POKOK PENGKAJIAN SASTRA BANDINGAN
Dosen Pengampu : Dr. Mu’minin, S.Pd., M.A.
Oleh : Kelompok 3
1.
Bagus Satriawan (166079)
2.
Siti Mufidahtun Nabilah (166105)
3.
M. Zukhruf Fikri A. (166106)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP PGRI JOMBANG
2018 - 2019
POKOK
PENGKAJIAN SASTRA BANDINGAN
A. Bidang Kajian Utama Sastra
Bandingan
Pokok kajian sastra bandingan sesungguhnya amat
luas. Kajian utama sastra bandingan perlu difokuskan, agar memperoleh hasil
yang memuaskan. Biarpun saya sebut bidang kajian utama, tidak berarti bahwa
bidang lain tidak penting. Kajian utama ini merupakan jalur yang sering
digunakan oleh teman-teman yang tertarik pada sastra bandingan. Sebagaimana
dinyatakan dalam pengantar buku Jost (1993), pengkajian utama dapat dibagi
menjadi empat bidang pokok, yaitu (1) pengaruh dan analogi, (2) gerakan dan
kecenderungan, (3) genre dan bentuk-bentuk dan (4) motif, jenis, dan tema.
Keempat bidang tersebut bukan harga mati, melainkan masih dapat berkembang, sesuai
dengan kebutuhan. Pokok pengkajian sastra bandingan dapat dipertajam lagi
sejalan dengan aspek teoritk dan pragmatik yang dipergunakan.
Kategori analogi dan pengaruh ini telah mewarnai
sebagian terbesar dari studi sastra bandingan. Pengaruh dan analogi sering
dianggap sebagai dua disiplin yang memiliki tujuan tunggal. Bahkan, berbagai
studi di berbagai bidang pengetahuan manusia dalam arti tertentu, direduksi
menjadi sebuah studi hubungan dalam hal pengaruh atau analogi. Dua permasalahan
pokokini telah menjadi master dalam pengkajian sastra bandingan. Analogi dapat
disebut juga dengan pengidentikan suatu fenomena sastra. Daya identik sastra
satu dengan yang lain, yang perlu dilacak dalam studi sastra
bandingan. Analogi juga merupakan kekuatan simbolik seorang pengarang, untuk
memburu suatu estetika. Analogi sering berebut dengan konsep pengaruh. Baik
analogi maupun pengaruh dapat meluas ke berbagai hal, yang menjadi inti sastra
bandingan. Analogi dan pengaruh akan membuka kemungkinan hadirnya pokok-pokok
pengkajian yang perlu diungkap.
Gerakan dan kecenderungan pun juga tidak kalah
penting, terutama untuk memfokuskan peta kajian. Gerakan dan kecenderungan,
juga berguna apabila karya sastra yang dibandingkan secara kebetulan anonim.
Karya sastra anonim membu tuhkan pengolahan bahasa dan kecenderungan. Gerakan
dan kecenderungan muncul sebagai titik berat, penonjolan unsur, dan timbangan
yang paling banyak muncul dalam karya sastra. Gerakan dan kecenderungan dapat
terkait dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik sastra.
Adapun pokok kajian genre, bentuk, motif, dan tema
hampir selalu muncul dalam pemikiran sastra bandingan yang sempit. Kajian ini
cenderung ke arah pencermatan estetika sastra. Sarjana sastra dapat
menganalisis gerakan, genre, atau motif untuk memahami keterkaitan antara
sastra nasional. Hubungan timbal balik yang benar mempelajari hubungan gerakan,
genre, atau motif, atau ketiganya secara bersamaan, karena sarjana dihadapkan
dengan pekerjaan tertentu, yang semuanya jelas mengandung tema dan motif dan
milik sebuah genre dan gerakan. Jelas, tidak ada perbedaan yang tajam dapat
dibuat di antara empat kategori tersebut sering terjadi tumpang tindih dalam
studi sastra bandingan. Akibatnya, secara umum, studi pengaruh atau analogi
adalah salah satu spesies dari penelitian sastra yang memfokuskan pada
interaksi dan kemiripan antara dua atau lebih karya sastra nasional, atau
penulis, atau atas fungsi tertentu kepribadian tertentu dalam transmisi doktrin
berbagai sastra atau teknik.
Michael Foucault (Gifford, 1993:92) telah
menyarankan bahwa hanya ada dua bentuk sastra bandingan, yaitu (1) bandingan
pengukuran, yang mengukur keberadaan karya sastra. Pengukuran dapat meliputi
unit analisis yang lebih kecil. Tujuan pengukuran adalah dalam rangka membangun
hubungan kesetaraan dan ketidaksetaraan dan tatanan dalam karya sastra yang
dibandingkan. Kajian pengukuran ini mirip dengan upaya menimbang bobot karya
satu dengan yang lain, apakah seimbang atau tidak. Pengukuran perlu dilandasi
teori yang matang, agar tidak terjadi simpang siur dan berat sebelah; dan (2)
bandingan yang bertujuan untuk menetapkan elemen sastra dan perbedaanya.
Sesungguhnya kedua bidang sastra bandingan itu sulit terpisahkan, sebab untuk
menimbang karya sastra, jelas diperlukan bandingan unit dan elemen
sastra. Sastra bandingan juga sering merunut persamaan dan perbedaan. Studi
sastra bandingan di masa lalu cenderung untuk memperhatikan tipe pertama sastra
bandingan, menyiapkan kanon penulis primer dan sekunder, teks yang lebih besar
dan lebih kecil, budaya kuat dan lemah, mayoritas dan bahasa minoritas, dan
mencoba dengan keras untuk menjaga ideologi implikasi dari beberapa tingkatan
yang tak terlihat.
Selanjutnya, daerah penelitian dapat dibagi menjadi
segmen-segmen lebih banyak, seperti sumber (inspirasi atau informasi yang
diberikan atau dipelihara oleh penulis asing atau buku), keberuntungan (respon
atau file keberhasilan atau dampak bahwa sastra file dari satu mencapai negara
dalam file sastra gambar lain), dan atau fatamorgana (gagasan benar atau salah
satu bangsa yang memiliki file sastra lain). Kedekatan antara sastra mendatang
dan seni lainnya atau disiplin juga termasuk dalam ruang lingkup studi pengaruh
dan analogi. Kajian semacam ini merupakan upaya menyandingkan sastra dengan bidang-bidang
lain. Hal ini tergantung arah kepentingan sastra itu apa, sehingga kita bebas
membandingkan sastra dengan setidaknya bidang ilmu humaniora. Sebab pada
pokoknya sastra merupakan cetusan humanis hidup kita untuk meningkatkan harkat
dan martabat.
Dari pokok dan atau bidang kajian sastra bandingan
tersebut, perlu penekanan, mana yang ditonjolkan. Penonjolan baru terlihat
ketika pengkaji telah membaca banyak karya sastra. Maka sebelum menentukan
pokok kajian, perlu memahami beberapa karya, pokok kajian mana yang paling
tepat dilakukan. Seluruh pokok kajian menjadi senjata utama, sebelum pengkaji
menjalankan tugasnya. Oleh karena pemahaman keempat hal itu harus dikuasai
secara mendalam.
B. Sastra Bandingan Mikro dan
Makro
Sastra bandingan memang sedang mencari konsep yang
tepat. Konsep yang dapat diakui semua pihak itu tampaknya yang tidak mudah
ditemukan. Pada dasarnya, ada dua konsep besar yang mewarnai sastra bandingan
di negeri ini. Konsep tersebut telah meluas dan banyak menarik perhatian berbagai
pihak, baik ahli sastra maupun ahli lain (non sastra). Dua konsep sastra
bandingan tersebut, meliputi: (1) sastra bandingan sempit atau mikro bandingan
dan (2) sastra bandingan makro, luas. Sastra bandingan mikro, berarti sastra
bandingan sempit, terbatas pada bandingan teks sastra dengan teks sastra, atau
bahkan hanya antar sastra lokal. Sastra bandingan makro, selain cakupan teks
sastra amat luas, juga terkait dengan bidang di luar sastra.
Sastra bandingan mikro dapat saya sebut sastra bandingan intradisipliner
sastra. Adapun sastra bandingan makro, dapat saya sebut bandingan
interdisipliner sastra.
Kedua sastra bandingan itu saling melengkapi, dalam
kerangka pemahaman teks sastra secara komprehensif. Keduanya juga sering
dilandasi oleh asumsi-asumsi kritis konseptual. Tiap asumsi didukung oleh
sejumlah pemikiran. Beberapa pertmuan ilmiah sastra bandingan sering
tawar-menawar konsep. Masing-masing pihak masih sering meraba-raba pemikiran
masing-masing. Dari berbagai pertemuan, saya selalu menemukan kesimpangsiuran
konsep sastra bandingan. Paling tidak, ada dua buku yang sering saling
berseteru ketika memahami konsep sastra bandingan, yaitu: (1) di satu pihak,
ada yang menganggap sastra bandingan itu asal membanding sastra dua atau lebih;
(2) di pihak lain, ada beberapa ahli yang mempersyaratkan bahwa sastra
bandingan tidak boleh asal membandingkan karya sastra. Sastra bandingan perlu
penataan yang cerdas dan relevansi yang memadai.
Secara umum, Corstius (1968), yang telah lama
berkecimpung dengan dunia sastra bandingan juga memberikan konsep yang cukup
berarti. Biarpun konsep dia itu tidak seluruhnya ditaati oleh
pengikut-pengkutnya, namun cukup memberikan ketegasan yang bermakna. Menurut
dia, sastra bandingan adalah studi sastra yang berdasarkan pandangan yang
diucapkan oleh para ahli sastra barat. Pandangan ini sulit kita tolak, sebab
memang akar keilmuan yang satu ini muncul dari dunia barat, terutama Eropa.
Dari konsep sastra barat itu, dapat diperoleh pemahaman bahwa sastra bandingan
adalah kajian yang sengaja melihat objek penelitian sastra dalam hal teks,
genre, gerakan, kritik, dalam perspektif sastra internasional.
Persoalan sastra internasional ini tampaknya yang
sering bias dengan sastra dunia. Sastra internasional juga sering silang beda
pendapat dengan bahasa internasional. Maksudnya, apakah setiap karya sastra
ayng ditulis dengan bahasa internaisonal, dapat disebut sastra internasional.
Persoalan sastra dan bahasa, tampaknya memang tidak pernah selesai
diperbincangkan dalam konteks sastra bandingan. Oleh karena, sastra tidak
semata-mata masalah bahasa saja, melainkan juga budaya dan muatan lainnya. Yang
terpenting, sastra bandingan semestinya berdampak pada pengetahuan sastra.
Sastra bandingan tidak sekedar ilmu yang dangkal. Fungsi sastra bandingan
inilah yang telah menentukan rencana dan penyusunan buku ini, agar semakin
berkualitas.
Asumsi mendasar dari sastra bandingan yaitu adanya
keterkaitan antar teks. Keterkaitan itu memunculkan konteks budaya yang
bervariasi. Teks satu dengan yang lain selalu terkait, hingga mewujudkan
seperti lilitan tali kerbau. Dalam kaitan ini, pernyataan Matthew Arnold (Gifford, 1993:1) biarpun telah lama, sejak tahun 1857 masih
penting dipegang teguh. Menurut dia, di mana saja ada hubungan, ada ilustrasi,
yang saling terkait antara teks satu dengan yang lain. Secara filosofi, tak ada
kejadian yang bediri sendiri, begitu pula yang ada dalam teks sastra. Tak ada
karya sastra yang tanpa ada hubungan dengan karya yang lain. Pernyataan
argumentatif ini dapat dibenarkan, sebab hampir setiap sastrawan akan membaca
karya orang lain, dan ketika itu pengaruh masuk dalam karya dia.
Kalau demikian,konsep itu menandai bahwa studi
sastra bandingan memang perlu dilakukan untuk menemukan keterkaitan antar teks.
Sastra bandingan dilihat sebagai salah satu istilah untuk menentukan hubungan
antar teks dan konteks perlu dilakukan ekstra hati-hati. Keterkaitan teks
mungkin amat tipis, tidak begitu kentara, dan ada kalanya amat jelas. Apa pun
alasan keterkaitan, tetap ada makna di balik karya sastra itu. Biarpun karya
sastra itu amat jelas hubungannya, bahkan limapuluh persen amat mirip, tetap
ada makna lain. Dua karya sastra atau lebih tentu saja menawarkan hal yang
bervariasi.
Sejak 1903, Benedetto Croce berargumentasi bahwa
sastra adalah suatu hal yang tidak meremehkan suatu pendapat yang bisa dilihat
sebagai disiplin ilmu yang terpisah. Hal ini paling tidak memiliki dua
implikasi mendasar, yaitu: (1) bahwa sastra itu memuat aneka hal, yang mungkin
sejajar dengan ilmu lain di luar sastra, (2) keterkaitan sastra dan ilmu lain
mewujudkan keharusan yang perlu dilacak. Karya sastra memuat aneka pendapat
yang berguna bagi pengembangan ilmu lain. Sekecil apa pun, sastra tetap berguna
bagi pembacanya. Sastra bandingan bertugas untuk mengungkap kegunaan sastra itu
lewat bandingan dua atau lebih teks sastra. Di antara dua atau lebih karya
sastra itu perlu ditemukan, mana yang dipandang lebih bermanfaat dan bermakna.
Sastra bandingan melibatkan studi teks-teks
antarkultur atau budaya, atau cabang ilmu pengetahuan yang terkait dengan
pola-pola hubungan di dalam kesastraan antara yang satu dengan yang lain, yang
mencakup ruang dan waktu. Konsep ini, memuat tiga hal penting, yaitu: (a)
sastra bandingan berupa bandingan teks antar budaya yang berbeda, (b) menemukan
pola hubungan antar teks yang memuat estetika bermakna, (c) membanding karya
sastra dari waktu dan ruang yang berbeda. Ketiga hal ini merupakan jalur utama
sastra bandingan, untuk mengungkap variasi teks sastra.
Harus diakui, bahwa kebanyakan orang tidak memulai
dengan sastra bandingan, untuk mengungkap kejernihan teks, namun mereka
memulainya dengan jalan ilmu sastra lain, yang berawal dari
poin-poin yang berbeda. Akibatnya, hubungan antar teks sering terabaikan,
sehingga ada klaim bahwa semua ide selalu murni. Padahal, sesungguhnya kalau
mau menyadari tak ada satu pun ide yang murni seratus persen. Kadang-kadang
perjalanan sastra dimulai dengan suatu keinginan untuk bergerak di luar
batasan-batasan dari suatu bidang hal tersebut. Pada saat tertentu seorang
pembaca bisa terdorong untuk ikut pada apa yang muncul dan menjadi persamaan
antara pengarang-pengarang teks dari konteks budaya yang berbeda. Misalnya saja
dengan membaca, setelah kita mulai membaca kita bergerak ke arah pembatasan
teks, pembuatan kesatuan dan hubungan, dan terpengaruh olehnya. Biarpun kita
tidak lagi membaca sastra di dalam ruang terbuka, pengaruh selalu akan muncul
dengan sendirinya.
Subjek yang tepat dalam sastra bandingan adalah
sejarah yang berkaitan dengan kesusastraan dimana sastra sebagai suatu medium
integral yang terpisah. Subjek sastra bandingan seyogyanya melukiskan pemikiran
yang jelas, suatu ungkapan kelembagaan yang umum bagi umat manusia; yang
dibedakan, untuk memastikan, kondisi-kondisi sosial individu, dengan
pengaruh-pengaruh rasial, historis, ilmu bahasa dan budaya, peluang, dan
batasan, hanya dengan tak mengindahkan usia atau (samaran/kedok), yang dirasa
oleh pancaindera secara umum, fisiologis dan psikologis, dan mematuhi hukum
adat dari material dan gaya, dari setiap dan umat manusia sosial. Jika
demikian, subjek sastra bandingan begitu kompleks, emmuat berbagai hal.
Yang menarik, studi sastra bandingan menjadi tidak
jauh berbeda dengan mengeksplorasi perubahan-perubahan dan perkembangan serta
hubungan timbal balik dari tema atau gagasan yang berkaitan dan berhubungan
dengan sastra dan menyimpulkan bahwa tidak ada suatu studi yang lebih baik
dibanding riset-riset dari jenisnya. Peristiwa jalin-menjalin antara sastra
dengan bidang lain, sulit ditolak. Hal ini dapat digolongkan dalam kategori
suatu pengetahuan yang tidak lepas dari sejarah umum dan sejarah kesusastraan.
Keduanya telah memunculkan sejarah sastra bandingan yang begitu panjang. Pendek
kata, sastra bandingan secara konsepsional memang bersifat cair, bisa berubah
setiap saat. Seluruh aktivitas sastra bandingan, selalu bertumpu pada teks
sastra. Teks itu bersifat terbuka, penuh muatan, sehingga membuka kemungkinan
sastra bandingan dalam arti sempit dan luas.
C. Membanding Sastra Mayor dan
Minor
Ahli sastra bandingan harus
menguasai ketrampilan-ketrampilan khusus, sebagai bekal akademik. Penguasaan
berbagai keilmuan humaniora dan sejenisnya perlu dikuasai sedemikian rupa. Di
antara keilmuan sastra yang perlu dipegang teguh, yaitu paham sastra mayor dan
sastra minor. Keduanya memiliki implikasi luas. Baik sastra mayor maupun minor
sering menjebak para pemikir sastra bandingan.
Istilah majority,
memang terkesan menjengkelkan jika disandingkan dengan istilah minority. Oleh karena anggapan keduanya
itu seperti bidang politik sastra yang memuat tendensi penyudutan karya sastra. Padahal, tidak tertutup
kemungkinan sastra minor juga lebih berbobot. Ada kalanya ide sastra mayor,
sengaja mengambil dari sastra minor. Pemahaman istilah ini memang penting,
asalkan digunakan secara proporsional disebut sastra mayor. Ada pula yang
menyebut sastra mayor, karena ditulis oleh pengarang berkelas nasional dan
internasional. Biasanya, sastra mayor selalu ditentukan oleh konteks bahasa.
Asalkan karya sastra itu menggunakan bahasa nasional atau bahkan internasional,
disebut sastra mayor.
Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature 1989, menyatakan
bahwa sastra bandingan membutuhkan kecakapan-kecakapan tinggi tentang ilmu
bahasa dari sarjana-sarjana. Ilmu bahasa pula yang memiliki andil penamaan
sastra mayor dan minor. Ketika karya sastra itu diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, seperti karya-karya Ajib Rosidi dialihbahasakan ke bahasa Belanda,
Jepang, Inggris, Rusia, Kroasia, dan lain-lain, dengan serta merta orang akan
menggolongkan sastra mayor. Sebaliknya, biarpun karya itu berbobot, kalau hanya
ditulis dalam satu bahasa lokal, sering tergolong sastra minor. Bahkan yang
menyudutkan, sastra minor ini sering disebut sastra marginal, tidak dikenal,
dan kurang tenar.
Selain penguasaan golongan sastra dan bahasa,
pemerhati sastra bandingan perlu menguasai kecakapan khusus. Kecakapan yang
terkait dengan suatu pelebaran perspektif-perspektif, suatu
penindasan-penindasan pendapat; perasaan provinsial dan lokal yang tidak mudah
untuk dicapai, patut dikuasai secara matang. Penganut sastra bandingan disini
digambarkan seperti seseorang yang mempunyai keterampilan khusus, semacam duta
besar internasional. Jika duta besar ahli strategi dan politik internasional,
ahli sastra bandingan harus paham sastra internasional. Ahli sastra bandingan
juga perlu memahami konsep sastra nasional dan sastra lokal (regional).
Sastra mayor ada pula yang menyebut sastra `agung'
dimana sastra `mayoritas' melawan `minoritas', sebagaimana sudut pandang orang
India. Sastra agung biasanya dipandang berlevel tinggi.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, ada dua pihak yang senantiasa bersitegang
dalam paham sastra bandingan. Pertama,
memang tidak selalu benar ungkapan sastra agung, sebab masing-masing karya
sastra memiliki kelebihan masing-masing. Kedua,
ada yang berpendapat justru dengan sastra bandingan, akan lahir sastra agung.
Pandangan kedua ini, seringkali mendeskritkan sastra minor. Dengan sastra
bandingan, sebenarnya semakin menumbuhkan kepercayaan diri sastrawan, yang
karyanya digolongkan sastra agung. Sebaliknya, juga akan melumpuhkan sastrawan
yang termasuk sastra minor.
Kalau dicermati, sastra bandingan sudah semakin
luas cakupan dan persyaratannya. Perkembangan-perkembangan sastra bandingan di
luar Eropa dan Amerika Utara benar-benar mematahkan segala jenis dugaan tentang
sastra yang telah berdatangan selalu terlihat seperti Eurosentris. Wole Soyinka
dan sejumlah kritikus Afrika telah menyingkap pengaruh serapan Hegel yang
berpendapat bahwa budaya Afrika `lemah' dibandingkan dengan yang dia anggap
lebih tinggi, budaya yang lebih berkembang dan yang secara efektif menyangkal
sebuah sejarah Afrika. Dari pandangan ini, menandai bahwa sastra bandingan
memang telah melahirkan penilaian sastra. Penilaian itu juga dapat untuk
mengukur kadar kualitas budaya masing-masing wilayah sastra.
James Snead dalam sebuah esai yang menyerang Hegel,
menyatakan bahwa fakta mencolok dari kebudayaan Eropa akhir abad ke-20 adalah
rekonsiliasi kebudayaan terus menerus dengan kebudayaan kulit hitam. Misterinya
mungkin bahwa butuh waktu sangat lama untuk mencampakkan elemen dari kebudayaan
kulit hitam yang telah ada dalam bentuk tersembunyi, dan untuk menyadari bahwa
pemisahan dua kebudayaan tersebut tidak selamanya dari satu asal, tapi dari
satu kekuatan.
Yang kita miliki sekarang jadinya adalah sebuah
gambaran yang sangat bervariasi dari kajian sastra bandingan yang berubah-ubah
menurut tempat terjadinya. Kritikus Afrika, India, dan Karibia telah menantang
penolakan dari kesepakatan kritik sastra barat untuk menerima
implikasi-implikasi sastra merata dan kebijakan budaya mereka. Terry Eagleton
telah berpendapat bahwa sastra dalam artian yang telah diwariskan kepada kita
adalah sebuah ideologi. Terry membahas cara dimana kemunculan Bahasa Inggris
sebagai sebuah mata pelajaran akademis di abad ke-19 memiliki implikasi politis
yang cukup jelas. Atas dasar bandingan itu, dia berhasil menulis teori sastra
yang saya pandang lebih komprehensif. Hal ini berarti
kejelian sastra bandingan besar pula sumbangannya terhadap perkembangan teori
sastra.
Pada akhir abad 20 mungkin saja kita mulai
memperdebatkan mengenai tahap baru permasalahan sejarah sastra bandingan. Tidak
salah lagi sastra bandingan menjadi krisis bahasa, tetapi ini sangat menarik
untuk diperdebatkan saat kepala negara bagian Eropa timur merevisi silabus
mereka, karena rasa nasionalisme sudah mulai menghilang di negara bagian barat.
Penurunan jumlah pelajar, kekhawatiran akan pertimbangan yang muncul mengenai
kegunaan dari sastra bandingan membuat jumlah murid menurun lalu mereka
membandingkan dua sistem teks yang berbeda tetapi idak menemui titik temu yang
diharapkan. Belakangan ini sastra bandingan mengalami perkembangan di Eropa dan
USA, mereka menyetujui dan mengikuti perkembangan itu.
Ketika sastra bandingan di Negara dunia ketiga dan
di Negara timur mengubah agenda mereka mengenai sastra bandingan, tetapi krisis
bahasa di barat tetap berlanjut. Sastra bandingan yang baru ini menimbulkan
pertanyaan bagi ahli bahasa di Eropa. Proses menuju kesepakatan bersama
mengalami banyak hambatan.Salah satu contohnya mengenai kritik kewanitaan, dan
pertanyannya orientasi pria pada sejarah kebudayaan dan dalam teori modern,
para pembaca mengulang inti bacaanya, dan saat para penulis seperti Jacques
Derrida dan Pierre Bourdieu, mengutarakan sebuah bagian yang dimainkan oleh
struktur kekuatan institusi di pusat liberal yang menyeluruh.
Biasanya pembaca dari barat mencoba memecahkan
tantangan tanpa menggunakan sastra bandingan. Mulai pada tahun 1990 kembalinya
dan munculnya kepentingan baru kawasan pelajar. Terbukanya pernyataan baru
bahwa kejayaan para penulis yang mengikuti perkembangan jaman dan dengan metode
kritik persilangan budaya pada sebuah konstitusi. Perkembangan perluasan secara
cepat yang lain dalam studi sastra dan salah satunya memiliki implikasi yang
besar terhadap kesusastraan bandingan yang akan datang, yaitu `studi
penterjemahan'. Sejak awal penggunaan istilah ini pada pertengahan 1970-an,
studi ini dikembangkan sampai sedemikian luasnya (melalui penerbitan,
pertemuan-pertemuan, pembentukan ketua-ketua di berbagai belahan dunia).
Kehadiran organisasi Himpunan Sarjana
Kesusasteraan Indonesia (HISKI) telah
berkali-kali mempelopori studi sastra bandingan. Organisasi Majelis Sastera
Asia Tenggara (Mastera), juga banyak memunculkan ide besar sastra
bandingan.
D. Jejak Romantis dan Eksotisme
dan Sastra Bandingan
Sastra bandingan tidak akan lepas dari gerakan atau
aliran sastra. Penentu aliran ini pun sering lahir dari sastra bandingan. Maka
hubungan timbal balik sastra bandingan dan aliran terjadi secara siklis. Aliran
sastra di dunia ini sungguh sulit dibatasi. Setiap ahli sering memiliki alasan
tersendiri dalam menentukan aliran sastra.
Satu masalah yang terkait dengan aliran romantisme
yang harus diperlakukan di sini berhubungan dengan istilah romantis dan
asal-usul serta evolusi di berbagai bagian Eropa. Kurangnya analisis sastra
bandingan yang memanfaatkan romantisme telah menyebabkan bagian dari
ketidakpastian dan kebingungan di kalangan sarjana. Saya sadari bahwa
romantisme di Indonesia jarang dipahami sebagai sebuah gerakan sastra. Padahal
sesungguhnya, tidak sedikit karya sastra Jawa, Sunda, Bali, Makasar, Sasak, dan
lain-lain yang menawarkan berbagai aliran romantik. Ciri-ciri romantisme hampir
selalu ada dalam setiap wilayah sastra manapun, sehingga sastra bandingan yang
memanfaatkan tidak akan keliru.
Dalam konsepsi Jost (1993) ada beberapa macam
romantisme sastra. Dia tampaknya mendasarkan karya-karya Perancis dan Jerman,
untuk menamakan romantisme yang bervariasi. Menurut dia, manakala karya sastra
mencerminkan perbuatan dan perasaan mirip dengan pahlawan roman cenderung dapat
disebut mengikuti aliran romantisme. Setelah mempelajari bildungroman di Jerman
dan beberapa karya Perancis, Jost menggolongkan lima macam romantisme, yaitu:
(1) romantis pada abad pertengahan, yang memuat kisah cinta, (2) romantis yang
memuat kukisan luar biasa, aneh, (3) romantis pisturesque (yang menggambarkan
keindahan danau, kebun, taman), (4) romantis kasar (gambaran tentang laut,
pegunungan, padang pasir, hutan), (4) romantis spontan, alami (sebagai lawan
buatan, fiktif), (5) romantis: oversentimental, eksentrik (sebagai lawan
sensitif, sederhana). Silahkan saja keragaman romantisme ini digunakan, namun
menurut hemat saya tidak selamanya tepat, terutama ketika menggolongkan
romantisme kasar. Gambaran laut misalnya, mengapa digolongkan kasar. Konsep ini
perlu dipertanyakan, begitu pula lukisan romantis spontan, yang tidak disertai
contoh.
Studi tentang romantis tidak memunculkan sinar baru
terhadap kehidupan, terutama ketika mereka harus menafsirkan keberadaan
manusia. Di antara sifat-sifat dasar romantik biasanya cenderung ke arah
alineasi sosial, menuju isolasi metapfisik, dan perpindahan ke arah nilai-nilai
budaya dan estetika. Secara umum, bahan penulis romantis cenderung untuk
mengungkapkan hal-hal mistis dan transendental. Namun
romantisme adalah karakteristik dari sifat manusia yang terintegrasi ke alam
atau ke dunia lain, melalui pernyataan imajinasi dan hati. Sentuhan-sentuhan
humanisme biasanya selalu hadir dalam romantisme. Kisah-kisah hidup yang penuh
liku-liku dan tantangan, mewarnai romantisme, baik romantisme tradisional
maupun romantisme modern.
Selain romantisme, ada aliran sastra yang
berdampingan, yaitu eksotisme. Eksotisme sering tumpang tindih dengan
romantisme. Kecendrungan sastra, seperti eksotisme, berbeda dari gerakan sastra
atau saat ini, seperti boroque, romantisme, atau naturalisme, karena tidak
terbatas baik periode tertentu maupun wilayah geografis tertentu. Eksotisme
dalam arti luas, berasal dari berbagai sikap psikologis seorang pengarang. Ia
sering mengungkapkan keinginan manusia untuk melepaskan diri dari peradaban dan
kecerdasan untuk menemukan alam yang lain dan lingkungan sosial, yang asing dan
aneh. Hal ini dapat membantu untuk memelihara salah satu mimpi manusia, impian
yang jauh itu, sampai ke hal yang sulit terjangkau dan misterius.
Celah lain dari eksotisme, yang berasal dari
kebutuhan untuk bertindak, adalah diwujudkan dalam eksplorasi, petualangan, dan
penemuan. Dalam eksotisme sastra sering muncul dari kekuatan sejarah tertentu
yang telah dihasilkan dari usaha untuk mewujudkan cita-cita tertentu. Dari sini
tidak tertutup kemungkinan bahwa eksotisme merupakan luapan imajinatif yang
kadang-kadang berlebihan. Gaya eksagerasi, melebih-lebihkan, sering muncul
dalam eksotisme. Celakanya, eksotisme ini di dunia timur, Asia Tenggara dan
sekitarnya sering dilarikan ke dunia erotik dan bahkan sastra porno. Hal ini
tentu menjadi tugas kritikus bersama sastra bandingan untuk menjelaskan kepada
khalayak yang sering buta terhadap paham sastra.
Menurut Jost (1993), istilah eksotis berasal di
Yunani, di mana kata sifat eksotikos
umumnya berarti "asing" dan diterapkan pada apa yang di luar batas
negara, yang berarti dekat dengan yang barbaros
atau barbarikos, atau hanya di luar
batas keluarga. Jadi Plautus unguenta
exoticaica menggunakan frase dan
berbicara tentang eksotisme dengan referensi, antara lain hal, untuk pakaian dipakai di negara-negara
asing. Konsep ini menunjukkan bahwa karya sastra yang sering melukiskan pakaian
minim, tubuh sintal, dengan ungkapan berlebihan dapat disebut eksotis. Eksotis
sastra sering menjadi daya pikat tersendiri bagi karya sastra. Eksotisme ini
sering merembes dari generasi ke generasi, sehingga layak dibandingkan satu
sama lain. Bahkan dalam dunia sastra Jawa, pernah terjadi suatu aliran
panglipur wuyung yang dekat sekali dengan istilah eksotisme. Pada periode itu,
karya sastra sering digolongkan sebagai sebuah hiburan. Pengarang beramai-ramai
mengekspresikan idenya, dibumbui bunga-bunga yang menyedot daya eksotis.
Kalau dirunut lebih jauh,
eksotisme berasal dari turunan kata sifat ditemukan dalam berbagai bahasa:
eksotisme (lebih lancar dalam bahasa Inggris dari exotism), exotisme dalam
bahasa Perancis, dan Jerman exotismus,
dan istilah itu di dunia internasional menjadi istilah terkenal. Istilah exoticness dalam bahasa Inggris abad ke
delapan belas tidak pernah menyeberangi Selat, istilah exotical dan exoticalness
telah hilang, sedangkan eksotik substantif, yang dapat menetapkan tanaman dan
benda-benda, telah selamat dan banyak digunakan dalam karya sastra.
Atas dasar hal tersebut, berarti tugas sastra
bandingan dapat melakukan kajian karya-karya sastra secara diakronik yang
menggunakan konsnep aliran eksotik. Bisa jadi karya sastra itu terjadi saling
sentuh satu sama lain dan bahkan sering ada peniruan gaya eksotis. Sastra
bandingan akan menujunkkan titik tertentu, bahwa karya sastra eksotis pun tetap
memiliki nilai lebih. Karya eksotik yang ada keterkaitan satu sama lain itu,
pada akhirnya tidak akan dipojokan sebagai karya hiburan, tendensius, dan
berkorban demi pembaca.
E. Estetika dan Analogi dalam
Sastra Bandingan
Estetika adalah wacana penentu bobot sastra yang
tidak boleh ditawar-tawar lagi. Jika sastra itu tidak estetis, sama halnya
sampah. Jost (1974) dalam pengantar bukunya cukup membuka mata batin kita
terhadap keterkaitan antara karya sastra, estetika, dan studi sastra bandingan.
Menurut dia, estetika memang penting dipertimbangkan dalam sastra bandingan.
Keindahan sastra tidak hanya ditentukan oleh tema, ide, dan struktur, tetapi
juga oleh elemen tertentu terutama bahasa individu: suara, ritme, dan citra verbal.
Sebuah pendekatan secara eksklusif nasionalistik terhadap sejarah sastra dan
kritik sastra telah menjadi absolut sebagai penentu sastra kontemporer dan
kurikulum perguruan tinggi yang membuka program sastra bandingan.
Orientasi intelektual modern tersebut telah
melahirkan disiplin akademis baru dalam bidang sastra bandingan. Siapa pun yang
peduli pada sastra international dan nationalstik dapat melakukan studi sastra
bandingan. Baik sastra internasional maupun sastra nasional, kunci utama yang
perlu diperhatikan adalah estetika. Estetika juga sering berkembang dari waktu
ke waktu. Keadaan itu merupakan tantangan baru bari perkembangan sastra
komparatif. Semua program, kajian, dan publikasi dalam sastra bandingan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori.
Pertama kategori yang paling heterogen
menunjukkan kerja sehubungan dengan penulis
yang memiliki afinitas organik.
Hubungan khusus dan ikatan diselidiki dalam istilah pengaruh suatu karya di
atas karya yang lain. Sehubungan dengan analogi antara beberapa karya, dan
dalam kaitannya dengan terjemahan buku utama dalam perbedaan bahasa, sastra
bandingan dapat dilakukan. Dalam kategori ini juga perlu dipertimbangkan aspek
interdisipliner sastra komparatif. Keterkaitan antara sastra dalam arti biasa
dan domain budaya lain, seperti filsafat dan psikologi, sosiologi dan
linguistik, musik, dan lukisan jelas membuka peluang sastra bandingan.
Kedua, bidang sastra bandingan dapat berisi studi tentang gerakan dan
kecenderungan seperti Renaissance,
Baroque, Classicism, Romantisisme, Realisme yang memuat peradaban barat. Namun
bakat penulis yang dominan atau mencolok mungkin, karyanya selalu mencerminkan Zeitgeist sastra karena dikandung dan
lahir pada tahap tertentu yang membentuk kepribadiannya serta membantu
intelektual dan artistik. Tiap gerakan sastra sering memiliki estetika
tersendiri. Misalkan saja, estetika sastra di era epos, tentu berbeda dengan
roman-roman panglipur wuyung.
Ketiga, terdiri dari analisis karya sastra dari sudut pandang sastra terutama
dari bentuk-bentuk lahir dan batin serta genre mereka. Jenis investigasi, untuk
tradisi dari tahun ke tahun pada tingkat nasional, yang melacak genre telah
menjadi semakin relevan pada skala internasional. Estetika tiap genre sastra
memiliki kekhasan, yang dapat dibandingkan dengan genre lain.
Keempat, mencakup studi tentang tema dan motif yang lebih spektakuler yang
mereka hubungankan dengan tipe
seperti Ulysses dan Prometheus, Don Juan dan Faust. Tapi tema dan motif dapat
juga abstrak dan konseptual murni. Mereka mungkin terkait dengan topik seperti
patriotisme, pemberontakan, persahabatan, dan kematian. Semula, studi ini
banyak dilakukan oleh pemerhati sastra bandingan lisan. Banyak karya sastra
lisan yang memiliki motif dan tema mirip, hingga bisa dibandingkan satu sama
lain.
Empat kategori tersebut secara analogi dapat
dilambangkan oleh elemen dasar kimia kuno: udara, air, bumi, dan api. Analogi
ini juga hampir berlaku pada sastra-sastra bernuansa mistik. Anasir hidup yang
terdiri dari empat hal itu jelas sebuah wawasan kosmos. Ternyata wawasan kosmos
pun seiring dengan estetika sastra. Estetika ini yang membuka peluang kajian
sastra bandingan menjadi semakin kompleks.
Air yang menyatukan seluruh hidup
di dunia, menunjukkan hubungan sastra secara keseluruhan. Air merupakan gerakan
sastra. Seperti aliran air adalah citra klasik untuk suatu waktu, studi gerakan
harus mempertimbangkan urutan kronologis serta acara budaya. Suasana hati
artistik dan intelektual mode mengembangkan dan kemajuan sebagai sungai tumbuh
dari sebuah aliran pada sumber. Bumi adalah satu-satunya unsur yang
mengasumsikan bentuk padat tahan lama, itu menandakan genre sastra. Untuk
melengkapi analogi kami, api menggambarkan tema dan motif, tembus jiwa setiap
produk sastra.
Metafora tersebut lebih dari perangkat nemonik
untuk berbagai jenis studi banding. Mereka juga harus mengingatkan kita bahwa
sastra bukan ilmu seperti kimia modern, melainkan seni, sebab penilaian sastra
dapat terjadi pada setiap pendekatan kami. Selain alat kritis dan di luar
sarana ilmiah, di luar semua spekulasi dogmatis ada dunia estetika, bahwa dunia
sastra yang tepat. Namun, meskipun sastra itu sendiri memunculkan respon
kontemplatif, penafsiran yang memuat pengetahuan di bidang yang paling beragam
mulai dari sejarah agama dan seni rupa. Untuk berbagai derajat, aspek-aspek
sastra bandingan dianggap terjiwai dari seluruh buku ini