Pages

Selasa, 14 Mei 2019

SASTRA BANDINGAN 4. KETERJALINAN TEKS DAN KONTEKS DALAM SASTRA BANDINGAN



KETERJALINAN TEKS DAN KONTEKS DALAM SASTRA BANDINGAN


A. Teks dan Jalinan Komunitas Sastra

Komunitas sastra merupakan wahana pembangun komunikasi sastra. Melalui komunitas-komunitas, seperti kantong-kantong, sanggar, kedai, dan sebagainya akan terjadi komunikasi sastra yang intensif. Melalui komunitas itu, seringkali juga terjadi gesekan-gesekan sastra. Gesekan tersebut intinya jelas tidak akan lepas dari sastra bandingan.
Biasanya sastra bandingan melalui komunitas sastra cenderung ke arah estetika kreatif. Dari sini muncul pula akumulasi konsep sastra bandingan yang begiru beragam. Konsep sastra bandingan memang lentur dan cair. Memang patut disyukuri bahwa dari waktu ke waktu studi ini telah berkembangan dengan asumsi yang berkembang pula. Gifford (1993) berpendapat bahwa sastra bandingan tidak lain merupakan bandingan teks dalam konteks across cultures. Hal ini merupakan studi interdisipliner sastra, yang memperhatikan pola-pola hubungan teks antar waktu dan tempat yang berbeda. Studi interdisipliner akan semakin intensif manakala dikelola oleh sebuah komunitas sastra.
Pengertian komunitas ini, mirip gagasan Victor Turner, yang di dalamnya ada kesamaan pandang antar anggota komunitas. Biarpun masing-masing pihak memiliki perbedaan kepentingan, muaranya tetap terkait dengan upaya pengembangan sastra. Ketika komunitas itu belum akrab dengan sastra, biasanya sering ada keraguan. Mereka masih meraba-raba, apakah karya sastra memiliki keterjalinan antar teks dan bidang lain. Terlebih lagi kalau makna “teks” itu diartikan longgar, seperti pemikiran Geertz, bahwa seluruh ujaran atau ciptaan itu sebuah teks. Pada tataran ini berarti teks dapat saling terkait satu sama lain, hingga mewujudkan keterjalinan erat.
Harus diakui, bahwa kadang-kadang tak seorang pun dalam suatu universitas sebagai mahasiswa sastra yang tiba-tiba tertarik pada sastra bandingan pada semester awal. Saya memahami hal ini, sebab pemahaman mereka terhadap cipta sastra memang belum begitu luas dan mendalam. Mereka umumnya masih menggeluti sastra pada tataran apresiasi ringan. Tentu berbeda dengan mereka yang sering terjun ke sanggar-sanggar, membangun komunitas, banyak membaca sastra teman-temannya, jelas akan segera tergoda dengan sastra bandingan. Umumnya, mereka mendapatkan pengetahuan dasar tentang metode dan istilah yang digunakan dalam penelitian sastra bandingan melalui perpustakaan, manual, kamus, bibliografi, edisi teks ilmiah.

Sementara itu, harus disadari bahwa sejarah sastra kita sebagian besar merupakan sebuah interpretasi teks, tetapi jarang yang membaca sampai ke arah keterjalinan sastra. Padahal kalau belajar sejarah sastra telah dibiasakan kritis, memahami hubungan antar teks, dibina melalui sebuah komunitas sastra, cepat atau lambat akan segera paham terhadap sastra bandingan. Kita harus mengetahui, linguistik pada prinsipnya, gaya, prosodi, dan struktural juga akan bermanfaat bagi interpretasi sastra. Namun dalam sastra bandingan harus dilatih dalam aplikasi tertata untuk memahami arti dari istilah penting dan bentuk dan tema teks.

Selain itu, kita harus menyadari apa yang terkandung dalam berbagai periode sastra. Periodisasi sastra akan amat berguna apabila dibahas melalui komunitas sastra. Dari sini seringkali muncul pemikiran ketersentuhan antar karya sastra. Hubungan sastra dapat muncul melalui dialog komunitas, resensi, diskusi intensif, dan timbangan sastra yang lain. Hal ini sangat dimengerti bahwa, selama periode awal belajar sastra, kita cenderung menghubungkan pengertian sastra kita. Misalnya, sebagai mahasiswa bahasa Inggris dan sastra, dapat membaca ayat-ayat lain dalam. Kita membaca, misalnya, tentang aspirasi Wordsworth untuk menggunakan bahasa colloquial dan untuk menggunakan perangkat prosodi sederhana dalam penulisan puisi berjudul "Nya balada liris" dan Coleridge juga tahu bahwa karya itu telah terinspirasi oleh lagu daerah. Shellcy, di sisi lain, percaya pada asal-usul supranatural inspirasi penyair itu. Dia yang paling tekun mempelajari tingkat imajinasi sampai sebatas mempertimbangkannya menjadi sejuk utama penciptaan puitis.
Penyair yang sama sering merujuk tentang puisi fungsi Agustus "pemberi hukum" untuk kemanusiaan. Sementara itu, kami mungkin tidak menyadari fakta bahwa kedua praktek dan jenis busur pemikiran sastra yang sama dan pada saat yang sama dapat ditemukan di luar Kepulauan Inggris. Kita cenderung berpikir bahwa referensi tersebut harus dilakukan dengan kesejajaran kebetulan dan tidak menyadari bahwa mereka dapat menunjukkan keberadaan komunitas sastra internasional. Dengan demikian, sejarah sastra dan komunitas sastra begitu besar perannya dalam pengkajian sastra bandingan.

Secara bertahap, bagaimanapun, kami menyadari fakta bahwa sebagai pemerhati salah satu sastra nasional, kita langsung berkonsentrasi pada data historis, prinsip, dan metode penelitian yang sama berlaku dalam studi tentang sastra lain. Hasilnya adalah bahwa kita menyerah melihat subjek kita sebab tidak berhubungan dengan orang lain dari jenisnya. Sejarah sastra tertentu sekarang menganggap keberadaan komunitas sastra, dan sering dapat menemukan sampai ke akar sastra lainnya. Sejauh yang bisa dilacak kembali sejarah, sastra kita mampu melintasi dampak teks sastra yang demikian merupakan kelompok yang koheren. Beberapa negara mencoba menjadi bagian dari komunitas sastra dan yang tidak bergantung pada rezim militer dan politik gersang penaklukan mereka atau supremasi budaya damai.

Atas dasar hal tersebut, memang seorang pengkaji sastra bandingan yang kebetulan atau sengaja menjadi anggota komunitas akan memiliki peran penting dalam kesuksesan sastra bandingan. Paling tidak, ada beberapa keuntungan memasuki komunitas sastra dalam konteks sastra bandingan, yaitu: 
(1) memperoleh masukan antar teman tentang keterkaitan sastra satu dengan yang lain, 
(2) semakin kritis dalam meninjau karya sastra dengan mensejajarkan dengan karya sastra atau bidang lain, 
(3) pengkaji akan semakin hati-hati dan proporsional dalam membandingan karya antar anggota komunitas, 
(4) hasil sastra bandingan akan segera menyentuh sasaran komunitas sastra, sehingga dampaknya segera dapat dirasakan.

B. Intertekstualitas Sebagai Konsep Relasional Sastra

Dalam tulisan ini saya mencoba mengangkat pemikiran untuk mendefinisikan identitas

intertekstual. Wawasan dia, memang banyak berkiblat pada gagasan Culler, Riffaterre, dan Kristeva yang pernah saya pelajari. Sepenuhnya saya sadar dari awal bahwa dalam banyak hal ungkapan intertekstual memang cukup kontradiksi. Jika dengan identitas kita maksudkan beberapa esensi tetap dan stabil, maka sangat sulit untuk berdamai dengan intertekstualitas, yang baik sebagai istilah dan konsep, telah dibangun ke dalamnya rasa yang provisionary dan tidak stabil. Kecenderungan saat itu dalam studi sastra menikmati justru berasal dari status ini provisionari dan tidak stabil. Hal itu adalah istilah dalam proses diidentifikasi menjadi sama seperti menganugerahkan pada karya sastra berbagai identitas.
Sebagai istilah, intertekstualitas sering tidak lepas dari konsep pluralitas. Orang bisa membicarakan hal itu dalam bentuk jamak sebagai ikatan intertekstual yang telah disusun dalam hal teoritis dan disebarkan dalam strategi metodologis. Intertekstualitas dapat berbagi dengan fitur-fitur lain yang umum tertentu, tetapi ada beberapa yang dapat ditemukan dalam semua pengertian kata tersebut. Singkatnya, tidak ada fitur konstituen, ympu ang mmemuaskan untuk semua orang, untuk mendefinisikan istilah tersebut. Pendekatan kedua yang bisa menyatukan berbagai kata adalah untuk mempertimbangkan bagaimana intertekstualitas didefinisikan dalam perlawanan terhadap sejarah leluhur, studi sumber pengaruh. Sebuah kelemahan lebih lanjut dari kecenderungan untuk menentukan intertekstualitas dalam hal studi sumber-pengaruh adalah untuk mengatur makna terakhir.

Sumber-pengaruh studi, seperti konsep-konsep seperti novel tradisional cenderung menjadi entitas mistis yang dibuat oleh praktisi. Dengan ini berarti bahwa setiap klaim yang menyangkal sifat ideologisnya bertekad untuk menipu. Memang banyak dinikmati oleh semangat intelektual istilah ini berasal dari konsep Barthes dan implikasi ideologisnya, kita harus melibatkan mereka sepenuhnya, yang sama sekali tidak berarti menerima mereka secara membuta. Sebagai konsep ideologis intertekstual terus untuk mendapatkan makna baru sebagai kritikus berusha untuk menetapkan atau memperbaikinya. Bahkan di sini ia mengambil bagian dari paradoks pertumbuhannya sebagai sebuah konsep adalah hasil dari sebuah gagasan yang sangat spesifik 'teks' yang Barthes dan Kristeva, antara lain, telah berusaha untuk mempromosikan, telah berperan penting dalam merumuskan gagasan tentang tekstualitas. Seperti Michael Riffaterre telah menunjukkan, gagasan tentang tekstualitas yang tak terpisahkan dan didirikan atas intertekstualitas.
Intertekstualitas datang ketika pendekatan-pendekatan yang menekankan teks sebagai suatu kesatuan mengatur diri sendiri dan menekankan kemerdekaan fungsional dirasakan, untuk satu alasan atau lainnya, tidak memadai atau tidak bisa dipertahankan. Jadi mata uang di banyak kasus telah mendapatkan sebagai istilah umum, meliputi semua dan setiap hubungan eksternal teks mungkin memiliki dan memeluk cara yang paling dipikirkan dari mengontekstualisasikan itu dalam kerangka acuan yang lebih luas. Dalam domain Anglo American, dimana Kritik Baru, dengan penekanan pada faktor intrinsik, adalah semakin berkurang, intertekstualitas adalah stimulus yang banyak disambut untuk studi sastra. Namun di situlah letak salah satu kesulitan-kesulitan kecenderungan untuk mencopot setiap aspek lain dari lapangan. Bagian dari masalah telah mendefinisikan identitas intertekstual justru berasal dari mencoba aman bagi sebuah wilayah sendiri, salah satu yang membatasi kecenderungan untuk mengambil alih sekutu bidang dan tematik puisi panjang.

Dalam buku saya Metode Sastra Bandingan, telah saya rembug ihwal bandingan intertekstual. Namun, akan lebih lengkap apabila gagasan ini dijadikan pembanding, agar tampak jelas seluk beluk interteks itu sendiri. Wacana interteks memang kadang-kadang cukup mengganggu, apalagi jika terdengar oleh pengarang. Pengarang serta merta akan menolak istilah ini, sebab menurut mereka semua karya itu kreasi.

Untuk mengacu pada teks sastra sebagai sumber penulisan sastra berikutnya, intertekstualitas menjadi pilar penting. Interteks adalah studi yang berbicara tentang sumber-pengaruh, misalnya pengaruh Hemingway pada Camus. Kunci pokok interteks adalah terjadinya relasi antar karya sastra. Istilah relasional yang konsisten dengan pendekatan yang berorientasi pada pembaca dan menghindari mengkhianati afiliasi sadar dengan orientasi penulis. Satu cara yang sangat produktif untuk mendefinisikan hubungan intertekstual adalah metafora sebagai bentuk kutipan di mana fragmen wacana adalah diakomodasi atau diasimilasikan oleh teks terfokus. Menggambarkan dengan cara ini memungkinkan kita untuk melihat interteks yang memiliki dua identitas terpisah: 
(a) sebagai teks independen berfungsi dalam dirinya sendiri, yang mungkin tidak diketahui, terlupakan atau bahkan hilang; 
(b) sebagai asimilasi atau versi diakomodasi tertanam dalam beberapa cara dalam teks terfokus.


Keuntungan intertekstualitas beberapa dukungan teoritis jika kita menganggap prasangka pada dasarnya istilah relasional, menghubungkan ucapan-ucapan. Penamaan sebuah ucapan pengandaian adalah hanya suatu cara menunjuk salah satu pernyataan dengan cara yang menentukan fungsi relasional untuk yang lain. Namun, kemungkinan istilah itu aik sebagai kata benda dan sebagai kata kerja adalah adalah identitas interteks. Namun, jika kita melangkah lebih jauh dan berusaha berbicara lebih tepat tentang cara ini proses asimilasi fungsi akomodasi dalam teks-teks tertentu, kita dihadapkan oleh salah satu potensi kelemahan serius dari pandangan citational identitas intertekstualitas. Jika kita memiliki jalan, misalnya, untuk istilah-istilah seperti imitasi, parodi, plagiarisme, dan bahkan parodi untuk menggambarkan hubungan intertekstual, kita membawa ke memainkan istilah evaluatif yang sulit untuk mempertahankan ukuran intensionalitas pengarang.

Tentu saja kita dapat berusaha untuk mendefinisikan kembali istilah-istilah seperti parodi dengan cara yang lebih netral, tetapi kita tidak dapat menghilangkan mereka sepenuhnya dari seluruh asosiasi intentionalitas dan dengan demikian menghindari melemahnya definisi identitas intertekstual sebagai konsep murni berorientasi pembaca. Pendekatan yang agak berbeda dari analogi adalah untuk menekankan kesamaan atau perbedaan yang ada antara teks dan interteks sebagai bentuk transformasi dimediasi oleh semacam invarian. Jadi untuk menegaskan keunikan teks berkenaan dengan teks-teks lain, dalam hal transformasi, baik sebagai realisasi lebih lengkap atau pelanggaran dari beberapa invarian pola dasar atau struktural tidak hanya untuk membawa ke permainan cerita dan nilai tetapi juga untuk memohon sebuah konstitutif atau esensial pengertian identitas. Kita memang mungkin ingin merangkul penilaian kualitatif tentang teks-teks yang model transformasional.

Salah satu upaya yang paling kuat untuk mengembangkan gagasan tentang intertekstualitas bertentangan dengan studi sumber-pengaruh. Gagasan Barthian yang melihat teks terfokus (memang semua teks) sebagai suatu mosaik yang terdiri sepenuhnya fragmen materi linguistik dikutip dari sumber-sumber anonim, kolase dari potongan-potongan bahasa dibawa ke kedekatan spasial dan mengundang pembaca untuk membuat semacam energi interrelational mereka. Seperti pandangan radikal memandang teks dari setiap kalimat dari mosaik tidak hanya sebagai menciptakan pola intratekstual tetapi juga menunjuk ke koneksi ektratekstualnya. Di sinilah fitur dapat disimpulkan dari prasangka menjadi sangat relevan. Karena sumber ektratekstual koneksi ini mungkin tidak diketahui (memang salah satu asumsi ini pengertian teks adalah bahwa mereka sebenarnya tidak hanya diketahui, tetapi tidak dapat diketahui), mereka hanya bisa disimpulkan secara umum, tidak terletak positif dalam khusus, menandatangani wacana. Mereka berfungsi sebagai anggapan-anggapan demikian, karena justru apa yang mendefinisikan perkiraan adalah bahwa hal itu dapat 'terputus' dari tuturan dalam yang tertanam melalui proses penalaran inferensial.

Dalam arti tertentu ini sudah tersirat dalam posisi Culler sendiri ketika dia membatasi potensi teks sastra. Hal ini tampaknya merupakan kemunduran makna dari sebuah gagasan bahkan lebih penuh tentang intertekstualitas. Setidaknya secara teori, Kristeva pernah mengintegrasikan wacana sastra dengan bentuk lain dari wacana, di mana tidak ada status khusus diberikan kepada sastra atau nilai estetika. Cara lain untuk menentukan limit mungkin untuk membedakan antara pengandaian logis dan pragmatis sebagaimana yang dikemukakan Culler tentang identitas intertekstual. Tafsiran pragmatis adalah sebagai hubungan antara-ucapan kalimat dan konteks yang diucapkan. Seperti telah ditunjukkan Culler, bahwa investigasi dari pengandaian pragmatis adalah mirip dengan tugas yang dihadapi puisi. Hal tersebut melibatkan berhubungan karya sastra untuk serangkaian karya lain memperlakukan mereka bukan sebagai sumber. Kita dihadapkan dengan pilihan apakah ingin berurusan dengan gagasan tentang intertekstualitas seluruh bidang puisi atau apakah kita lebih suka bahwa gagasan ini memiliki makna lain.

Aspek yang paling diperdebatkan dari pengertian Culler tentang intertekstualitas adalah perintah bahwa itu adalah kurang berhubungan dengan teks sebelumnya. Tidak jelas bagi saya apa keberatan teoritis bisa dinaikkan dengan menghubungkan teks yang sebenarnya. Ini adalah satu hal untuk mempertahankan bahwa suatu interteks mungkin tidak diketahui dan hal lain yang cukup untuk menegaskan bahwa hal itu tidak dapat diketahui Culler tentu saja.

Barthes dan lain-lain menunjukkan bahwa sebuah asumsi seperti dalam pikirannya yang mencoba memperluas konsep dari hubungan intertekstual. Saya menduga bahwa sikap hati-hati Culler berakar dalam bagian dari kepedulian untuk mengembangkan sebuah teori identitas intertekstual yang konsisten dengan kritik ideologis tentang sumber dan asal-usul dan sebagian dari rasa takut terjerumus ke asumsi ideologis dan metodologis strategi yang terlibat dalam studi sumber-pengaruh.

C. Sastra Bandingan dalam Lintasan Culture Studies

Kembali pada studi budaya terjemahan, yang terjadi pada tahun 1980, dikaitkan dengan perkembangan di bidang memperluas 'cultural studies'. Upaya untuk mendefinisikan kajian budaya telah penuh dengan jebakan dan konflik, dan istilah adalah seperti yang digunakan-istilah Elie berguna sebagai 'bandingan sastra' adalah sarjana abad kesembilan belas menghadapi masalah yang sama, yaitu, adalah lebih daripada membantu . Namun, ada busur banyak kesamaan menjadi kajian budaya pada 1990-an dan bandingan sastra di abad terakhir. Keduanya upaya interdisipliner oleh para ahli untuk menghadapi dunia yang berubah dengan cepat di mana ide mendatang, bahasa, bangsa, sejarah dan identitas berada dalam proses pembentukan. Abad kesembilan belas pengkajian sastra bandingan bergulat dengan masalah-masalah akar dan asal-usul, dengan menentukan tradisi dan mendirikan kanon sastra, dengan menegaskan kesadaran nasional dan berinteraksi dengan negara bangsa muncul di tempat lain. Ulama yang lebih radikal mengemukakan kebesaran sastra asli mereka atas sastra klasik yang masih berkuasa.

Guyard (Remark, 1971) melihat sastra bandingan sebagai sesuatu yang berbeda dengan bandingan sastra atau sastra umum. Dia amat berhati-hati terhadap kajian pengaruh dan lebih menggalakkan tulisan-tulisan tentang sejarah perkembangan sastra dan sejarah interpretasi sastra dari satu negara ke negara lain, dan dia juga menekankan pentingnya sastra itu sendiri. Dalam ceramahnya dia membedakan antara sastra bandingan dan sejarah sastra. Saya setuju dengan gagasan ini, sebab keduanya merupakan fenomena yang berbeda. Memang harus diakui, sejarah sas kadang memerlukan sejarah, dan sebaliknya. Namun, tidak berarti keduanya harus disamakan, baik makna dan fungsinya.

Sastra bandingan dan kritik sastra merupakan penyatuan sastra Eropah, ilmu-ilmu sastra bandingan dan perkembangan pada masa sastra bandingan. Dia memberikan penekanan pada kajian pengaruh dan sumber tradisi, kajian tentang sastra yang memiliki keistimewaan sastra kebangsaan. Dia juga mengetengahkan bahwa ada penerimaan dan kreativi tasdalam hubungan sastra antara bangsa. Memang ada kesulitan memperbincangkan sastra negara mereka sendiri dan sastra asing secara objektif. Keduanya diakui terdapat perbedaan kualitas di kalangan sastra-sastra kebangsaan. Untuk menggariskan sastra Eropah memerlukan pemilihan dan penilaian estetik disebabkan oleh perbedaan antara pe-nerimaan dan pengaruh.Memang ada penekanan yang berbeda antara zaman-zaman yang sama (contohnya Romantisisme) dalam pelbagai sastra. Penulis mengandaikan bahwa rentetan yang sama terjadi dalam evolusi sastra kebangsaan. Evolusi sastra kebangsaan adalah asas, dan sastra asing hanya mempengaruhi sastra sekunder.

Seperti dikatakan Richard Johnson, bahkan sekarang, khas 'sastra' dan khas 'sosiologis' pendekatan yang berkembang, erat gembira untuk teoretis fragmentasi. Ini tidak masalah jika satu disiplin atau satu bermasalah bisa memahami studi budaya secara keseluruhan, tapi ini tidak, menurut pendapat saya, kasus. Proses budaya tidak sesuai dengan kontur pengetahuan akademik mereka berdiri. Cultural studies harus melalui interdisiplin dalam kecenderungan kita perlu mendefinisikan jenis khusus. Johnson berpendapat bahwa ada tiga bentuk utama penelitian dalam kajian budaya, yaitu: (1) studi mengenai proses produksi budaya, (2) pendekatan berbasis teks yang berfokus pada produk-produk budaya diri mereka, dan (3) penelitian ke budaya hidup, yang telah erat berkaitan dengan sebuah politik representasi. Dia juga mengakui berhutang pada teori feminis, yang dipertanyakan segala macam asumsi tentang sejarah sastra dan budaya, tentang sistem kategorisasi, tentang hubungan antara diri pribadi-kebohongan dan kegiatan lingkup publik.
Studi tentang proses budaya, ia menyarankan, adalah penting dan mendasar namun definisi dan kategori diambil dari seluruh metodologi beragam. Hal yang sama dapat dikatakan yang paling awal manifestasi studi sastra komparatif, yang juga menantang definisi yang tepat. Sayangnya, generasi berturut-turut melihat cocok untuk mencoba dan membangun tanpa definisi yang tepat, dan sejarah sastra bandingan sampai baru-baru ini telah menjadi sejarah yang pemurah upaya yang ditakdirkan untuk gagal di awal. Hari ini, sastra bandingan di satu sisi sudah mati. Sastra universal hampir membudayakan pendekatan yang berkontribusi kepada kematian. Yang tetap bab buku ini mempertimbangkan bentuk-bentuk alternatif studi sastra bandingan dan menunjukkan bagaimana aktivitas komparisi sedang direvitalisasi agar cocok dengan politik di dunia saat ini.

D. Keterjalinan Teks dan Kredibilitas Pengarang

Keterjalinan teks memang dapat melebar ke berbagai genre sastra. Teks sastra prosa, dapat diubah menjadi puisi, drama, dan sebaliknya. Perubahan teks dalam genre yang berbeda ini, sering mengecoh pengkaji sastra bandingan. Bagi pengkaji yang hanya memiliki sebuah disiplin sastra, misalnya banyak membaca puisi, ketika berhadapan dengan drama akan menganggap yang dicermati tidak ada hubungan dengan genre lain.

Biasanya karya sastra drama yang banyak mengolah dari genre lain. Celakanya, penulis teks drama sering kurang jujur, tidak mencantumkan sumber olahan. Dalam konteks keterjalinan antar genre ini, memang ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu: (1) penulis yang lahir sebelumnya merasa idenya “diimpor” atau “dicuri”, apabila tidak disebut. Kalau begitu kejujuran penulis berikutnya memang diperlukan. Pada posisi ini pengkaji sastra bandingan yang memiliki peran untuk menunjukkan bukti-bukti ada keterjalinan teks; (2) pengkaji sastra bandingan perlu hati-hati, ketika menunjukkan data-data keterjalinan teks, agar tidak dituduh mengada-ada, menelanjangi teks,yang membedakan dan membuka aib pengarang. Kemungkinan ke (2) ini, apabila kurang bijak akan berbahaya bagi kredibilitas pengarang.

Tidak perlu heran, kalau ada pengarang yang kurang kreasi, lalu kekeringan ide. Akibatnya, dalam drama misalnya dapat terjadi ide yang dipungut dari sana-sini, tanpa penjelasan. Penulis drama memburu, mendaur ulang karya-karya yang bergenre lain, tanpa melalui catatan kaki. Banyak orang menyatakan bahwa drama itu sastra “kelas dua”. Biarpun anggapan ini tidak selamanya benar, dalam studi sastra bandingan patut dipegang teguh. Maksudnya, memang harus diakui bahwa tidak sedikit para penulis drama yang sengaja menulis ulang, menerjemahkan, dan menformat genre sastra lain menjadi teks drama. Padahal, teks tersebut kelak masih diolah oleh sutradara, diterjemahkan lagi, dimodifikasi oleh pemain, begitu seterusnya. Akibatnya, keaslian dari ide awal, menjadi kabur.

Jika hal semacam itu sering terjadi, protes antar pengarang pun dapat terjadi dimana-mana. Yang lebih parah, antar pengarang dapat saling ejek, saling mem-back list, dan apabila kurang kendali dapat berujung pada kemarahan. Berkaitan dengan hal tersebut, bandingan drama dengan genre lain, memang tidak salah dilakukan. Kita dapat membanding karya-karya drama Handung Kus Sudyarsana dengan roman-roman karya Ki Padmosusastra. Drama karya SH. Mintardja pun banyak yang disadap dari karya sastra babad. Belum lagi dengan hadirnya dramawan konvensional yang lain, seringkali tidak mencipta drama secara orisinal, melainkan mengolah yang telah ada.
Itulah sebabnya, bandingan drama memang membutuhkan kejelian tersendiri. Sastra bandingan drama dengan drama pun jelas memerlukan strategi khusus. Maksudnya, harus jelas unsur atau bidang apa saja yang hendak dibandingkan, perlu diluruskan terlebih dahulu. Apalagi drama itu memang salah satu genre sastra yang kompleks. Jika bandingan drama hanya membicarakan tema, tokoh, gaya, dan seterusnya dikawatirkan hanya akan seperti bandingan novel dan prosa yang lain.

Yang perlu diingat, drama tergolong karya sastra yang super kompleks. Kekompleksan ini akan menciptakan suasana bandingan yang bervariasi. Studi sastra bandingan yang mengambil obyek drama, tidak harus disbanding dengan drama, melainkan dapat dengan genre lain. Drama dapat dibandingkan dengan prosa, namun bandingan semacam ini menjadi sangat tekstual. Bandingan antar teks

Kerja sastra bandingan dapat membanding dua karya atau lebih yang ada kesamaan genre. Bandingan antara drama satu dengan drama lain boleh saja, asalkan ada kemiripan. Sebenarnya kajian drama ini terfokus pada teks drama, hingga seperti membanding dua cerpen ataupun dua novel. Kajian ini terutama dititikberatkan pada penelaahan teks karya-karya sastra yang dibandingkan, misalnya karya sastra A dengan karya sastra B, ataupun beberapa karya sastra seorang pengarang dengan satu atau lebih karya sastra seorang pengarang lainnya. Dapat dikatakan bahwa kajian ini merupakan titik awal munculnya sastra bandingan; oleh karena itu, kajian ini selalu dipandang sebagai bagian terpenting dalam kajian sastra bandingan.

Kajian yang bersifat komparatif dapat berbentuk kajian pengaruh (influence study) maupun kajian kesamaan (affinity study) tergantung pada apakah diperoleh data mengenai adanya hubungan antara seorang pengarang dengan pengarang lainnya, ataupun seorang pengarang telah pernah membaca karya yang mempengaruhinya. Di samping itu, kajian yang bersifat komparatif ini dapat mencakup kajian mengenai tema (thematic study maupun kajian mengenai genre (generic study). Sastra bandingan drama dapat saja diarahkan untuk merunut seberapa konsep pengaruh roman sejarah terhadap kreativitas drama. Begitu pula bandingan antara ketoprak dengan karya sastra babad, begitu seterusnya.
Ketika ada pentas akhir kuliah Drama Jawa, seluruh mahasiswa saya wajibkan berkreasi sepuas-puasnya. Ternyata, pentas yang terbagi menjadi beberapa kelompok itu, ada yang membuat lakon Sekar Pudhak Kencana, yang mirip dengan kisah Panji. Lakon drama ini dapat pula dibandingkan dengan siklus Panji dan drama Andhe-andhe Lumut, untuk menemukan hipogram. Berbagai asesori, kostum, dan perubahan di sana sini menarik dibandingkan. Bandingan drama semacam itu memang kompleks dan memerlukan pemahaman total dari seluruh unsur pendukung pertunjukan.

Bandingan drama serupa pernah dilakukan Soemanto sebagai disertasi, yaitu lakon Menunggu Godot. Bandingan antara drama Indonesia dan Amerika itu memang cukup penting dalam perjalanan sastra bandingan. Perhatian dia pada teater, telah menyebabkan buku sastra bandingan yang dihasilkan semakin tajam. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan artikel berjudul 'Images of the Absurd life: Betsuyaku's Ide and Beckett's En Attendant Godot" (dalam "Comparative Literaturee Studies", vol. 20, no.l Spring 1983), John T. Dorsey membandingkan dua karya sastra, yakni Ido ciptaan Betsuyaku Minoru dan En Attendant Godot karya Samuel Beckett. Tampaknya kisah dramatis Menunggu Godot itu memang telah meluas dan banyak menyedot perhatian ahli sastra bandingan.

Karya Betsuyaku diterbitkan tahun 1973 sedangkan karya Beckett tahun 1953. Meskipun kedua karya drama tersebut memiliki inti cerita dan gerakan yang sama sekali berbeda, Dorsey melihat adanya berbagai persamaan dalam kedua drama di atas. Jika ada kesamaan antar unsure, biarpun hanya satu atau dua, tetap menarik dibandingkan. Pembanding dapat merunut lebih jauh, mengapa kedua karya sastra yang memiliki genre berbeda sampai ada kemiripan. Sebut saja kalau ada pentas ketoprak yang digubah Handung Kus Sudyarsana, ternyata kalau ditengok ke peta sejarah sastra Jawa, merupakan gubahan dari roman berjudul Jakasura Tresnawati.

Kedua karya drama tersebut, menurut Dorsey, pada intinya menggambarkan suatu keadaan dalam kehidupan manusia yang dapat dikatakan sebagai suatu kebuntuan. Tak ada jalan ke luar bagi para pelakunya untuk memecahkan masalah kehidupan mereka Ada dua perbuatan utama yang berbeda pada kedua drama tersebut, yakni bergerak' dalam Ido dan 'menanti' dalam En Attendant Godot. Namun, bergeraknya para pelaku dalam Ido tidak dengan sendirinya menunjukkan sesuatu yang dinamis karena mereka ternyata tidak beranjak dari tempat mereka semula, sedangkan menanti, yang dalam hal ini dilakukan oleh Estragon dan Vladimir, tidak berarti mereka pasif karena dengan menanti tersebut mereka sesungguhnya melakukan suatu pekerjaan. Di samping itu, 'bergerak' dan 'menanti' itu sama-sama menunjukkan adanya suatu pergerakan, yakni bergerak dalam ruang dan waktu.

Perbuatan bergerak dan menanti pada kedua karya drama tersebut sama-sama menunjukkan keabsurdannya Keluarga Jepang pada Ido sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti ke mana tujuan mereka bergerak dan apa yang akan menanti mereka di tempat yang baru seandainya mereka sampai ke sana. Sedangkan Vladimir dan Estragon pada karya drama Beckett tidak mengetahui apa dan siapa Godot itu dan seandainya pun merka bertemu dengan Godot mereka tidak mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Akhir dari perbuatan 'bergerak' dan 'menanti' tersebut mengarah pada kematian. Tanda tanda untuk ini dapat dilihat pada kejadian-kejadian berikut ini.
Ido Sang istri, pada permulaan drama ini, menyebutkan sejumlah tindakan bunuh diri dan cara-cara yang mereka pergunakan untuk bunuh diri juga ada suatu keluarga lain yang menceritakan tentang kematian seorang pemuda. Sang istri menyatakan bahwa pesta perpisahan di tempat mereka semula bagaikan suatu upacara penguburan dan orang-orang di sana menganggap keluarga tersebut sebagai orang-orang yang akan mati.

Barang-barang bawaan mereka banyak yang hancur. makanan basah dan rusak, dan pada puncaknya sang kakek, nenek, dan anak kecil mati satu persatu. Setelah kematian ketiga orang tersebut, suami bergerak terus tanpa berbicara. Sang suami gerobak yang telah bobrok yang berisikan beberapa barang milik mereka, sedangkan istri berjalan sambil menggendong anak yang telah mati. Terus bergeraknya mereka akan menimbulkan kelelahan dan merupakan cara menghabiskan waktu menanti dalain kematian.

Dalam kedua babak karya drama ini Estragon dan Vladimir menyatakan niat mereka untuk bunuh diri, tetapi tidak jadi mereka lakukan. Vladimir menyatakan bahwa dia ingin mereka merupakan orang pertama yang melompat dari menara Eiffel. Kekurangan makanan yang dihadapi pelaku tergambar pada karya drama ini. Pada Babak I Estsagon masih mendapatkan wortel untuk dimakan tetapi pada Babak II tidak ada lagi wortel. Estragon sangat mengnnginkan tulang ayam yang dagingnya telah habis dimakan oleh Pozzo. Kerusakan fisik terjadi pada dua orang pelaku lainnya, Pozzo dan Lucky. Pozzo menjadi buta sedangkan Lucky menjadi bisu. Pada akhir Babak I dan II Estragon dan Vladimir digambarkan gagal bertemu dengan Godot karena Godot tidak datang, namun kedua orang tersebut tetap bermaksud menanti. Dan yang sebenarnya mereka nantikan adalah kematian mereka.

Dekorasi pentas pada kedua karya drama tersebut sama-sama minim. Apablia dalam En Attendant Godot han ada sebuah pohon yang tak berdaun dan sebuah gunduk tanah, pada Ido pohon tersebut digantikan dengan sebu tiang listrik, suatu penggambaran kekosongan dan kehampa dalam kehidupan manusia yang penuh kebingungan. Ketegangan dan konflik dalam karya drama tersebut pa hakikatnya berasal dari situasi penggambaran orang-orang dengan kondisi dan tempat yang tertentu, orang-orang yang mencoba untuk berbuat sesuatu yang kelihatannya tidak terlaksana.

Persamaan-persamaan yang terdapat dalam kedua karya drama di atas, menurut John T. Dorsey, adalah akibat adanya pengaruh langsung karena Betsuyaku telah diketahui pernah membaca serta mengagumi karya Samuel Beck tersebut. Kajian yang dilakukan oleh John.T Dorsey di atas benar-benar bersifat komparatif. Mungkin karena kedua karya drama itu relatif masih baru diciptakan, tidak terlalu suka bagi Dorsey untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan antara Betsuyaku dengan En Attendant Godot. Informasi ini diperolehnya dari jurnal "Kokubungaku" yang terbit pada tahun 1979 (no. 3). Oleh karena itu, dia tidak perlu lagi meneliti bagaimana proses penciptaan karya Betsuyal serta menjejaki latar belakang dan sejarah hidup kedua pengarang karya drama tersebut. Akibatnya, nilai historis hampir tidak kita jumpai dalam artilkel yang dipersembahkannya.

Dari data demikian, sesungguhnya keterjalinan teks tidak akan dapat dihindari oleh pengarang. Perubahan bentuk, gaya, tradisi, dan tema karya sastra dapat saja terjadi dalam keterjalinan antar teks. Kedok dan kredo kreativitas dan inovasi sering menjadi bingkai dan andalan setiap pengarang. Oleh sebab itu, pengkaji sastra bandingan perlu jeli menatap teks sastra. Dari tradisi dan pembalikan tema-tema pun perlu dicermati dalam keterjalinan itu. Biarpun pengarang menggunakan gaya jungkir balik, apabila kita cukup cerdas, akan mampu memahami keterjalinan antar teks.

0 komentar:

Posting Komentar