolan unsur, dan timbangan yang paling banyak muncul dalam karya sastra. Gerakan dan kecenderungan dapat terkait dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik sastra.

Adapun pokok kajian genre, bentuk, motif, dan tema hampir selalu muncul dalam pemikiran sastra bandingan yang sempit. Kajian ini cenderung ke arah pencermatan estetika sastra. Sarjana sastra dapat menganalisis gerakan, genre, atau motif untuk memahami keterkaitan antara sastra nasional. Hubungan timbal balik yang benar mempelajari hubungan gerakan, genre, atau motif, atau ketiganya secara bersamaan, karena sarjana dihadapkan dengan pekerjaan tertentu, yang semuanya jelas mengandung tema dan motif dan milik sebuah genre dan gerakan. Jelas, tidak ada perbedaan yang tajam dapat dibuat di antara empat kategori tersebut sering terjadi tumpang tindih dalam studi sastra bandingan. Akibatnya, secara umum, studi pengaruh atau analogi adalah salah satu spesies dari penelitian sastra yang memfokuskan pada interaksi dan kemiripan antara dua atau lebih karya sastra nasional, atau penulis, atau atas fungsi tertentu kepribadian tertentu dalam transmisi doktrin berbagai sastra atau teknik.

Michael Foucault (Gifford, 1993:92) telah menyarankan bahwa hanya ada dua bentuk sastra bandingan, yaitu (1) bandingan pengukuran, yang mengukur keberadaan karya sastra. Pengukuran dapat meliputi unit analisis yang lebih kecil. Tujuan pengukuran adalah dalam rangka membangun hubungan kesetaraan dan ketidaksetaraan dan tatanan dalam karya sastra yang dibandingkan. Kajian pengukuran ini mirip dengan upaya menimbang bobot karya satu dengan yang lain, apakah seimbang atau tidak. Pengukuran perlu dilandasi teori yang matang, agar tidak terjadi simpang siur dan berat sebelah; dan (2) bandingan yang bertujuan untuk menetapkan elemen sastra dan perbedaanya. Sesungguhnya kedua bidang sastra bandingan itu sulit terpisahkan, sebab untuk menimbang karya sastra, jelas diperlukan bandingan unit dan elemen sastra. Sastra bandingan juga sering merunut persamaan dan perbedaan. Studi sastra bandingan di masa lalu cenderung untuk memperhatikan tipe pertama sastra bandingan, menyiapkan kanon penulis primer dan sekunder, teks yang lebih besar dan lebih kecil, budaya kuat dan lemah, mayoritas dan bahasa minoritas, dan mencoba dengan keras untuk menjaga ideologi implikasi dari beberapa tingkatan yang tak terlihat.

Selanjutnya, daerah penelitian dapat dibagi menjadi segmen-segmen lebih banyak, seperti sumber (inspirasi atau informasi yang diberikan atau dipelihara oleh penulis asing atau buku), keberuntungan (respon atau file keberhasilan atau dampak bahwa sastra file dari satu mencapai negara dalam file sastra gambar lain), dan atau fatamorgana (gagasan benar atau salah satu bangsa yang memiliki file sastra lain). Kedekatan antara sastra mendatang dan seni lainnya atau disiplin juga termasuk dalam ruang lingkup studi pengaruh dan analogi. Kajian semacam ini merupakan upaya menyandingkan sastra dengan bidang-bidang lain. Hal ini tergantung arah kepentingan sastra itu apa, sehingga kita bebas membandingkan sastra dengan setidaknya bidang ilmu humaniora. Sebab pada pokoknya sastra merupakan cetusan humanis hidup kita untuk meningkatkan harkat dan martabat.

Dari pokok dan atau bidang kajian sastra bandingan tersebut, perlu penekanan, mana yang ditonjolkan. Penonjolan baru terlihat ketika pengkaji telah membaca banyak karya sastra. Maka sebelum menentukan pokok kajian, perlu memahami beberapa karya, pokok kajian mana yang paling tepat dilakukan. Seluruh pokok kajian menjadi senjata utama, sebelum pengkaji menjalankan tugasnya. Oleh karena pemahaman keempat hal itu harus dikuasai secara mendalam.
B. Sastra Bandingan Mikro dan Makro

Sastra bandingan memang sedang mencari konsep yang tepat. Konsep yang dapat diakui semua pihak itu tampaknya yang tidak mudah ditemukan. Pada dasarnya, ada dua konsep besar yang mewarnai sastra bandingan di negeri ini. Konsep tersebut telah meluas dan banyak menarik perhatian berbagai pihak, baik ahli sastra maupun ahli lain (non sastra). Dua konsep sastra bandingan tersebut, meliputi: (1) sastra bandingan sempit atau mikro bandingan dan (2) sastra bandingan makro, luas. Sastra bandingan mikro, berarti sastra bandingan sempit, terbatas pada bandingan teks sastra dengan teks sastra, atau bahkan hanya antar sastra lokal. Sastra bandingan makro, selain cakupan teks sastra amat luas, juga terkait dengan bidang di luar sastra. Sastra bandingan mikro dapat saya sebut sastra bandingan intradisipliner sastra. Adapun sastra bandingan makro, dapat saya sebut bandingan interdisipliner sastra.

Kedua sastra bandingan itu saling melengkapi, dalam kerangka pemahaman teks sastra secara komprehensif. Keduanya juga sering dilandasi oleh asumsi-asumsi kritis konseptual. Tiap asumsi didukung oleh sejumlah pemikiran. Beberapa pertmuan ilmiah sastra bandingan sering tawar-menawar konsep. Masing-masing pihak masih sering meraba-raba pemikiran masing-masing. Dari berbagai pertemuan, saya selalu menemukan kesimpangsiuran konsep sastra bandingan. Paling tidak, ada dua buku yang sering saling berseteru ketika memahami konsep sastra bandingan, yaitu: (1) di satu pihak, ada yang menganggap sastra bandingan itu asal membanding sastra dua atau lebih; (2) di pihak lain, ada beberapa ahli yang mempersyaratkan bahwa sastra bandingan tidak boleh asal membandingkan karya sastra. Sastra bandingan perlu penataan yang cerdas dan relevansi yang memadai.

Secara umum, Corstius (1968), yang telah lama berkecimpung dengan dunia sastra bandingan juga memberikan konsep yang cukup berarti. Biarpun konsep dia itu tidak seluruhnya ditaati oleh pengikut-pengkutnya, namun cukup memberikan ketegasan yang bermakna. Menurut dia, sastra bandingan adalah studi sastra yang berdasarkan pandangan yang diucapkan oleh para ahli sastra barat. Pandangan ini sulit kita tolak, sebab memang akar keilmuan yang satu ini muncul dari dunia barat, terutama Eropa. Dari konsep sastra barat itu, dapat diperoleh pemahaman bahwa sastra bandingan adalah kajian yang sengaja melihat objek penelitian sastra dalam hal teks, genre, gerakan, kritik, dalam perspektif sastra internasional.
Persoalan sastra internasional ini tampaknya yang sering bias dengan sastra dunia. Sastra internasional juga sering silang beda pendapat dengan bahasa internasional. Maksudnya, apakah setiap karya sastra ayng ditulis dengan bahasa internaisonal, dapat disebut sastra internasional. Persoalan sastra dan bahasa, tampaknya memang tidak pernah selesai diperbincangkan dalam konteks sastra bandingan. Oleh karena, sastra tidak semata-mata masalah bahasa saja, melainkan juga budaya dan muatan lainnya. Yang terpenting, sastra bandingan semestinya berdampak pada pengetahuan sastra. Sastra bandingan tidak sekedar ilmu yang dangkal. Fungsi sastra bandingan inilah yang telah menentukan rencana dan penyusunan buku ini, agar semakin berkualitas.
Asumsi mendasar dari sastra bandingan yaitu adanya keterkaitan antar teks. Keterkaitan itu memunculkan konteks budaya yang bervariasi. Teks satu dengan yang lain selalu terkait, hingga mewujudkan seperti lilitan tali kerbau. Dalam kaitan ini, pernyataan Matthew Arnold (Gifford, 1993:1) biarpun telah lama, sejak tahun 1857 masih penting dipegang teguh. Menurut dia, di mana saja ada hubungan, ada ilustrasi, yang saling terkait antara teks satu dengan yang lain. Secara filosofi, tak ada kejadian yang bediri sendiri, begitu pula yang ada dalam teks sastra. Tak ada karya sastra yang tanpa ada hubungan dengan karya yang lain. Pernyataan argumentatif ini dapat dibenarkan, sebab hampir setiap sastrawan akan membaca karya orang lain, dan ketika itu pengaruh masuk dalam karya dia.

Kalau demikian,konsep itu menandai bahwa studi sastra bandingan memang perlu dilakukan untuk menemukan keterkaitan antar teks. Sastra bandingan dilihat sebagai salah satu istilah untuk menentukan hubungan antar teks dan konteks perlu dilakukan ekstra hati-hati. Keterkaitan teks mungkin amat tipis, tidak begitu kentara, dan ada kalanya amat jelas. Apa pun alasan keterkaitan, tetap ada makna di balik karya sastra itu. Biarpun karya sastra itu amat jelas hubungannya, bahkan limapuluh persen amat mirip, tetap ada makna lain. Dua karya sastra atau lebih tentu saja menawarkan hal yang bervariasi.

Sejak 1903, Benedetto Croce berargumentasi bahwa sastra adalah suatu hal yang tidak meremehkan suatu pendapat yang bisa dilihat sebagai disiplin ilmu yang terpisah. Hal ini paling tidak memiliki dua implikasi mendasar, yaitu: (1) bahwa sastra itu memuat aneka hal, yang mungkin sejajar dengan ilmu lain di luar sastra, (2) keterkaitan sastra dan ilmu lain mewujudkan keharusan yang perlu dilacak. Karya sastra memuat aneka pendapat yang berguna bagi pengembangan ilmu lain. Sekecil apa pun, sastra tetap berguna bagi pembacanya. Sastra bandingan bertugas untuk mengungkap kegunaan sastra itu lewat bandingan dua atau lebih teks sastra. Di antara dua atau lebih karya sastra itu perlu ditemukan, mana yang dipandang lebih bermanfaat dan bermakna.

Sastra bandingan melibatkan studi teks-teks antarkultur atau budaya, atau cabang ilmu pengetahuan yang terkait dengan pola-pola hubungan di dalam kesastraan antara yang satu dengan yang lain, yang mencakup ruang dan waktu. Konsep ini, memuat tiga hal penting, yaitu: (a) sastra bandingan berupa bandingan teks antar budaya yang berbeda, (b) menemukan pola hubungan antar teks yang memuat estetika bermakna, (c) membanding karya sastra dari waktu dan ruang yang berbeda. Ketiga hal ini merupakan jalur utama sastra bandingan, untuk mengungkap variasi teks sastra.

Harus diakui, bahwa kebanyakan orang tidak memulai dengan sastra bandingan, untuk mengungkap kejernihan teks, namun mereka memulainya dengan jalan ilmu sastra lain, yang berawal dari poin-poin yang berbeda. Akibatnya, hubungan antar teks sering terabaikan, sehingga ada klaim bahwa semua ide selalu murni. Padahal, sesungguhnya kalau mau menyadari tak ada satu pun ide yang murni seratus persen. Kadang-kadang perjalanan sastra dimulai dengan suatu keinginan untuk bergerak di luar batasan-batasan dari suatu bidang hal tersebut. Pada saat tertentu seorang pembaca bisa terdorong untuk ikut pada apa yang muncul dan menjadi persamaan antara pengarang-pengarang teks dari konteks budaya yang berbeda. Misalnya saja dengan membaca, setelah kita mulai membaca kita bergerak ke arah pembatasan teks, pembuatan kesatuan dan hubungan, dan terpengaruh olehnya. Biarpun kita tidak lagi membaca sastra di dalam ruang terbuka, pengaruh selalu akan muncul dengan sendirinya.

Subjek yang tepat dalam sastra bandingan adalah sejarah yang berkaitan dengan kesusastraan dimana sastra sebagai suatu medium integral yang terpisah. Subjek sastra bandingan seyogyanya melukiskan pemikiran yang jelas, suatu ungkapan kelembagaan yang umum bagi umat manusia; yang dibedakan, untuk memastikan, kondisi-kondisi sosial individu, dengan pengaruh-pengaruh rasial, historis, ilmu bahasa dan budaya, peluang, dan batasan, hanya dengan tak mengindahkan usia atau (samaran/kedok), yang dirasa oleh pancaindera secara umum, fisiologis dan psikologis, dan mematuhi hukum adat dari material dan gaya, dari setiap dan umat manusia sosial. Jika demikian, subjek sastra bandingan begitu kompleks, emmuat berbagai hal.

Yang menarik, studi sastra bandingan menjadi tidak jauh berbeda dengan mengeksplorasi perubahan-perubahan dan perkembangan serta hubungan timbal balik dari tema atau gagasan yang berkaitan dan berhubungan dengan sastra dan menyimpulkan bahwa tidak ada suatu studi yang lebih baik dibanding riset-riset dari jenisnya. Peristiwa jalin-menjalin antara sastra dengan bidang lain, sulit ditolak. Hal ini dapat digolongkan dalam kategori suatu pengetahuan yang tidak lepas dari sejarah umum dan sejarah kesusastraan. Keduanya telah memunculkan sejarah sastra bandingan yang begitu panjang. Pendek kata, sastra bandingan secara konsepsional memang bersifat cair, bisa berubah setiap saat. Seluruh aktivitas sastra bandingan, selalu bertumpu pada teks sastra. Teks itu bersifat terbuka, penuh muatan, sehingga membuka kemungkinan sastra bandingan dalam arti sempit dan luas.
C. Membanding Sastra Mayor dan Minor

Ahli sastra bandingan harus menguasai ketrampilan-ketrampilan khusus, sebagai bekal akademik. Penguasaan berbagai keilmuan humaniora dan sejenisnya perlu dikuasai sedemikian rupa. Di antara keilmuan sastra yang perlu dipegang teguh, yaitu paham sastra mayor dan sastra minor. Keduanya memiliki implikasi luas. Baik sastra mayor maupun minor sering menjebak para pemikir sastra bandingan.
Istilah majority, memang terkesan menjengkelkan jika disandingkan dengan istilah minority. Oleh karena anggapan keduanya itu seperti bidang politik sastra yang memuat tendensi penyudutan karya sastra. Padahal, tidak tertutup kemungkinan sastra minor juga lebih berbobot. Ada kalanya ide sastra mayor, sengaja mengambil dari sastra minor. Pemahaman istilah ini memang penting, asalkan digunakan secara proporsional disebut sastra mayor. Ada pula yang menyebut sastra mayor, karena ditulis oleh pengarang berkelas nasional dan internasional. Biasanya, sastra mayor selalu ditentukan oleh konteks bahasa. Asalkan karya sastra itu menggunakan bahasa nasional atau bahkan internasional, disebut sastra mayor.
Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature 1989, menyatakan bahwa sastra bandingan membutuhkan kecakapan-kecakapan tinggi tentang ilmu bahasa dari sarjana-sarjana. Ilmu bahasa pula yang memiliki andil penamaan sastra mayor dan minor. Ketika karya sastra itu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti karya-karya Ajib Rosidi dialihbahasakan ke bahasa Belanda, Jepang, Inggris, Rusia, Kroasia, dan lain-lain, dengan serta merta orang akan menggolongkan sastra mayor. Sebaliknya, biarpun karya itu berbobot, kalau hanya ditulis dalam satu bahasa lokal, sering tergolong sastra minor. Bahkan yang menyudutkan, sastra minor ini sering disebut sastra marginal, tidak dikenal, dan kurang tenar.

Selain penguasaan golongan sastra dan bahasa, pemerhati sastra bandingan perlu menguasai kecakapan khusus. Kecakapan yang terkait dengan suatu pelebaran perspektif-perspektif, suatu penindasan-penindasan pendapat; perasaan provinsial dan lokal yang tidak mudah untuk dicapai, patut dikuasai secara matang. Penganut sastra bandingan disini digambarkan seperti seseorang yang mempunyai keterampilan khusus, semacam duta besar internasional. Jika duta besar ahli strategi dan politik internasional, ahli sastra bandingan harus paham sastra internasional. Ahli sastra bandingan juga perlu memahami konsep sastra nasional dan sastra lokal (regional).
Sastra mayor ada pula yang menyebut sastra `agung' dimana sastra `mayoritas' melawan `minoritas', sebagaimana sudut pandang orang India. Sastra agung biasanya dipandang berlevel tinggi. Dalam kaitan dengan hal tersebut, ada dua pihak yang senantiasa bersitegang dalam paham sastra bandingan. Pertama, memang tidak selalu benar ungkapan sastra agung, sebab masing-masing karya sastra memiliki kelebihan masing-masing. Kedua, ada yang berpendapat justru dengan sastra bandingan, akan lahir sastra agung. Pandangan kedua ini, seringkali mendeskritkan sastra minor. Dengan sastra bandingan, sebenarnya semakin menumbuhkan kepercayaan diri sastrawan, yang karyanya digolongkan sastra agung. Sebaliknya, juga akan melumpuhkan sastrawan yang termasuk sastra minor.

Kalau dicermati, sastra bandingan sudah semakin luas cakupan dan persyaratannya. Perkembangan-perkembangan sastra bandingan di luar Eropa dan Amerika Utara benar-benar mematahkan segala jenis dugaan tentang sastra yang telah berdatangan selalu terlihat seperti Eurosentris. Wole Soyinka dan sejumlah kritikus Afrika telah menyingkap pengaruh serapan Hegel yang berpendapat bahwa budaya Afrika `lemah' dibandingkan dengan yang dia anggap lebih tinggi, budaya yang lebih berkembang dan yang secara efektif menyangkal sebuah sejarah Afrika. Dari pandangan ini, menandai bahwa sastra bandingan memang telah melahirkan penilaian sastra. Penilaian itu juga dapat untuk mengukur kadar kualitas budaya masing-masing wilayah sastra.

James Snead dalam sebuah esai yang menyerang Hegel, menyatakan bahwa fakta mencolok dari kebudayaan Eropa akhir abad ke-20 adalah rekonsiliasi kebudayaan terus menerus dengan kebudayaan kulit hitam. Misterinya mungkin bahwa butuh waktu sangat lama untuk mencampakkan elemen dari kebudayaan kulit hitam yang telah ada dalam bentuk tersembunyi, dan untuk menyadari bahwa pemisahan dua kebudayaan tersebut tidak selamanya dari satu asal, tapi dari satu kekuatan.

Yang kita miliki sekarang jadinya adalah sebuah gambaran yang sangat bervariasi dari kajian sastra bandingan yang berubah-ubah menurut tempat terjadinya. Kritikus Afrika, India, dan Karibia telah menantang penolakan dari kesepakatan kritik sastra barat untuk menerima implikasi-implikasi sastra merata dan kebijakan budaya mereka. Terry Eagleton telah berpendapat bahwa sastra dalam artian yang telah diwariskan kepada kita adalah sebuah ideologi. Terry membahas cara dimana kemunculan Bahasa Inggris sebagai sebuah mata pelajaran akademis di abad ke-19 memiliki implikasi politis yang cukup jelas. Atas dasar bandingan itu, dia berhasil menulis teori sastra yang saya pandang lebih komprehensif. Hal ini berarti kejelian sastra bandingan besar pula sumbangannya terhadap perkembangan teori sastra.


Pada akhir abad 20 mungkin saja kita mulai memperdebatkan mengenai tahap baru permasalahan sejarah sastra bandingan. Tidak salah lagi sastra bandingan menjadi krisis bahasa, tetapi ini sangat menarik untuk diperdebatkan saat kepala negara bagian Eropa timur merevisi silabus mereka, karena rasa nasionalisme sudah mulai menghilang di negara bagian barat. Penurunan jumlah pelajar, kekhawatiran akan pertimbangan yang muncul mengenai kegunaan dari sastra bandingan membuat jumlah murid menurun lalu mereka membandingkan dua sistem teks yang berbeda tetapi idak menemui titik temu yang diharapkan. Belakangan ini sastra bandingan mengalami perkembangan di Eropa dan USA, mereka menyetujui dan mengikuti perkembangan itu.

Ketika sastra bandingan di Negara dunia ketiga dan di Negara timur mengubah agenda mereka mengenai sastra bandingan, tetapi krisis bahasa di barat tetap berlanjut. Sastra bandingan yang baru ini menimbulkan pertanyaan bagi ahli bahasa di Eropa. Proses menuju kesepakatan bersama mengalami banyak hambatan.Salah satu contohnya mengenai kritik kewanitaan, dan pertanyannya orientasi pria pada sejarah kebudayaan dan dalam teori modern, para pembaca mengulang inti bacaanya, dan saat para penulis seperti Jacques Derrida dan Pierre Bourdieu, mengutarakan sebuah bagian yang dimainkan oleh struktur kekuatan institusi di pusat liberal yang menyeluruh.
Biasanya pembaca dari barat mencoba memecahkan tantangan tanpa menggunakan sastra bandingan. Mulai pada tahun 1990 kembalinya dan munculnya kepentingan baru kawasan pelajar. Terbukanya pernyataan baru bahwa kejayaan para penulis yang mengikuti perkembangan jaman dan dengan metode kritik persilangan budaya pada sebuah konstitusi. Perkembangan perluasan secara cepat yang lain dalam studi sastra dan salah satunya memiliki implikasi yang besar terhadap kesusastraan bandingan yang akan datang, yaitu `studi penterjemahan'. Sejak awal penggunaan istilah ini pada pertengahan 1970-an, studi ini dikembangkan sampai sedemikian luasnya (melalui penerbitan, pertemuan-pertemuan, pembentukan ketua-ketua di berbagai belahan dunia). Kehadiran organisasi Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI) telah berkali-kali mempelopori studi sastra bandingan. Organisasi Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera), juga banyak memunculkan ide besar sastra bandingan.
D. Jejak Romantis dan Eksotisme dan Sastra Bandingan

Sastra bandingan tidak akan lepas dari gerakan atau aliran sastra. Penentu aliran ini pun sering lahir dari sastra bandingan. Maka hubungan timbal balik sastra bandingan dan aliran terjadi secara siklis. Aliran sastra di dunia ini sungguh sulit dibatasi. Setiap ahli sering memiliki alasan tersendiri dalam menentukan aliran sastra.
Satu masalah yang terkait dengan aliran romantisme yang harus diperlakukan di sini berhubungan dengan istilah romantis dan asal-usul serta evolusi di berbagai bagian Eropa. Kurangnya analisis sastra bandingan yang memanfaatkan romantisme telah menyebabkan bagian dari ketidakpastian dan kebingungan di kalangan sarjana. Saya sadari bahwa romantisme di Indonesia jarang dipahami sebagai sebuah gerakan sastra. Padahal sesungguhnya, tidak sedikit karya sastra Jawa, Sunda, Bali, Makasar, Sasak, dan lain-lain yang menawarkan berbagai aliran romantik. Ciri-ciri romantisme hampir selalu ada dalam setiap wilayah sastra manapun, sehingga sastra bandingan yang memanfaatkan tidak akan keliru.
Dalam konsepsi Jost (1993) ada beberapa macam romantisme sastra. Dia tampaknya mendasarkan karya-karya Perancis dan Jerman, untuk menamakan romantisme yang bervariasi. Menurut dia, manakala karya sastra mencerminkan perbuatan dan perasaan mirip dengan pahlawan roman cenderung dapat disebut mengikuti aliran romantisme. Setelah mempelajari bildungroman di Jerman dan beberapa karya Perancis, Jost menggolongkan lima macam romantisme, yaitu: (1) romantis pada abad pertengahan, yang memuat kisah cinta, (2) romantis yang memuat kukisan luar biasa, aneh, (3) romantis pisturesque (yang menggambarkan keindahan danau, kebun, taman), (4) romantis kasar (gambaran tentang laut, pegunungan, padang pasir, hutan), (4) romantis spontan, alami (sebagai lawan buatan, fiktif), (5) romantis: oversentimental, eksentrik (sebagai lawan sensitif, sederhana). Silahkan saja keragaman romantisme ini digunakan, namun menurut hemat saya tidak selamanya tepat, terutama ketika menggolongkan romantisme kasar. Gambaran laut misalnya, mengapa digolongkan kasar. Konsep ini perlu dipertanyakan, begitu pula lukisan romantis spontan, yang tidak disertai contoh.

Studi tentang romantis tidak memunculkan sinar baru terhadap kehidupan, terutama ketika mereka harus menafsirkan keberadaan manusia. Di antara sifat-sifat dasar romantik biasanya cenderung ke arah alineasi sosial, menuju isolasi metapfisik, dan perpindahan ke arah nilai-nilai budaya dan estetika. Secara umum, bahan penulis romantis cenderung untuk mengungkapkan hal-hal mistis dan transendental. Namun romantisme adalah karakteristik dari sifat manusia yang terintegrasi ke alam atau ke dunia lain, melalui pernyataan imajinasi dan hati. Sentuhan-sentuhan humanisme biasanya selalu hadir dalam romantisme. Kisah-kisah hidup yang penuh liku-liku dan tantangan, mewarnai romantisme, baik romantisme tradisional maupun romantisme modern.
Selain romantisme, ada aliran sastra yang berdampingan, yaitu eksotisme. Eksotisme sering tumpang tindih dengan romantisme. Kecendrungan sastra, seperti eksotisme, berbeda dari gerakan sastra atau saat ini, seperti boroque, romantisme, atau naturalisme, karena tidak terbatas baik periode tertentu maupun wilayah geografis tertentu. Eksotisme dalam arti luas, berasal dari berbagai sikap psikologis seorang pengarang. Ia sering mengungkapkan keinginan manusia untuk melepaskan diri dari peradaban dan kecerdasan untuk menemukan alam yang lain dan lingkungan sosial, yang asing dan aneh. Hal ini dapat membantu untuk memelihara salah satu mimpi manusia, impian yang jauh itu, sampai ke hal yang sulit terjangkau dan misterius.
Celah lain dari eksotisme, yang berasal dari kebutuhan untuk bertindak, adalah diwujudkan dalam eksplorasi, petualangan, dan penemuan. Dalam eksotisme sastra sering muncul dari kekuatan sejarah tertentu yang telah dihasilkan dari usaha untuk mewujudkan cita-cita tertentu. Dari sini tidak tertutup kemungkinan bahwa eksotisme merupakan luapan imajinatif yang kadang-kadang berlebihan. Gaya eksagerasi, melebih-lebihkan, sering muncul dalam eksotisme. Celakanya, eksotisme ini di dunia timur, Asia Tenggara dan sekitarnya sering dilarikan ke dunia erotik dan bahkan sastra porno. Hal ini tentu menjadi tugas kritikus bersama sastra bandingan untuk menjelaskan kepada khalayak yang sering buta terhadap paham sastra.

Menurut Jost (1993), istilah eksotis berasal di Yunani, di mana kata sifat eksotikos umumnya berarti "asing" dan diterapkan pada apa yang di luar batas negara, yang berarti dekat dengan yang barbaros atau barbarikos, atau hanya di luar batas keluarga. Jadi Plautus unguenta exoticaica menggunakan frase dan berbicara tentang eksotisme dengan referensi, antara lain hal, untuk pakaian dipakai di negara-negara asing. Konsep ini menunjukkan bahwa karya sastra yang sering melukiskan pakaian minim, tubuh sintal, dengan ungkapan berlebihan dapat disebut eksotis. Eksotis sastra sering menjadi daya pikat tersendiri bagi karya sastra. Eksotisme ini sering merembes dari generasi ke generasi, sehingga layak dibandingkan satu sama lain. Bahkan dalam dunia sastra Jawa, pernah terjadi suatu aliran panglipur wuyung yang dekat sekali dengan istilah eksotisme. Pada periode itu, karya sastra sering digolongkan sebagai sebuah hiburan. Pengarang beramai-ramai mengekspresikan idenya, dibumbui bunga-bunga yang menyedot daya eksotis.
Kalau dirunut lebih jauh, eksotisme berasal dari turunan kata sifat ditemukan dalam berbagai bahasa: eksotisme (lebih lancar dalam bahasa Inggris dari exotism), exotisme dalam bahasa Perancis, dan Jerman exotismus, dan istilah itu di dunia internasional menjadi istilah terkenal. Istilah exoticness dalam bahasa Inggris abad ke delapan belas tidak pernah menyeberangi Selat, istilah exotical dan exoticalness telah hilang, sedangkan eksotik substantif, yang dapat menetapkan tanaman dan benda-benda, telah selamat dan banyak digunakan dalam karya sastra.

Atas dasar hal tersebut, berarti tugas sastra bandingan dapat melakukan kajian karya-karya sastra secara diakronik yang menggunakan konsnep aliran eksotik. Bisa jadi karya sastra itu terjadi saling sentuh satu sama lain dan bahkan sering ada peniruan gaya eksotis. Sastra bandingan akan menujunkkan titik tertentu, bahwa karya sastra eksotis pun tetap memiliki nilai lebih. Karya eksotik yang ada keterkaitan satu sama lain itu, pada akhirnya tidak akan dipojokan sebagai karya hiburan, tendensius, dan berkorban demi pembaca.

E. Estetika dan Analogi dalam Sastra Bandingan

Estetika adalah wacana penentu bobot sastra yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Jika sastra itu tidak estetis, sama halnya sampah. Jost (1974) dalam pengantar bukunya cukup membuka mata batin kita terhadap keterkaitan antara karya sastra, estetika, dan studi sastra bandingan. Menurut dia, estetika memang penting dipertimbangkan dalam sastra bandingan. Keindahan sastra tidak hanya ditentukan oleh tema, ide, dan struktur, tetapi juga oleh elemen tertentu terutama bahasa individu: suara, ritme, dan citra verbal. Sebuah pendekatan secara eksklusif nasionalistik terhadap sejarah sastra dan kritik sastra telah menjadi absolut sebagai penentu sastra kontemporer dan kurikulum perguruan tinggi yang membuka program sastra bandingan.

Orientasi intelektual modern tersebut telah melahirkan disiplin akademis baru dalam bidang sastra bandingan. Siapa pun yang peduli pada sastra international dan nationalstik dapat melakukan studi sastra bandingan. Baik sastra internasional maupun sastra nasional, kunci utama yang perlu diperhatikan adalah estetika. Estetika juga sering berkembang dari waktu ke waktu. Keadaan itu merupakan tantangan baru bari perkembangan sastra komparatif. Semua program, kajian, dan publikasi dalam sastra bandingan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori.
Pertama kategori yang paling heterogen menunjukkan kerja sehubungan dengan penulis yang memiliki afinitas organik. Hubungan khusus dan ikatan diselidiki dalam istilah pengaruh suatu karya di atas karya yang lain. Sehubungan dengan analogi antara beberapa karya, dan dalam kaitannya dengan terjemahan buku utama dalam perbedaan bahasa, sastra bandingan dapat dilakukan. Dalam kategori ini juga perlu dipertimbangkan aspek interdisipliner sastra komparatif. Keterkaitan antara sastra dalam arti biasa dan domain budaya lain, seperti filsafat dan psikologi, sosiologi dan linguistik, musik, dan lukisan jelas membuka peluang sastra bandingan.
Kedua, bidang sastra bandingan dapat berisi studi tentang gerakan dan kecenderungan seperti Renaissance, Baroque, Classicism, Romantisisme, Realisme yang memuat peradaban barat. Namun bakat penulis yang dominan atau mencolok mungkin, karyanya selalu mencerminkan Zeitgeist sastra karena dikandung dan lahir pada tahap tertentu yang membentuk kepribadiannya serta membantu intelektual dan artistik. Tiap gerakan sastra sering memiliki estetika tersendiri. Misalkan saja, estetika sastra di era epos, tentu berbeda dengan roman-roman panglipur wuyung.

Ketiga, terdiri dari analisis karya sastra dari sudut pandang sastra terutama dari bentuk-bentuk lahir dan batin serta genre mereka. Jenis investigasi, untuk tradisi dari tahun ke tahun pada tingkat nasional, yang melacak genre telah menjadi semakin relevan pada skala internasional. Estetika tiap genre sastra memiliki kekhasan, yang dapat dibandingkan dengan genre lain.

Keempat, mencakup studi tentang tema dan motif yang lebih spektakuler yang mereka hubungankan dengan tipe seperti Ulysses dan Prometheus, Don Juan dan Faust. Tapi tema dan motif dapat juga abstrak dan konseptual murni. Mereka mungkin terkait dengan topik seperti patriotisme, pemberontakan, persahabatan, dan kematian. Semula, studi ini banyak dilakukan oleh pemerhati sastra bandingan lisan. Banyak karya sastra lisan yang memiliki motif dan tema mirip, hingga bisa dibandingkan satu sama lain.

Empat kategori tersebut secara analogi dapat dilambangkan oleh elemen dasar kimia kuno: udara, air, bumi, dan api. Analogi ini juga hampir berlaku pada sastra-sastra bernuansa mistik. Anasir hidup yang terdiri dari empat hal itu jelas sebuah wawasan kosmos. Ternyata wawasan kosmos pun seiring dengan estetika sastra. Estetika ini yang membuka peluang kajian sastra bandingan menjadi semakin kompleks.
Air yang menyatukan seluruh hidup di dunia, menunjukkan hubungan sastra secara keseluruhan. Air merupakan gerakan sastra. Seperti aliran air adalah citra klasik untuk suatu waktu, studi gerakan harus mempertimbangkan urutan kronologis serta acara budaya. Suasana hati artistik dan intelektual mode mengembangkan dan kemajuan sebagai sungai tumbuh dari sebuah aliran pada sumber. Bumi adalah satu-satunya unsur yang mengasumsikan bentuk padat tahan lama, itu menandakan genre sastra. Untuk melengkapi analogi kami, api menggambarkan tema dan motif, tembus jiwa setiap produk sastra.

Metafora tersebut lebih dari perangkat nemonik untuk berbagai jenis studi banding. Mereka juga harus mengingatkan kita bahwa sastra bukan ilmu seperti kimia modern, melainkan seni, sebab penilaian sastra dapat terjadi pada setiap pendekatan kami. Selain alat kritis dan di luar sarana ilmiah, di luar semua spekulasi dogmatis ada dunia estetika, bahwa dunia sastra yang tepat. Namun, meskipun sastra itu sendiri memunculkan respon kontemplatif, penafsiran yang memuat pengetahuan di bidang yang paling beragam mulai dari sejarah agama dan seni rupa. Untuk berbagai derajat, aspek-aspek sastra bandingan dianggap terjiwai dari seluruh buku ini

PUISI. MAKALAH PUISI KELOMPOK 3





PENYIMPANGAN BAHASA PUISI

A. Deskripsi

Pada bab ini Anda akan penyimpangan bahasa puisi. Puisi memiliki bahasa yang berbeda dengan karya prosa. Struktur yang padat dan penuh kontemplasi membuat penyair menggunakan berbagai penyimpangan bahasa. Penyimpangan bahasa terdiri dari penyimpangan leksikal, semantis, fonologis, morfologis, sintaksis, dialek, register, historis, dan grafologis.

B. Relevansi

Materi ini memiliki relevansi yang penting bagi Anda. Dengan mempelajari bab ini adalah Anda akan memahami penyimpangan bahasa yang terdapat di dalam puisi. Kebebasan pengarang dalam mengekspresikan

pendapatnya           ditandai          dengan          penyimpangan-penyimpangan tersebut. Pemahaman tentang penyimpangan bahasa puisi akan membantu Anda mengkaji puisi tersebut.

C. Capaian Pembelajaran MK

Capaian pembalajaran MK pada bab ini adalah mahasiswa mampu menjelaskan berbagai penyimpangan bahasa di dalam puisi.


4.1       Penyimpangan Bahasa Puisi

Penyimpangan bahasa puisi merupakan gejala linguistik yang khas di dalam puisi namun tidak sesuai dengan sistem atau norma kebahasaan. Di dalam puisi banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan bahasa, paling tidak dapat dirinci sebagai berikut:

1.       Penyimpangan bahasa pada penulisan kata dilakukan untuk mencapai efek estetis, baik untuk permainan bunyi, rima, dan irama, maupun untuk enjabemen dan tipografi.

2.       Penyimpangan bahasa pada penggunaan dialek terjadi karena bahasa resmi tidak mampu merepresentasikan konsep yang terdapat di dalam dialek.

3.       Penyimpangan  bahasa  pada  penggambaran

wujud puisi dilakukan karena bentuk konvensional tidak mewakili makna yang akan disampaikan di dalam puisi.

Faktor-faktor tersebut akan terus terjadi selama bentuk konvensional tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para penyair. Dalam contoh-contoh di bawah ini akan terlihat bagaimana penyair melakukan penyimpangan-penyimpangan tersebut di dalam puisinya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut meliputi penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan morfologis, Penyimpangan sintaksis, penyimpangan dialek, penyimpangan register, penyimpangan historis, dan penyimpangan grafologis (Leech, 1969: 42-51).

4.1.1 Penyimpangan Leksikal

Penyimpangan leksikal adalah penyimpangan yang terjadi pada tataran penulisan kata yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa. Penyimpangan tersebut bukan terjadi akibat salah ketik, namun dimaksudkan oleh penyair untuk maksud tertentu. Dalam puisi D. Zawawi Imron, ia menulis kata ilalang menjadi lalang.
Bulan Tertusuk Lalang

Karya D. Zawawi Imron

bulan rebah

angin lelah di atas kandang
cicit-cicit kelelawar

menghimbau di ubun bukit

di mana kelak kujemput anak cucuku menuntun sapi berpasang-pasang

angin termangu di pohon asam bulan tertusuk lalang

tapi malam yang penuh belas kasihan menerima semesta bayang-bayang dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian (1978) 

4.1.2 Penyimpangan Semantis

Penyimpangan semantis adalah penyimpangan yang terjadi pada tataran makna sebuah kata. Makna kata yang semula bernilai rasa biasa kemudian berubah sehingga memiliki makna yang luar biasa. Kemunculan kata tersebut bergantung kepada latar belakang penyairnya. Misalkan kata tembakau dan garam menjadi makna yang berbeda di hadapan para penyair Madura pada umumnya. Tembakau dan garam tidak lagi hanya menjadi bahan untuk membuat rokok dan bumbu dapur, namun tembakau dan garam telah bermakna napas hidup, ritual keagamaan, dongeng masa kanak, warisan budaya, dan makna lainnya. Perhatikan dua penyair Madura menulis garam dalam sebuah puisi.



Anak-anak Tembakau

Karya Jamal D. Rahman

kami anak-anak tembakau

tumbuh di antara anak-anak batu

nafas kami bau kemarau campur cerutu

bila kami saling dekap,


      kami berdekapan dengan tangan kemarau bila kami saling cium,

      kami berciuman dengan bau tembakau

     langit desa kami rubuh seribu kali tapi kami tak pernah menangis sebab kulit         kami tetap coklat secoklat tanah

     tempat kami menggali airmata sendiri

     langit desa kami rubuh seribu kali tapi kami tak pernah menyerah

    pada setiap daun tembakau kami urai urat hidup kami pada setiap pohon        tembakau kami rangkai serat doa kami  (2000)



Tanah Garam

Karya Mahwi Air Tawar

Ini jalan kutempu berulang

Antara tana merah, retakan kemarau

Dan Madura terus mendesah

Sambil menabur bulir-bulir garam
Di selat pelabuhan karapan
Di sepetak tana impiaN
Orang-orang kampung terkurung

Kujinjing rinjing penuh garam
Hingga ujung selat
Kureguk air laut yang payau
Kutunggangi sampanmu hingga tepi

Di seberang anak-anak tembakau
Mendera pilu, nyanyian sumbang mengantar Perahumu yang berayun tanpa jangkar!



4.1.3 Penyimpangan Fonologis

Penyimpangan fonologis adalah penyimpangan yang terjadi pada bentuk bunyi. Bunyi yang terdapat di dalam puisi tersebut tidak sesuai dengan bentuk bunyi yang sesuai kaidah. Penyimpangan fonologis sejalan dengan morfologis, karena pembunyian di dalam puisi sifatnya tertulis. Dalam puisi Lagu Ibu karya WS Rendra kata merica ditulis mrica. Dalam puisi ini Rendra seakan ingin menghilangkan bunyi vakal e pada kata tersebut.

Lagu Ibu

Karya WS Rendra

Angin kencang datang tak terduga
Angin kencang mengandung pedas mrica.

Bagai kawanan lembu langit tanpa perempuan.

Kawanan arus sedih dalam pusaran.

Ditumbukinya pedas dan batu-batuan. Tahu kefanaan, ia pergi tanpa tinggalan. Angin kencang adalah berahi, sepi dan malapetaka.

Betapa kencang serupa putraku yang jauh tak terduga.

4.1.4 Penyimpangan Morfologis

Penyimpangan morfologis adalah penyimpangan yang terletak pada cara pembentukan kata. Pembentukan kata tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa. Ketidak sesuaian tersebut dilakukan antara lain karena ingin membangun suasana dan bunyi di dalam puisi. Misal saja dalam puisi Mahwi Air Tawar di atas dalam puisi Tanah Garam. Kata tanah ditulis dengan tana seperti tampak pada baris Antara tana merah, retakan kemarau dan Di sepetak tana impian. Frasa tana merah dan tana impian seakan memberikan petunjuk kepada pembaca dengan kultur budaya madura. Tanah sering disingkat menjadi na, sehingga tanah merah sering dibunyikan namirah.

4.1.5 Penyimpangan Sintaksis

Penyimpangan sintaksis adalah penyimpangan terdapat pada tataran pembentukan sebuah kalimat. Susunan kalimat dalam kaidah bahasa Indonesia paling tidak tersusun minimal terdiri dari Subjek dan Predikat. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Luka, tidak terlihat ada subjek dan predikatnya, karena isinya hanya ha ha.

Luka

Karya Sutardji Calzoum Bachri

ha ha

1976

Selain itu, kalimat yag baik juga harus dilengkapi dengan tanda baca (koma, titik, tanda seru, tanda tanya). Namun puisi Luka tersebut tidak menggunakan tanda baca sama sekali.

4.1.6 Penyimpangan Dialek

Penyimpangan dialek adalah penyimpangan yang terletak pada penggunaan dialek dibandingkan dengan bahasa resmi. Penggunaan dialek tersebut dipilih karena bahasa daerah dianggap lebih mewakili gagasan atau konsepnya dibandingkan bahasa resmi. Indonesia memiliki ragam dialek yang banyak. Tentu keragaman tersebut membuat puisi di Indonesia sangat kaya. Beberapa penulis sengaja memberikan dialek untuk menuangkan gagasan estetiknya. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut,


Ayolah Warsini

Karya Wiji Thukul

Warsini! Warsini!

Apa kamu sudah pulang kerja Warsini

Apa kamu tak letih seharian berdiri di pabrik Ini sudah malam Warsini

Apa celana dan kutangmu digeledah lagi Karena majikanmu curiga kamu membawa bungkusan moto

Atau apakah kamu mampir di salon lagi Berapa utangmu minggu ini

Apa kamu bingung hendak membagi gaji

Ayolah warsini

Kawan-kawan sudah datang

Kita sudah berkumpul lagi disini

Kita akan latihan drama lagi

Ayolah Warsini

Kamu nanti biar jadi mbok bodong

Si Joko biar menjadi rentenirnya

Jangan malu warsini

Jangan takut dikatakan kemayu

Kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu

Biar kamu Cuma buruh

Dan sd saja tak tamat

Ayolah Warsini

Mas Yanto juga tak sekolah Warsini

Iapun Cuma tukang plitur

Mami juga tak sekolah

Kerjanya mbordir sapu tangan di rumah

Wahyuni juga tidak sekolah

Bapaknya tak kuat bayar uang pangkal sma

Partini penjahit pakaian jadi

Di perusahaan milik tante Lili

Kita sama sama tak sekolah Warsini

Ayolah warsini

Ini sudah malam Warsini

Ini malam minggu warsini

Kami sudah menunggu di sini

Di dalam puisi berjudul Ayolah Warsini, Wiji Thukul menggunakan bahasa jawa untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikannya di dalam puisi, kata-kata mbordir dan mbayar merupakan kata-kata yang bukan berasal dari bahasa Indonesia.

4.1.7 Penyimpangan Register

Penyimpangan register adalah penyimpangan yang terletak pada penggunaan bahasa atau istilah yang hanya dipahami oleh sebuah kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Kata-kata di dalam penyimpangan register ini merupakan kata-kata yang umumnya digunakan dalam ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan. Misalnya, kata lingua franca dalam topik linguistik, istilah tersebut jika dicari tidak ada di dalam KBBI, namun terdapat di dalam kamus leksikon linguistik. Akan tetapi, tidak semua penyimpangan register baru ditemukan di leksikon khusus, kadang pula suda masuk kamus umum namun istilah tersebut tetap tidak dimengerti oleh masyarakat pada umumnya. Dalam puisi Tanggamus, Wayan Sunarta menggunakan istilah-istilah arkeologi, yaitu nama-nama batu, antara lain, dolmen, monolit, menhir pada bait ketiga dalam puisi tersebut. Ketiga istilah ini akan asing di mata para pembaca apalagi yang tidak mencintai dunia arkeologi.

Tanggamus

Karya Wayan Sunarta

di Tanggamus, aku menemukanmu o, saudara masa lalu

yang lahir kembali
di kebun-kebun kopi

siapa menujum ruhmu

berserakan jadi bongkah-bongkah batu tumbuh di ladang-ladang hijau kaum tani

jangan tanya aku dari mana

aku hanya pasasir

yang mampir

setelah beratus-ratus tahun terlunta
di setapak jalan yang tak kupahami
kini, aku menemukanmu meski yang menyapaku hanya tumpukan batu dolmen, monolit, menhir, lumpang, lesung dan beliung
aku merindukanmu,

wahai bayang yang hilang


adakah kau sembunyi di kebun-kebun kopi atau merasuk ke lembah-lembah keramat
yang dihuni danyang dan memedi?

kupungut sebutir batu

sekilas ingatan menyelami masa silam o, beliung itu masih tersimpan rapi

dalam sarkopagus, bersama manik-manik, serpih-serpih tembikar, jimat dan mantra menemani belulangku yang kian rapuh

berapa darah hewan buruan tumpah di situ berapa umbi lumat dan tandas

o, beliung yang begitu memukau, perkakas terakhirku yangsetia

warna-warni bianglala membias di dingin tubuhnya
dan melintas jua parasmu, 
Ibu gajah dan kerbau dari batu
yang kutatah untukmu
menggigil dalam cuaca dinihari halimun menyungkupi sukmaku
kenangan demi kenangan membuncah aksara-aksara menjelma di bongkah batu
namo bhagawate...



4.1.8 Penyimpangan Historis

Penyimpangan historis merupakan penyimpangan yang terletak pada penggunaan kata-kata yang sudah jarang digunakan atau arkeis di dalam sebuah puisi. Penggunaan kata-kata arkeis atau yang jarang digunakan masyarakat tentu menjadi sebuah penyimpangan lantaran ekspresi kebahasaan sebaiknya menggunakan kata yang dipahami, pemahaman akan muncul jika kata-kata tersebut sering digunakan. Dalam puisi Abimardha Kurniawan berjudul Nelayan Pesisir ia menggunakan kata sakal sebagai ganti angin. Kata ini sudah jarang digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Berikut kutipan puisinya,


Nelayan Pesisir

Karya Abimardha Kurniawan

...

Aduh, tak mahir aku menyela sakal

Berayun sampanku

Ditimang si ombak nakal.

...

Penggunaan kata sakal dalam puisi tersebut agaknya digunakan penyair untuk membentuk rima tertentu. Hal ini terlihat pada baris ketiga bait tersebut, kata nakal memberi peran rima untuk kata sakal.

4.1.9 Penyimpangan Grafologis

Penyimpangan grafologis adalah penyimpangan yang terletak pada bentuk penulisan kata, kalimat, larik, dan baris yang tak sesuai dengan kaidah bahasa. Penyimpangan grafologis memiliki peran tersendiri di dalam puisi. Dapat sebagai pelengkap suatu makna, namun juga dapat dijadikan sebagai hiasan di dalam puisi. Dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri terlihat gejala tersebut, misalnya pada puisi Q, Ah, Pot, Tragedi Winka dan Sihka, batu, dan puisi lainnya. Berikut merupakan salah satu contohnya,


Tapi

Karya Sutardji Calzoum Bachri

aku bawakan bunga padamu

tapi kau bilang masih

aku bawakan resahku padamu

tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu

tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu

tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu

wah!

Puisi di atas secara tipografi masih terpola dengan jelas, berbeda dengan puisi Q, Pot, dan Ah yang sepertinya tidak memiliki pola yang jelas dalam pembaitannya. Meskipun demikian, pola di atas sangat tidak konvensional sehingga termasuk ke dalam penyimpangan grafologis.



4.2       Rangkuman

Penyimpangan bahasa puisi merupakan pola penulisan yang khas di dalam puisi yang berbeda dengan struktur atau kaidah bahasa resmi. Penyimpangan bahasa puisi terbagi menjadi sembilan, yaitu: penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan morfologis, penyimpangan sintaksis, penyimpangan dialek, penyimpangan register, penyimpangan historis, dan penyimpangan grafologis.

Daftar Pustaka

Leech, Geoffrey N. 1969. A Linguistic Guide to English Poetry. New York: Longman.

Solihati, Nani, Ade Hikmat, dan Syarif Hidayatullah. 2016.

Teori Sastra: Pengantar Kesusastraan Indonesia.

Jakarta: Uhamka Press.



Perempuan Serumpun

Karya Husen Arifin

Tak pernah sehadapan ini, aku

Jumpai ulat bulu di matamu menari-nari

Dan kembang patah, reranting rebah.

Pada gerak ritmis ulat bulu

Membuatku rindu berlapis-lapis padamu.

Yang tak kutempuh ketika rembulan sepicis lagu. Hari-hariku berguguran seperti salju. Dan hujan menyertai kesunyian. Aku tertutupi arak-arak hitam awan. Dan akasia melayu. Ulat bulu di matamu memburuku.

Kembang jepun, perempuan serumpun.

Aku jumpai ulat bulu di matamu.

Setelah sedendang gurindam, layar langit menyergah pagi buta seolah menggiringku ke tabahnya rindu.
Sebab kaulah ulat bulu

yang menari di hatiku, yang luruh di dadaku.