KETERJALINAN TEKS DAN KONTEKS DALAM SASTRA BANDINGAN
A. Teks dan Jalinan Komunitas
Sastra
Komunitas sastra merupakan wahana pembangun
komunikasi sastra. Melalui komunitas-komunitas, seperti kantong-kantong,
sanggar, kedai, dan sebagainya akan terjadi komunikasi sastra yang intensif.
Melalui komunitas itu, seringkali juga terjadi gesekan-gesekan sastra. Gesekan
tersebut intinya jelas tidak akan lepas dari sastra bandingan.
Biasanya sastra bandingan melalui komunitas sastra
cenderung ke arah estetika kreatif. Dari sini muncul pula akumulasi konsep
sastra bandingan yang begiru beragam. Konsep sastra bandingan memang lentur dan
cair. Memang patut disyukuri bahwa dari waktu ke waktu studi ini telah
berkembangan dengan asumsi yang berkembang pula. Gifford (1993) berpendapat
bahwa sastra bandingan tidak lain merupakan bandingan teks dalam konteks across cultures. Hal ini merupakan studi
interdisipliner sastra, yang memperhatikan pola-pola hubungan teks antar waktu
dan tempat yang berbeda. Studi interdisipliner akan semakin intensif manakala
dikelola oleh sebuah komunitas sastra.
Pengertian komunitas ini, mirip gagasan Victor
Turner, yang di dalamnya ada kesamaan pandang antar anggota komunitas. Biarpun
masing-masing pihak memiliki perbedaan kepentingan, muaranya tetap terkait
dengan upaya pengembangan sastra. Ketika komunitas itu belum akrab dengan
sastra, biasanya sering ada keraguan. Mereka masih meraba-raba, apakah karya
sastra memiliki keterjalinan antar teks dan bidang lain. Terlebih lagi kalau
makna “teks” itu diartikan longgar, seperti pemikiran Geertz, bahwa seluruh
ujaran atau ciptaan itu sebuah teks. Pada tataran ini berarti teks dapat saling
terkait satu sama lain, hingga mewujudkan keterjalinan erat.
Harus diakui, bahwa kadang-kadang tak seorang pun
dalam suatu universitas sebagai mahasiswa sastra yang tiba-tiba tertarik pada
sastra bandingan pada semester awal. Saya memahami hal ini, sebab pemahaman
mereka terhadap cipta sastra memang belum begitu luas dan mendalam. Mereka
umumnya masih menggeluti sastra pada tataran apresiasi ringan. Tentu berbeda
dengan mereka yang sering terjun ke sanggar-sanggar, membangun komunitas,
banyak membaca sastra teman-temannya, jelas akan segera tergoda dengan sastra
bandingan. Umumnya, mereka mendapatkan pengetahuan dasar tentang metode dan
istilah yang digunakan dalam penelitian sastra bandingan melalui perpustakaan,
manual, kamus, bibliografi, edisi teks ilmiah.
Sementara itu, harus disadari bahwa sejarah sastra
kita sebagian besar merupakan sebuah interpretasi teks, tetapi jarang yang
membaca sampai ke arah keterjalinan sastra. Padahal kalau belajar sejarah
sastra telah dibiasakan kritis, memahami hubungan antar teks, dibina melalui
sebuah komunitas sastra, cepat atau lambat akan segera paham terhadap sastra
bandingan. Kita harus mengetahui, linguistik pada prinsipnya, gaya, prosodi,
dan struktural juga akan bermanfaat bagi interpretasi sastra. Namun dalam
sastra bandingan harus dilatih dalam aplikasi tertata untuk memahami arti dari
istilah penting dan bentuk dan tema teks.
Selain itu, kita harus menyadari apa yang
terkandung dalam berbagai periode sastra. Periodisasi sastra akan amat berguna
apabila dibahas melalui komunitas sastra. Dari sini seringkali muncul pemikiran
ketersentuhan antar karya sastra. Hubungan sastra dapat muncul melalui dialog
komunitas, resensi, diskusi intensif, dan timbangan sastra yang lain. Hal ini
sangat dimengerti bahwa, selama periode awal belajar sastra, kita cenderung
menghubungkan pengertian sastra kita. Misalnya, sebagai mahasiswa bahasa
Inggris dan sastra, dapat membaca ayat-ayat lain dalam. Kita membaca, misalnya,
tentang aspirasi Wordsworth untuk menggunakan bahasa colloquial dan untuk menggunakan perangkat prosodi sederhana dalam
penulisan puisi berjudul "Nya balada
liris" dan Coleridge juga tahu bahwa karya itu telah terinspirasi oleh
lagu daerah. Shellcy, di sisi lain, percaya pada asal-usul supranatural
inspirasi penyair itu. Dia yang paling tekun mempelajari tingkat imajinasi
sampai sebatas mempertimbangkannya menjadi sejuk utama penciptaan puitis.
Penyair yang sama sering merujuk tentang puisi
fungsi Agustus "pemberi hukum" untuk kemanusiaan. Sementara itu, kami
mungkin tidak menyadari fakta bahwa kedua praktek dan jenis busur pemikiran
sastra yang sama dan pada saat yang sama dapat ditemukan di luar Kepulauan
Inggris. Kita cenderung berpikir bahwa referensi tersebut harus dilakukan
dengan kesejajaran kebetulan dan tidak menyadari bahwa mereka dapat menunjukkan
keberadaan komunitas sastra internasional. Dengan demikian, sejarah sastra dan
komunitas sastra begitu besar perannya dalam pengkajian sastra bandingan.
Secara bertahap, bagaimanapun, kami menyadari fakta
bahwa sebagai pemerhati salah satu sastra nasional, kita langsung
berkonsentrasi pada data historis, prinsip, dan metode penelitian yang sama berlaku dalam studi tentang sastra lain. Hasilnya adalah bahwa
kita menyerah melihat subjek kita sebab tidak berhubungan dengan orang lain
dari jenisnya. Sejarah sastra tertentu sekarang menganggap keberadaan komunitas
sastra, dan sering dapat menemukan sampai ke akar sastra lainnya. Sejauh yang
bisa dilacak kembali sejarah, sastra kita mampu melintasi dampak teks sastra
yang demikian merupakan kelompok yang koheren. Beberapa negara mencoba menjadi
bagian dari komunitas sastra dan yang tidak bergantung pada rezim militer dan
politik gersang penaklukan mereka atau supremasi budaya damai.
Atas dasar hal tersebut, memang seorang pengkaji
sastra bandingan yang kebetulan atau sengaja menjadi anggota komunitas akan
memiliki peran penting dalam kesuksesan sastra bandingan. Paling tidak, ada
beberapa keuntungan memasuki komunitas sastra dalam konteks sastra bandingan,
yaitu:
(1) memperoleh masukan antar teman tentang keterkaitan sastra satu dengan yang lain,
(2) semakin kritis dalam meninjau karya sastra dengan mensejajarkan dengan karya sastra atau bidang lain,
(3) pengkaji akan semakin hati-hati dan proporsional dalam membandingan karya antar anggota komunitas,
(4) hasil sastra bandingan akan segera menyentuh sasaran komunitas sastra, sehingga dampaknya segera dapat dirasakan.
(1) memperoleh masukan antar teman tentang keterkaitan sastra satu dengan yang lain,
(2) semakin kritis dalam meninjau karya sastra dengan mensejajarkan dengan karya sastra atau bidang lain,
(3) pengkaji akan semakin hati-hati dan proporsional dalam membandingan karya antar anggota komunitas,
(4) hasil sastra bandingan akan segera menyentuh sasaran komunitas sastra, sehingga dampaknya segera dapat dirasakan.
B. Intertekstualitas Sebagai
Konsep Relasional Sastra
Dalam
tulisan ini saya mencoba mengangkat pemikiran untuk mendefinisikan identitas
intertekstual. Wawasan dia, memang banyak berkiblat pada gagasan Culler,
Riffaterre, dan Kristeva yang pernah saya pelajari. Sepenuhnya saya sadar dari
awal bahwa dalam banyak hal ungkapan intertekstual memang cukup kontradiksi.
Jika dengan identitas kita maksudkan beberapa esensi tetap dan stabil, maka
sangat sulit untuk berdamai dengan intertekstualitas, yang baik sebagai istilah
dan konsep, telah dibangun ke dalamnya rasa yang provisionary dan tidak stabil.
Kecenderungan saat itu dalam studi sastra menikmati justru berasal dari status
ini provisionari dan tidak stabil. Hal itu adalah istilah dalam proses
diidentifikasi menjadi sama seperti menganugerahkan pada karya sastra berbagai
identitas.
Sebagai istilah, intertekstualitas sering tidak
lepas dari konsep pluralitas. Orang bisa membicarakan hal itu dalam bentuk
jamak sebagai ikatan intertekstual yang telah disusun dalam hal teoritis dan
disebarkan dalam strategi metodologis. Intertekstualitas dapat berbagi dengan
fitur-fitur lain yang umum tertentu, tetapi ada beberapa yang dapat ditemukan
dalam semua pengertian kata tersebut. Singkatnya, tidak ada fitur konstituen,
ympu ang mmemuaskan untuk semua orang, untuk mendefinisikan istilah tersebut. Pendekatan kedua
yang bisa menyatukan berbagai kata adalah untuk mempertimbangkan bagaimana
intertekstualitas didefinisikan dalam perlawanan terhadap sejarah leluhur,
studi sumber pengaruh. Sebuah kelemahan lebih lanjut dari kecenderungan untuk
menentukan intertekstualitas dalam hal studi sumber-pengaruh adalah untuk
mengatur makna terakhir.
Sumber-pengaruh studi, seperti konsep-konsep
seperti novel tradisional cenderung menjadi entitas mistis yang dibuat oleh
praktisi. Dengan ini berarti bahwa setiap klaim yang menyangkal sifat
ideologisnya bertekad untuk menipu. Memang banyak dinikmati oleh semangat
intelektual istilah ini berasal dari konsep Barthes dan implikasi ideologisnya,
kita harus melibatkan mereka sepenuhnya, yang sama sekali tidak berarti
menerima mereka secara membuta. Sebagai konsep ideologis intertekstual terus
untuk mendapatkan makna baru sebagai kritikus berusha untuk menetapkan atau
memperbaikinya. Bahkan di sini ia mengambil bagian dari paradoks pertumbuhannya
sebagai sebuah konsep adalah hasil dari sebuah gagasan yang sangat spesifik
'teks' yang Barthes dan Kristeva, antara lain, telah berusaha untuk
mempromosikan, telah berperan penting dalam merumuskan gagasan tentang
tekstualitas. Seperti Michael Riffaterre telah menunjukkan, gagasan tentang
tekstualitas yang tak terpisahkan dan didirikan atas intertekstualitas.
Intertekstualitas datang ketika
pendekatan-pendekatan yang menekankan teks sebagai suatu kesatuan mengatur diri
sendiri dan menekankan kemerdekaan fungsional dirasakan, untuk satu alasan atau
lainnya, tidak memadai atau tidak bisa dipertahankan. Jadi mata uang di banyak
kasus telah mendapatkan sebagai istilah umum, meliputi semua dan setiap
hubungan eksternal teks mungkin memiliki dan memeluk cara yang paling
dipikirkan dari mengontekstualisasikan itu dalam kerangka acuan yang lebih
luas. Dalam domain Anglo American, dimana Kritik Baru, dengan penekanan pada
faktor intrinsik, adalah semakin berkurang, intertekstualitas adalah stimulus
yang banyak disambut untuk studi sastra. Namun di situlah letak salah satu
kesulitan-kesulitan kecenderungan untuk mencopot setiap aspek lain dari
lapangan. Bagian dari masalah telah mendefinisikan identitas intertekstual
justru berasal dari mencoba aman bagi sebuah wilayah sendiri, salah satu yang
membatasi kecenderungan untuk mengambil alih sekutu bidang dan tematik puisi
panjang.
Dalam buku saya Metode
Sastra Bandingan, telah saya rembug ihwal bandingan intertekstual. Namun,
akan lebih lengkap apabila gagasan ini dijadikan pembanding, agar tampak jelas seluk beluk interteks itu sendiri. Wacana interteks memang
kadang-kadang cukup mengganggu, apalagi jika terdengar oleh pengarang.
Pengarang serta merta akan menolak istilah ini, sebab menurut mereka semua
karya itu kreasi.
Untuk mengacu pada teks sastra sebagai sumber
penulisan sastra berikutnya, intertekstualitas menjadi pilar penting. Interteks
adalah studi yang berbicara tentang sumber-pengaruh, misalnya pengaruh
Hemingway pada Camus. Kunci pokok interteks adalah terjadinya relasi antar
karya sastra. Istilah relasional yang konsisten dengan pendekatan yang
berorientasi pada pembaca dan menghindari mengkhianati afiliasi sadar dengan
orientasi penulis. Satu cara yang sangat produktif untuk mendefinisikan
hubungan intertekstual adalah metafora sebagai bentuk kutipan di mana fragmen
wacana adalah diakomodasi atau diasimilasikan oleh teks terfokus. Menggambarkan
dengan cara ini memungkinkan kita untuk melihat interteks yang memiliki dua
identitas terpisah:
(a) sebagai teks independen berfungsi dalam dirinya sendiri, yang mungkin tidak diketahui, terlupakan atau bahkan hilang;
(b) sebagai asimilasi atau versi diakomodasi tertanam dalam beberapa cara dalam teks terfokus.
(a) sebagai teks independen berfungsi dalam dirinya sendiri, yang mungkin tidak diketahui, terlupakan atau bahkan hilang;
(b) sebagai asimilasi atau versi diakomodasi tertanam dalam beberapa cara dalam teks terfokus.
Keuntungan intertekstualitas beberapa dukungan
teoritis jika kita menganggap prasangka pada dasarnya istilah relasional,
menghubungkan ucapan-ucapan. Penamaan sebuah ucapan pengandaian adalah hanya
suatu cara menunjuk salah satu pernyataan dengan cara yang menentukan fungsi
relasional untuk yang lain. Namun, kemungkinan istilah itu aik sebagai kata
benda dan sebagai kata kerja adalah adalah identitas interteks. Namun, jika
kita melangkah lebih jauh dan berusaha berbicara lebih tepat tentang cara ini
proses asimilasi fungsi akomodasi dalam teks-teks tertentu, kita dihadapkan
oleh salah satu potensi kelemahan serius dari pandangan citational identitas
intertekstualitas. Jika kita memiliki jalan, misalnya, untuk istilah-istilah
seperti imitasi, parodi, plagiarisme, dan bahkan parodi untuk menggambarkan
hubungan intertekstual, kita membawa ke memainkan istilah evaluatif yang sulit
untuk mempertahankan ukuran intensionalitas pengarang.
Tentu saja kita dapat berusaha untuk mendefinisikan
kembali istilah-istilah seperti parodi dengan cara yang lebih netral, tetapi kita
tidak dapat menghilangkan mereka sepenuhnya dari seluruh asosiasi
intentionalitas dan dengan demikian menghindari melemahnya definisi identitas
intertekstual sebagai konsep murni berorientasi pembaca. Pendekatan yang agak
berbeda dari analogi adalah untuk menekankan kesamaan atau perbedaan yang ada
antara teks dan interteks sebagai bentuk transformasi dimediasi oleh semacam
invarian. Jadi untuk menegaskan keunikan teks berkenaan dengan teks-teks lain, dalam hal transformasi, baik
sebagai realisasi lebih lengkap atau pelanggaran dari beberapa invarian pola
dasar atau struktural tidak hanya untuk membawa ke permainan cerita dan nilai
tetapi juga untuk memohon sebuah konstitutif atau esensial pengertian
identitas. Kita memang mungkin ingin merangkul penilaian kualitatif tentang
teks-teks yang model transformasional.
Salah satu upaya yang paling kuat untuk
mengembangkan gagasan tentang intertekstualitas bertentangan dengan studi
sumber-pengaruh. Gagasan Barthian yang melihat teks terfokus (memang semua
teks) sebagai suatu mosaik yang terdiri sepenuhnya fragmen materi linguistik
dikutip dari sumber-sumber anonim, kolase dari potongan-potongan bahasa dibawa
ke kedekatan spasial dan mengundang pembaca untuk membuat semacam energi
interrelational mereka. Seperti pandangan radikal memandang teks dari setiap
kalimat dari mosaik tidak hanya sebagai menciptakan pola intratekstual tetapi
juga menunjuk ke koneksi ektratekstualnya. Di sinilah fitur dapat disimpulkan
dari prasangka menjadi sangat relevan. Karena sumber ektratekstual koneksi ini
mungkin tidak diketahui (memang salah satu asumsi ini pengertian teks adalah
bahwa mereka sebenarnya tidak hanya diketahui, tetapi tidak dapat diketahui),
mereka hanya bisa disimpulkan secara umum, tidak terletak positif dalam khusus,
menandatangani wacana. Mereka berfungsi sebagai anggapan-anggapan demikian,
karena justru apa yang mendefinisikan perkiraan adalah bahwa hal itu dapat
'terputus' dari tuturan dalam yang tertanam melalui proses penalaran
inferensial.
Dalam arti tertentu ini sudah tersirat dalam posisi
Culler sendiri ketika dia membatasi potensi teks sastra. Hal ini tampaknya
merupakan kemunduran makna dari sebuah gagasan bahkan lebih penuh tentang
intertekstualitas. Setidaknya secara teori, Kristeva pernah mengintegrasikan
wacana sastra dengan bentuk lain dari wacana, di mana tidak ada status khusus
diberikan kepada sastra atau nilai estetika. Cara lain untuk menentukan limit
mungkin untuk membedakan antara pengandaian logis dan pragmatis sebagaimana
yang dikemukakan Culler tentang identitas intertekstual. Tafsiran pragmatis
adalah sebagai hubungan antara-ucapan kalimat dan konteks yang diucapkan.
Seperti telah ditunjukkan Culler, bahwa investigasi dari pengandaian pragmatis
adalah mirip dengan tugas yang dihadapi puisi. Hal tersebut melibatkan
berhubungan karya sastra untuk serangkaian karya lain memperlakukan mereka
bukan sebagai sumber. Kita dihadapkan dengan pilihan apakah ingin berurusan
dengan gagasan tentang intertekstualitas seluruh bidang puisi atau apakah kita lebih suka bahwa
gagasan ini memiliki makna lain.
Aspek yang paling diperdebatkan dari pengertian
Culler tentang intertekstualitas adalah perintah bahwa itu adalah kurang
berhubungan dengan teks sebelumnya. Tidak jelas bagi saya apa keberatan
teoritis bisa dinaikkan dengan menghubungkan teks yang sebenarnya. Ini adalah
satu hal untuk mempertahankan bahwa suatu interteks mungkin tidak diketahui dan
hal lain yang cukup untuk menegaskan bahwa hal itu tidak dapat diketahui Culler
tentu saja.
Barthes dan lain-lain menunjukkan bahwa sebuah
asumsi seperti dalam pikirannya yang mencoba memperluas konsep dari hubungan
intertekstual. Saya menduga bahwa sikap hati-hati Culler berakar dalam bagian
dari kepedulian untuk mengembangkan sebuah teori identitas intertekstual yang
konsisten dengan kritik ideologis tentang sumber dan asal-usul dan sebagian
dari rasa takut terjerumus ke asumsi ideologis dan metodologis strategi yang
terlibat dalam studi sumber-pengaruh.
C. Sastra Bandingan dalam
Lintasan Culture Studies
Kembali pada studi budaya terjemahan, yang terjadi
pada tahun 1980, dikaitkan dengan perkembangan di bidang memperluas 'cultural
studies'. Upaya untuk mendefinisikan kajian budaya telah penuh dengan jebakan
dan konflik, dan istilah adalah seperti yang digunakan-istilah Elie berguna
sebagai 'bandingan sastra' adalah sarjana abad kesembilan belas menghadapi
masalah yang sama, yaitu, adalah lebih daripada membantu . Namun, ada busur
banyak kesamaan menjadi kajian budaya pada 1990-an dan bandingan sastra di abad
terakhir. Keduanya upaya interdisipliner oleh para ahli untuk menghadapi dunia
yang berubah dengan cepat di mana ide mendatang, bahasa, bangsa, sejarah dan
identitas berada dalam proses pembentukan. Abad kesembilan belas pengkajian
sastra bandingan bergulat dengan masalah-masalah akar dan asal-usul, dengan
menentukan tradisi dan mendirikan kanon sastra, dengan menegaskan kesadaran
nasional dan berinteraksi dengan negara bangsa muncul di tempat lain. Ulama
yang lebih radikal mengemukakan kebesaran sastra asli mereka atas sastra klasik
yang masih berkuasa.
Guyard (Remark, 1971) melihat sastra bandingan
sebagai sesuatu yang berbeda dengan bandingan sastra atau sastra umum. Dia amat
berhati-hati terhadap kajian pengaruh dan lebih menggalakkan tulisan-tulisan
tentang sejarah perkembangan sastra dan sejarah interpretasi sastra dari satu negara ke negara lain, dan dia juga menekankan
pentingnya sastra itu sendiri. Dalam ceramahnya dia membedakan antara sastra
bandingan dan sejarah sastra. Saya setuju dengan gagasan ini, sebab keduanya
merupakan fenomena yang berbeda. Memang harus diakui, sejarah sas kadang
memerlukan sejarah, dan sebaliknya. Namun, tidak berarti keduanya harus
disamakan, baik makna dan fungsinya.
Sastra bandingan dan kritik sastra merupakan
penyatuan sastra Eropah, ilmu-ilmu sastra bandingan dan perkembangan pada masa
sastra bandingan. Dia memberikan penekanan pada kajian pengaruh dan sumber
tradisi, kajian tentang sastra yang memiliki keistimewaan sastra kebangsaan.
Dia juga mengetengahkan bahwa ada penerimaan dan kreativi tasdalam hubungan
sastra antara bangsa. Memang ada kesulitan memperbincangkan sastra negara
mereka sendiri dan sastra asing secara objektif. Keduanya diakui terdapat
perbedaan kualitas di kalangan sastra-sastra kebangsaan. Untuk menggariskan
sastra Eropah memerlukan pemilihan dan penilaian estetik disebabkan oleh
perbedaan antara pe-nerimaan dan pengaruh.Memang ada penekanan yang berbeda
antara zaman-zaman yang sama (contohnya Romantisisme) dalam pelbagai sastra.
Penulis mengandaikan bahwa rentetan yang sama terjadi dalam evolusi sastra
kebangsaan. Evolusi sastra kebangsaan adalah asas, dan sastra asing hanya
mempengaruhi sastra sekunder.
Seperti dikatakan Richard Johnson, bahkan sekarang,
khas 'sastra' dan khas 'sosiologis' pendekatan yang berkembang, erat gembira
untuk teoretis fragmentasi. Ini tidak masalah jika satu disiplin atau satu
bermasalah bisa memahami studi budaya secara keseluruhan, tapi ini tidak,
menurut pendapat saya, kasus. Proses budaya tidak sesuai dengan kontur pengetahuan
akademik mereka berdiri. Cultural studies harus melalui interdisiplin dalam
kecenderungan kita perlu mendefinisikan jenis khusus. Johnson berpendapat bahwa
ada tiga bentuk utama penelitian dalam kajian budaya, yaitu: (1) studi mengenai
proses produksi budaya, (2) pendekatan berbasis teks yang berfokus pada
produk-produk budaya diri mereka, dan (3) penelitian ke budaya hidup, yang
telah erat berkaitan dengan sebuah politik representasi. Dia juga mengakui
berhutang pada teori feminis, yang dipertanyakan segala macam asumsi tentang
sejarah sastra dan budaya, tentang sistem kategorisasi, tentang hubungan antara
diri pribadi-kebohongan dan kegiatan lingkup publik.
Studi tentang proses budaya, ia menyarankan, adalah
penting dan mendasar namun definisi dan kategori diambil dari seluruh
metodologi beragam. Hal yang sama dapat dikatakan yang paling awal manifestasi studi sastra komparatif, yang juga
menantang definisi yang tepat. Sayangnya, generasi berturut-turut melihat cocok
untuk mencoba dan membangun tanpa definisi yang tepat, dan sejarah sastra
bandingan sampai baru-baru ini telah menjadi sejarah yang pemurah upaya yang
ditakdirkan untuk gagal di awal. Hari ini, sastra bandingan di satu sisi sudah
mati. Sastra universal hampir membudayakan pendekatan yang berkontribusi kepada
kematian. Yang tetap bab buku ini mempertimbangkan bentuk-bentuk alternatif
studi sastra bandingan dan menunjukkan bagaimana aktivitas komparisi sedang
direvitalisasi agar cocok dengan politik di dunia saat ini.
D. Keterjalinan Teks dan
Kredibilitas Pengarang
Keterjalinan teks memang dapat melebar ke berbagai
genre sastra. Teks sastra prosa, dapat diubah menjadi puisi, drama, dan
sebaliknya. Perubahan teks dalam genre yang berbeda ini, sering mengecoh
pengkaji sastra bandingan. Bagi pengkaji yang hanya memiliki sebuah disiplin
sastra, misalnya banyak membaca puisi, ketika berhadapan dengan drama akan
menganggap yang dicermati tidak ada hubungan dengan genre lain.
Biasanya karya sastra drama yang banyak mengolah
dari genre lain. Celakanya, penulis teks drama sering kurang jujur, tidak
mencantumkan sumber olahan. Dalam konteks keterjalinan antar genre ini, memang
ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu: (1) penulis yang lahir
sebelumnya merasa idenya “diimpor” atau “dicuri”, apabila tidak disebut. Kalau
begitu kejujuran penulis berikutnya memang diperlukan. Pada posisi ini pengkaji
sastra bandingan yang memiliki peran untuk menunjukkan bukti-bukti ada
keterjalinan teks; (2) pengkaji sastra bandingan perlu hati-hati, ketika menunjukkan
data-data keterjalinan teks, agar tidak dituduh mengada-ada, menelanjangi
teks,yang membedakan dan membuka aib pengarang. Kemungkinan ke (2) ini, apabila
kurang bijak akan berbahaya bagi kredibilitas pengarang.
Tidak perlu heran, kalau ada pengarang yang kurang
kreasi, lalu kekeringan ide. Akibatnya, dalam drama misalnya dapat terjadi ide
yang dipungut dari sana-sini, tanpa penjelasan. Penulis drama memburu, mendaur
ulang karya-karya yang bergenre lain, tanpa melalui catatan kaki. Banyak orang
menyatakan bahwa drama itu sastra “kelas dua”. Biarpun anggapan ini tidak
selamanya benar, dalam studi sastra bandingan patut dipegang teguh. Maksudnya,
memang harus diakui bahwa tidak sedikit para penulis drama yang sengaja menulis
ulang, menerjemahkan, dan menformat genre sastra lain menjadi teks drama.
Padahal, teks tersebut kelak masih diolah oleh sutradara, diterjemahkan lagi,
dimodifikasi oleh pemain, begitu seterusnya. Akibatnya, keaslian dari ide awal,
menjadi kabur.
Jika hal semacam itu sering terjadi, protes antar
pengarang pun dapat terjadi dimana-mana. Yang lebih parah, antar pengarang
dapat saling ejek, saling mem-back list, dan apabila kurang kendali dapat
berujung pada kemarahan. Berkaitan dengan hal tersebut, bandingan drama dengan
genre lain, memang tidak salah dilakukan. Kita dapat membanding karya-karya
drama Handung Kus Sudyarsana dengan roman-roman karya Ki Padmosusastra. Drama
karya SH. Mintardja pun banyak yang disadap dari karya sastra babad. Belum lagi
dengan hadirnya dramawan konvensional yang lain, seringkali tidak mencipta
drama secara orisinal, melainkan mengolah yang telah ada.
Itulah sebabnya, bandingan drama memang membutuhkan
kejelian tersendiri. Sastra bandingan drama dengan drama pun jelas memerlukan
strategi khusus. Maksudnya, harus jelas unsur atau bidang apa saja yang hendak
dibandingkan, perlu diluruskan terlebih dahulu. Apalagi drama itu memang salah
satu genre sastra yang kompleks. Jika bandingan drama hanya membicarakan tema,
tokoh, gaya, dan seterusnya dikawatirkan hanya akan seperti bandingan novel dan
prosa yang lain.
Yang perlu diingat, drama tergolong karya sastra
yang super kompleks. Kekompleksan ini akan menciptakan suasana bandingan yang
bervariasi. Studi sastra bandingan yang mengambil obyek drama, tidak harus disbanding
dengan drama, melainkan dapat dengan genre lain. Drama dapat dibandingkan
dengan prosa, namun bandingan semacam ini menjadi sangat tekstual. Bandingan
antar teks
Kerja sastra bandingan dapat membanding dua karya
atau lebih yang ada kesamaan genre. Bandingan antara drama satu dengan drama
lain boleh saja, asalkan ada kemiripan. Sebenarnya kajian drama ini terfokus
pada teks drama, hingga seperti membanding dua cerpen ataupun dua novel. Kajian
ini terutama dititikberatkan pada penelaahan teks karya-karya sastra yang
dibandingkan, misalnya karya sastra A dengan karya sastra B, ataupun beberapa
karya sastra seorang pengarang dengan satu atau lebih karya sastra seorang
pengarang lainnya. Dapat dikatakan bahwa kajian ini merupakan titik awal
munculnya sastra bandingan; oleh karena itu, kajian ini selalu dipandang
sebagai bagian terpenting dalam kajian sastra bandingan.
Kajian yang bersifat komparatif dapat berbentuk
kajian pengaruh (influence study)
maupun kajian kesamaan (affinity study)
tergantung pada apakah diperoleh data mengenai adanya hubungan antara seorang pengarang dengan pengarang lainnya,
ataupun seorang pengarang telah pernah membaca karya yang mempengaruhinya. Di
samping itu, kajian yang bersifat komparatif ini dapat mencakup kajian mengenai
tema (thematic study maupun kajian
mengenai genre (generic study).
Sastra bandingan drama dapat saja diarahkan untuk merunut seberapa konsep
pengaruh roman sejarah terhadap
kreativitas drama. Begitu pula bandingan antara ketoprak dengan karya sastra babad, begitu seterusnya.
Ketika ada pentas akhir kuliah Drama Jawa, seluruh mahasiswa saya wajibkan berkreasi
sepuas-puasnya. Ternyata, pentas yang terbagi menjadi beberapa kelompok itu,
ada yang membuat lakon Sekar Pudhak
Kencana, yang mirip dengan kisah Panji. Lakon drama ini dapat pula
dibandingkan dengan siklus Panji dan drama Andhe-andhe
Lumut, untuk menemukan hipogram. Berbagai asesori, kostum, dan perubahan di
sana sini menarik dibandingkan. Bandingan drama semacam itu memang kompleks dan
memerlukan pemahaman total dari seluruh unsur pendukung pertunjukan.
Bandingan drama serupa pernah dilakukan Soemanto
sebagai disertasi, yaitu lakon Menunggu
Godot. Bandingan antara drama Indonesia dan Amerika itu memang cukup
penting dalam perjalanan sastra
bandingan. Perhatian dia pada teater, telah menyebabkan buku sastra bandingan
yang dihasilkan semakin tajam. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan artikel
berjudul 'Images of the Absurd life:
Betsuyaku's Ide and Beckett's En Attendant Godot" (dalam "Comparative Literaturee Studies",
vol. 20, no.l Spring 1983), John T. Dorsey membandingkan dua karya sastra,
yakni Ido ciptaan Betsuyaku Minoru dan En
Attendant Godot karya Samuel
Beckett. Tampaknya kisah dramatis Menunggu Godot itu memang telah meluas dan banyak menyedot perhatian
ahli sastra bandingan.
Karya Betsuyaku diterbitkan tahun 1973 sedangkan
karya Beckett tahun 1953. Meskipun kedua karya drama tersebut memiliki inti
cerita dan gerakan yang sama sekali berbeda, Dorsey melihat adanya berbagai
persamaan dalam kedua drama di atas. Jika ada kesamaan antar unsure, biarpun
hanya satu atau dua, tetap menarik dibandingkan. Pembanding dapat merunut lebih
jauh, mengapa kedua karya sastra yang memiliki genre berbeda sampai ada
kemiripan. Sebut saja kalau ada pentas ketoprak yang digubah Handung Kus
Sudyarsana, ternyata kalau ditengok ke peta sejarah sastra Jawa, merupakan
gubahan dari roman berjudul Jakasura Tresnawati.
Kedua karya drama tersebut,
menurut Dorsey, pada intinya menggambarkan suatu keadaan dalam kehidupan manusia
yang dapat dikatakan sebagai suatu kebuntuan. Tak ada jalan ke luar bagi para
pelakunya untuk memecahkan masalah kehidupan mereka Ada dua perbuatan utama
yang berbeda pada kedua drama tersebut, yakni bergerak' dalam Ido dan 'menanti'
dalam En Attendant Godot. Namun,
bergeraknya para pelaku dalam Ido tidak dengan sendirinya menunjukkan sesuatu
yang dinamis karena mereka ternyata tidak beranjak dari tempat mereka semula,
sedangkan menanti, yang dalam hal ini dilakukan oleh Estragon dan Vladimir,
tidak berarti mereka pasif karena dengan menanti tersebut mereka sesungguhnya
melakukan suatu pekerjaan. Di samping itu, 'bergerak' dan 'menanti' itu
sama-sama menunjukkan adanya suatu pergerakan, yakni bergerak dalam ruang dan
waktu.
Perbuatan bergerak dan menanti pada kedua karya
drama tersebut sama-sama menunjukkan keabsurdannya Keluarga Jepang pada Ido
sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti ke mana tujuan mereka bergerak dan apa
yang akan menanti mereka di tempat yang baru seandainya mereka sampai ke sana.
Sedangkan Vladimir dan Estragon pada karya drama Beckett tidak mengetahui apa
dan siapa Godot itu dan seandainya pun merka bertemu dengan Godot mereka tidak
mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Akhir dari perbuatan 'bergerak' dan
'menanti' tersebut mengarah pada kematian. Tanda tanda untuk ini dapat dilihat
pada kejadian-kejadian berikut ini.
Ido Sang istri, pada permulaan drama ini,
menyebutkan sejumlah tindakan bunuh diri dan cara-cara yang mereka pergunakan
untuk bunuh diri juga ada suatu keluarga lain yang menceritakan tentang
kematian seorang pemuda. Sang istri menyatakan bahwa pesta perpisahan di tempat
mereka semula bagaikan suatu upacara penguburan dan orang-orang di sana
menganggap keluarga tersebut sebagai orang-orang yang akan mati.
Barang-barang bawaan mereka banyak yang hancur.
makanan basah dan rusak, dan pada puncaknya sang kakek, nenek, dan anak kecil
mati satu persatu. Setelah kematian ketiga orang tersebut, suami bergerak terus
tanpa berbicara. Sang suami gerobak yang telah bobrok yang berisikan beberapa
barang milik mereka, sedangkan istri berjalan sambil menggendong anak yang
telah mati. Terus bergeraknya mereka akan menimbulkan kelelahan dan merupakan
cara menghabiskan waktu menanti dalain kematian.
Dalam kedua babak karya drama ini Estragon dan
Vladimir menyatakan niat mereka untuk bunuh diri, tetapi tidak jadi mereka
lakukan. Vladimir menyatakan bahwa dia ingin mereka merupakan orang pertama yang melompat dari menara Eiffel.
Kekurangan makanan yang dihadapi pelaku tergambar pada karya drama ini. Pada
Babak I Estsagon masih mendapatkan wortel untuk dimakan tetapi pada Babak II
tidak ada lagi wortel. Estragon sangat mengnnginkan tulang ayam yang dagingnya
telah habis dimakan oleh Pozzo. Kerusakan fisik terjadi pada dua orang pelaku lainnya,
Pozzo dan Lucky. Pozzo menjadi buta sedangkan Lucky menjadi bisu. Pada akhir
Babak I dan II Estragon dan Vladimir digambarkan gagal bertemu dengan Godot
karena Godot tidak datang, namun kedua orang tersebut tetap bermaksud menanti.
Dan yang sebenarnya mereka nantikan adalah kematian mereka.
Dekorasi pentas pada kedua karya drama tersebut
sama-sama minim. Apablia dalam En Attendant Godot han ada sebuah pohon
yang tak berdaun dan sebuah gunduk tanah, pada Ido pohon tersebut digantikan dengan sebu tiang listrik, suatu
penggambaran kekosongan dan kehampa dalam kehidupan manusia yang penuh
kebingungan. Ketegangan dan konflik dalam karya drama tersebut pa hakikatnya
berasal dari situasi penggambaran orang-orang dengan kondisi dan tempat yang
tertentu, orang-orang yang mencoba untuk berbuat sesuatu yang kelihatannya
tidak terlaksana.
Persamaan-persamaan yang terdapat dalam kedua karya
drama di atas, menurut John T. Dorsey, adalah akibat adanya pengaruh langsung
karena Betsuyaku telah diketahui pernah membaca serta mengagumi karya Samuel
Beck tersebut. Kajian yang dilakukan oleh John.T Dorsey di atas benar-benar
bersifat komparatif. Mungkin karena kedua karya drama itu relatif masih baru
diciptakan, tidak terlalu suka bagi Dorsey untuk mendapatkan informasi mengenai
hubungan antara Betsuyaku dengan En
Attendant Godot. Informasi ini diperolehnya dari jurnal
"Kokubungaku" yang terbit pada tahun 1979 (no. 3). Oleh karena itu,
dia tidak perlu lagi meneliti bagaimana proses penciptaan karya Betsuyal serta
menjejaki latar belakang dan sejarah hidup kedua pengarang karya drama
tersebut. Akibatnya, nilai historis hampir tidak kita jumpai dalam artilkel
yang dipersembahkannya.
Dari data demikian, sesungguhnya keterjalinan teks
tidak akan dapat dihindari oleh pengarang. Perubahan bentuk, gaya, tradisi, dan
tema karya sastra dapat saja terjadi dalam keterjalinan antar teks. Kedok dan
kredo kreativitas dan inovasi sering menjadi bingkai dan andalan setiap
pengarang. Oleh sebab itu, pengkaji sastra bandingan perlu jeli menatap teks
sastra. Dari tradisi dan pembalikan tema-tema pun perlu dicermati dalam
keterjalinan itu. Biarpun pengarang menggunakan gaya jungkir balik, apabila kita cukup
cerdas, akan mampu memahami keterjalinan antar teks.
0 komentar:
Posting Komentar