KRITIK
SASTRA BANDINGAN
A. Sastra Bandingan dan Kritik
Sastra
Sastra bandingan dan kritik sastra adalah dua
cabang ilmu sastra yang saling melengkapi. Pada suatu saat kritik sastra
membutuhkan sastra bandingan. Adapun sastra bandingan jelas menjadi bagian awal
kritik sastra. Kritik sastra yang mencoba menemukan orisinalitas dan bobot
karya sastra akan terkait dengan sastra bandingan. Bagimanapun sastra bandingan
merupakan tahap evaluasi sastra, yang dapat dijadikan sandaran kritik sastra.
Selain hubungan sastra bandingan dan kritik sastra,
sebenarnya sastra bandingan itu sendiri butuh kritik. Langkah-langkah sastra
bandingan perlu dikritik, agar dalam melakukan kajian tidak asal-asalan. Jadi,
hubungan sastra bandingan dan kritik sastra selalu isi-mengisi. Sastra
bandingan digunakan oleh para ilmuwan sebagai media dalam proses kritik sastra.
Kritik sastra yang bagus tentu tidak sekedar menacad karya sastra, melainkan
mendudukkan persoalan secara proporsional. Dalam kerangka kritik sastra,
terdapat tiga proses penggambaran mengenai sastra bandingan.
1.
Pada
mulanya, sastra bandingan dipakai untuk studi sastra lisan. Seperti
cerita-cerita rakyat, legenda, dongeng, dan sebagainya, diperlukan bandingan
untuk menemukan versi yang tertua atau asli. Pada proses ini, sastra lisan
dibandingkan dengan sastra tulisan atau sastra lisan yang lain. Ada yang
berpendapat bahwa sastra lisan hanya mengandung nilai-nilai budaya, adat
istiadat tanpa unsur estetika. Namun, justru pendapat ini keliru. Karena,
banyak karya sastra tulisan golongan atas yang mengambil tema dari
kesusasteraan rakyat sehingga meningkatkan status sosial. Jadi, sastra
bandingan bukanlah hanya menyangkut sastra lisan secara khusus.
2.
Pada
proses ini, sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusasteraan
atau lebih. Dalam hal ini, masalah yang timbul adalah mengenai masalah
bandingan karya-karya sastra. Misalnya, bandingan karya sastra Inggris dan
karya sastra Perancis. Bandingan mengenai ketenaran, pengaruh, dan sebagainya.
Namun, hal ini pula menjadi masalah baru yakni menjadikan para ilmuwan bosan
berurusan dengan fakta, sumber dan pengaruh.
3.
Pada
proses ini, sastra bandingan disamakan dengan sastra menyeluruh. Namun, Paul
van Tieghem mencoba mengkontraskannya. Menurutnya, sastra umum mempelajari
tentang gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sedangkan
sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusasteraan atau lebih. Tetapi, hal
ini pun tidak bisa diterima begitu saja. Misalnya, orang tidak dapat
membandingkan kepopuleran karya sastra sejarah yang melegenda dengan
kepopuleran karya sastra umum di seluruh dunia.
Selain perbedaan sastra bandingan
dengan sastra umum, masalah lain yang timbul adalah mengenai perbedaan antara
sastra universal dengan sastra nasional. Sastra nasional dianggap sebagai
kawasan tertutup dibanding dengan sastra universal. Namun, pada kenyataannya
sastra universal sangat berkaitan dengan sastra nasional. Seperti ruang lingkup
sastra Eropa. Sastra yang membahas kesusasteraan Inggris, Jerman, atau Perancis
yang saling berkaitan mengenai sejarah, tema, bahasa dan sebagainya. Jadi,
untuk dapat menggambarkan kaitan dan peran sastra nasional dan sastra
universal, perlu diketahui sejarah sastra secara menyeluruh.
Sastra adalah suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu
pengetahun khususnya yang menyangkut tentang sastra. Namun, tidak sedikit dari
ilmuwan-ilmuwan yang mengaburkan perbedaan ini. Ada yang berpendapat bahwa kita
tidak bisa mempelajari atau menelaah sastra jika tidak mencoba membuat karya
sastra seperti puisi atau drama. Pendapat tersebut memang ada benarnya, namun seorang
penelaah sastra hanyalah seseorang yang menerjemahkan hasil telaah sastranya ke
dalam bahasa ilmiah yang indah.
Adapun yang berpendapat bahwa karya sastra juga
mencakup hasil karya kedua atau second
creation seperti karya Walter Pater penyair Inggris abad-19 yang
mendeskripsikan karya Leonardo Da
Vinci, Mona Lisa, ke dalam tulisan. Padahal bagi kita itu hanyalah sebuah
tiruan dan bukan sebuah karya sastra. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa
sastra tidak dapat ditelaah. Tak lain hanya bisa dibaca, dinikmati dan
diapresiasi. Jika hal tersebut benar, lalu bagaimana sastra itu bisa
berkembang? Bagaimana sastra itu dapat diapresiasi jika tidak ditelaah lebih
jauh. Bagaimana seorang penyair bisa berkarya lebih baik lagi jika tanpa telaah
atau kritikan terhadap karyanya?
Mungkin yang diperlukan di sini adalah pemahaman
atau pendekatan terhadap seni, kekhasan sebuah karya sastra. Lalu bagaimana
caranya? Salah satu jawaban adalah dengan menerapkan metode ilmu alam ke dalam
studi sastra. Mulai dari asal, penyebab, kondisi-kondisi yang mendukung
terbentuknya sastra seperti kondisi ekonomi, sosial bahkan konsep geografi
bahkan biologi dalam menelusuri evolusi sastra.
Pendapat lain mengatakan bahwa sastra tidak dapat
terbentuk tanpa adanya sumbangan dari ilmu budaya. Ilmu alam juga berperan
dalam perkembangan studi sastra namun ilmu budaya juga sangat berperan terhadap
perkembangan studi sastra. Yang perlu diperhatikan adalah tujuan ilmu alam
berbeda dengan ilmu budaya. Banyak ilmuwan maupun sejarawan yang berpendapat
bahwa ilmu alam hanya mencakup fakta-fakta atau hukum-hukum yang bersifat umum
sedangkan ilmu budaya lebih memprioritaskan fakta-fakta yang bersifat khusus
atau individual.
Untuk membuktikan hal tersebut, kita bisa memahami
pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan orang menyukai Shakespeare karena
kekhasannya, bukan karena persamaannya dengan orang lain. Jadi, karya sastra
pada dasarnya bersifat umum namun juga khusus. Karya sastra dibangun dari
kata-kata yang bersifat ‘umum’. Karya sastra memang memiliki ciri khas tertentu
tetapi juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat digeneralisasikan sesuai
periode tertentu atau sesuai dengan kesenian pada umumnya tapi dengan
memperhatikan kritik sastra dan sejarah sastra yang lebih memprioritaskan
kekhasan sebuah karya sastra.
B. Kritik Komparatisme Sastra
Dalam buku Modern Criticism and Theory (1988), Lodge menampilan sejumlah
wawasan kritik sastra dari para ahli. Mereka umumnya berpegang pada disiplin
masing-masing, antara lain ada kritik dari linguis, formalis,
post-strukturalis, feminisme, hermeneutik, resepsi, psikoanalisis, dan
dekonstruksi. Seluruh kritik yang muncul, hampir belum ada yang mengemukakan
masalah sastra bandingan. Hal ini menandai bahwa seakan-akan sastra bandingan
belum termasuk salah satu jalur kritik sastra.
Asumsi demikian tentu tidak benar, sebab sastra
bandingan justru mengakumulasikan seluruh paham keilmuan sastra tersebut.
Konsep sastra bandingan meluputi aneka studi sastra yang lain, mulai dari
struktural sampai post-struktural. Oleh sebab itu, kritik sastra bandingan
menjadi lentur dan luas. Kritik sastra bandingan memang tidak bisa dihindarkan.
Apalagi sastra bandingan itu memang sebuah ranah disiplin yang masih mencari
format. Perdebatan sengit dalam rangka menemukan rumusan sastra bandingan
terus-menerus dilakukan oleh berbagai pihak, dan sampai kini belum berakhir.
Lewat tulisan Madiyant (Kedaulatan Rakyat, 22 Agustus 2004) yang waktu itu
beriringan dengan Konferensi
Internasional Sastra HISKI di Menado, sempat terjadi silang pendapat dengan
saya. Saya waktu itu memang tidak dapat hadir ke Menado, karena alasan sepele
(baca:finansial), tetapi tetap saya riuhkan dengan polemik hangat sastra
bandingan. Menurut hemat saya, konsepsi sastra bandingan itu sendiri masih
heboh.
Kata teman saya Madiyant, yang dengan gigih
mengintai aspek historis sastra bandingan, katanya khasanah sastra bandingan
mengenal percabangan dua aliran utama yang cukup berpengaruh, yakni aliran
Amerika dan Perancis. Adanya dua aliran ini sesungguhnya, menurut Saman (1986),
mengisyaratkan aspek metodologisnya secara praktis mengalami kondisi yang sama.
Bila aliran Amerika lebih menitikberatkan pada aspek bandingannya - sesuai
dengan namanya comparative literature -
maka aliran Perancis cenderung memilih aspek sastranya, sesuai pula dengan penamaan litterature comparee. Gagasan ini memang bukan hal baru, melainkan
sejak Wellek dan Warren (1989), disusul Ikram, dan Hutomo menulis sastra
bandingan, telah terjadi arus yang berbeda.
Kedua aliran tersebut tidaklah saling mengungguli,
meski beberapa ahli mencoba membawanya ke dalam suatu perdebatan untuk
menemukan kata sepakat tentang teladan yang harus dianut dalam sastra
bandingan. Kegagalan perdebatan ini, jika dapat dikatakan demikian, sebenarnya
dimacetkan oleh inti faham disiplin yang pada abad ke-20 kemarin menemukan
kepaduannya yang integral: komparatisme.
Kalau boleh saya komentari, istilah komparatisme ini memang lama-kelamaan kurang begitu dihiraukan oleh banyak pihak. Oleh karena,
perbedaan aliran yang diperlebar hanya akan menghasilkan kepicikan dalam studi
sastra bandingan.
Meski demikian perdebatan ini masih menyisakan
pertanyaan penting tentang wilayah komparatisme
itu sendiri: apakah la litterature
comparee ataukah les litteratures
comparees, saya cenderung
mengabaikan, sebab keduanya sama-sama memiliki alasan penting. Keduanya sebenarnya memiliki alasan
untuk memahami sastra secara totalitas. Jika yang dipilih adalah bentuk tunggal
(la), maka sastra akan dibandingkan dengan apa? Apakah sastra dengan sastra itu
sendiri? Ataukah dengan suatu ekspresi lain di luar sastra? Apakah jika
demikian kelak sastra bandingan akan sedataran dengan sastra umum? Tentu saja
tidak demikian, karena masih sering terdengar di ruang-ruang kuliah dibicarakan
sastra umum dan bandingan. Selain itu pula, jika dirunut dalam ekspresi
Inggris, Italia, Jerman, Perancis, atau Jepang (yaikaku bungaku), sastra
bandingan tampaknya lebih memihak pada bentuk tunggal.
Jika Jerman memakai istilah uergleiehende Literatur `sastra pembanding' dengan tekanan pada participe present, maka Italia dan
Perancis lebih memilih pada tekanan participe passe: litterature comparate, atau
litteratures comparees. Di satu pihak Amerika dan Inggris lebih memilih
istilah comparatiue literature tanpa
ada penekanan pada present atau passe. Menyikapi debat demikian, saya cendnerung pada gagasan Corstius
(1968) dan Gifford (1993) yang cendrung mengistilahkan comparative literature sebagai paradigma berpikir. Istilah terakhir
ini saya pikir ranah yang tidak terlalu
berlebihan untuk mendudukkan persoalan sastra bandingan dalam konteks luas dan
sempit.
Kritik terhadap teori dan wilayah garap sastra
bandingan selalu muncul tiap saat. Apalagi di beberapa negara memang sering
memiliki tekanan bandingan, hingga dapat memunculkan spekulasi yang tajam. Satu
hal yang kemudian tampak pada pilihan Italia, Amerika, dan Inggris adalah aspek
metodologisnya bertumpu pada komparatisme (uergleichende,
comparate, comparative). Dalam arti ini, negara-negara tersebut konsisten
untuk melihat disiplin ini sebagai suatu tindakan membandingkan, di pihak lain
memandang sastra sebagai fenomena terbandingkan. Namun demikian, beberapa ahli
masih juga memperdebatkan kewilayahan sastra bandingan dengan sastra umum dan
sastra dunia. Goethe misalnya, dalam couersations
auec Eckermann, mengungkapkan istilah Weltliteratur
yang dalam bahasa Inggris dapat dipadankan dengan world literature, dalam bahasa Perancis menjadi litterature universelle, dan dalam
bahasa Rusia mirovila literatura.
Namun, di Rusia, padanan tersebut tidaklah berpautan secara utuh dengan sastra
umum atau sastra bandingan karena semua (karya) sastra (asing) yang dibaca pada
akhirnya disejajarkan dengan sastra nasional.
Jika posisi yang dipilih seperti
itu maka persoalan pengaruh akan menjadi kajian utama. Pemilihan posisi ini
sendiri sebenarnya diawali oleh kekeliruan mendudukkan sastra umum sebagai
bentangan sejarah, sehingga akan muncul kesan semau-maunya dengan, misal,
membandingkan sastra Jawa kuna dengan sastra modern India, atau sastra modern
Indonesia dengan sastra Yunani kuna. Sastra umum memang tidak boleh ahistoris,
dengan kata lain sejarah yang menjadi pokok pohonnya adalah sejarah sastra itu
sendiri dengan selalu memperhitungkan tradisi-tradisi sastra yang hidup di
dalamnya sekaligus mencatat invarian-invarian yang muncul secara bersamaan
dengannya, atau justru membangun sejarah sastra dengan teori genre. Dari posisi
terakhir inilah dimungkinkan direntang, misalnya, sejarah teater (Mesir kuna,
tragedi Yunani, tazieh Iran, Racine, Elisabethan, Kabuki, kethoprak Jawa, dst).
Ringkasnya, antara sastra umum dan sastra dunia dapat dipandang sebagai
usaha-usaha sintesis dalam pautannya dengan analisis-analisis yang dilakukan.
Namun demikian, keduanya tidak dapat disejajarkan dengan sastra bandingan
karena yang terakhir ini lebih mengkhususkan penelitiannya pada sastra-sastra
nasional, yang menjadi bagian dari sastra dunia, tetapi tujuan yang dicapainya
adalah untuk membangun suatu sastra umum dan membangun suatu teori umum tentang
sastra. Metode komparatisme, dalam hal ini, adalah jalan yang memberi peluang
untuk mengantarkan dari suatu kajian secara analitis sangat sistematik pada
setiap sastra (nasional) untuk menuju kajian sintesis sastra secara umum.
Komparatisme memang tidak lahir di abad ke-20,
tidak pula di akhir abad ke 18. Ahli-ahli komparatisme Eropa cenderung
mengatakan komparatisme semestinya terlahir di Abad Pertengahan, jika mengingat
cukup banyak kajian yang melihat sastra di abad-abad itu begitu bebas berlalu
lalang tanpa mengenal batas-batas geopolitik maupun batasbatas ekspresi.
Seperti yang dilakukan Montesquieu yang membandingkan pelbagai bahasa
berdasarkan unsur bunyinya, atau usaha-usaha yang dilakukan Voltaire yang
mencoba memisahkan antara puisi-puisi yang murni epik dengan yang bukan
(artinya puisi yang semata-mata dikutip dari adat kebiasaan suatu masyarakat
atau dicomot dari cerita-cerita relijius). Atau usaha yang mencoba menggugat Gilgamesh bukanlah epos khas Perancis
karena merupakan hasil terjemahan dari teks-teks Arab yang di saat bersamaan
teks yang sama terdapat pula pada bahasa-bahasa Sumeria, Babilonia, Assiria,
dan seterusnya. Jika ingin ditarik lebih jauh ke kurun waktu yang lebih silam,
maka komparatisme sudah dikerjakan orang sejak awal-awal abad masehi, karena di
masa itu kitab Pancatantra mulai
diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan salinannya dikirimkan ke seluruh
Eropa. Dari hasil salinan inilah kelak Esope, pendongeng Yunani yang terkenal
itu, menjadi bapak dongeng Eropa karena berhasil melahirkan pendongeng-pendongeng masyhur seperti Jean De La Fontaine dan telah
melahirkan dongeng mundial 1001 Malam.
Sementara itu, sebelum Pancatantra
diterjemahkan ke bahasa-bahasa di luar Pali, dinasti Mataram terlebih dulu
memvisualkauya menjadi relief-relief Borobudur, Mendut, atau Sojiwan. Pada
kurun waktu berikutnya para pujangga Jawa bergerak lebih jauh, yakni
memvisualkan Kakatuin Arjunawiwaha pada
dinding-dinding dan sejumlah candi di Jawa Timur, atau mengangkat epos Mahabharata dan Ramayana ke atas
panggung wayang kulit dan sejak itulah kedua epos tersebut menjadi ruh seni pertunjukan wayang yang tak teringkari
lagi sebagai seni teater khas Indonesia.
Pertanyaan yang patut diajukan kemudian: apakah
komparatisme senantiasa harus dipertautkan dengan agenda perjalanan
sastra-sastra adiluhung? Jika tolok pemikiran yang akan ditempuh seperti ini,
maka tak akan pernah ada sastra yang benar-benar nasional yang didasarkan pada
teori keterpengaruhan adalah jantung komparatisme. Untuk alasan ini kelak
rezim-rezim fasis dan totaliter stalinian dan Hitler melarang semua bentuk
komparatisme sastra, seni dan sains. Komparatisme, alasan yang diajukan
rezim-rezim itu, hanyalah akan menafikan nasionalisme. Tidak mengherankan jika
kemudian Lukacs dan Fadieiev dikutuk karena mempraktikkan komparatisme sastra.
Kutukan itu sebenarnya ingin menjelaskan bahwa seorang kosmopolit identik
seorang borjuis. Sama halnya yang dilakukan Pramcedya dengan kawan-kawannya
saat mengganyang Hamka dengan Di Bawah
Lindungan Kabah dan Mohtar Lubis
dengan Jalan Tak Ada Ujung. Kedua
pengarang ini dituduh telah mengimpor
(baca menjiplak) nasionalisme Arab (Hamka) dan nasionalisme kapitalis (Mohtar
Lubis - romannya tersebut dituduh mengadaptasi sebuah cerita film Amerika).
Pada masa-masa seperti itu komparatisme sastra, di
negara-negara yang sedang asyik membangun ideologinya, belum memasuki kurun
idealnya. Usaha-usaha yang dilakukan para komparatis sastra Eropa dan Amerika
untuk merangkul Eropa Timur, Rusia, dan Cina barulah menunjukkan tanda-tanda
menggembirakan ketika pada 1962 Kongres Komparatisme Internasional di Budapes
dihadiri oleh sejumlah sarjana sastra dari negeri-negeri komunis. Hanya Cina
dan Albania yang tidak mengirimkan wakilnya. Pertemuan internasional ini
sekurang-kurangnya telah menyepakati arah pemikiran problematika, metodologi
dan masa depan komparatisme sastra itu sendiri.
Sementara itu, secara diam-diam Cina sudah
mengkampanyekan komparatisme sastra sebagai disiplin baru yang menjanjikan
cakrawala baru. Pada tahun 1982, misalnya, jurnal Litterature Chinoise No.3 menyajikan hasil-hasil penelitian Qian
Zhongshu yang mendasarkan diri.
pada teori Jean Marie Carre sehingga tidak mengherankan jika Qian Zhongshu melihat komparatisme sastra sebagai suatu keterhubungan, sebagai suatu perjalanan genre dan perubahannya di negeri yang dikunjunginya, kemudian dari tahapan ini ia beranjak ke kajian hubungan keterpengaruhan dan kajian pararelisme sastra dengan ekspresi seni lainnya. Penelitian Qian Zhongshu ini kelak diikuti oleh Mao Dun yang pada 1980 menerbitkan hasil penelitiannya tentang teater-teater asing di Cina Ze Theatre etranger en Chine'. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian-penelitian itu memang cukup menggembirakan karena sastra Cina dan Barat ternyata saling menyuarakan hal yang sama. Dengan kata lain yang ingin ditandaskan dari kesimpulan tersebut: bahwa pengarang Barat dan Cina sama-sama tukang jiplak. Meski kemudian oleh para komparatis Cina pernyataan itu diluruskan: bahwa selalu terdapat kaidah-kaidah yang sama pada sastra-sastra yang dilahirkan dari bangsa-bangsa yang berbeda. Dengan cara ini kelak muncul pengakuan dan pemahaman bahwa kajian komparatif sastra yang menuntut tingkat kecerdasan tertentu, mendudukkan komparatiame sebagai usaha terbaik dalam menjelaskan partikularitaspartikularitas setiap sastra. Artinya, jika ada tuduhan bahwa suatu sastra nasional dipengaruhi oleh sastra nasional yang lainnya, cara yang sebaik-baiknya ditempuh tidaklah seperti yang dilakukan Hitler atau Stalin, yakni solusi politik, tetapi melahirkan sebanyak-banyaknya kajian-kajian komparatif.
pada teori Jean Marie Carre sehingga tidak mengherankan jika Qian Zhongshu melihat komparatisme sastra sebagai suatu keterhubungan, sebagai suatu perjalanan genre dan perubahannya di negeri yang dikunjunginya, kemudian dari tahapan ini ia beranjak ke kajian hubungan keterpengaruhan dan kajian pararelisme sastra dengan ekspresi seni lainnya. Penelitian Qian Zhongshu ini kelak diikuti oleh Mao Dun yang pada 1980 menerbitkan hasil penelitiannya tentang teater-teater asing di Cina Ze Theatre etranger en Chine'. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian-penelitian itu memang cukup menggembirakan karena sastra Cina dan Barat ternyata saling menyuarakan hal yang sama. Dengan kata lain yang ingin ditandaskan dari kesimpulan tersebut: bahwa pengarang Barat dan Cina sama-sama tukang jiplak. Meski kemudian oleh para komparatis Cina pernyataan itu diluruskan: bahwa selalu terdapat kaidah-kaidah yang sama pada sastra-sastra yang dilahirkan dari bangsa-bangsa yang berbeda. Dengan cara ini kelak muncul pengakuan dan pemahaman bahwa kajian komparatif sastra yang menuntut tingkat kecerdasan tertentu, mendudukkan komparatiame sebagai usaha terbaik dalam menjelaskan partikularitaspartikularitas setiap sastra. Artinya, jika ada tuduhan bahwa suatu sastra nasional dipengaruhi oleh sastra nasional yang lainnya, cara yang sebaik-baiknya ditempuh tidaklah seperti yang dilakukan Hitler atau Stalin, yakni solusi politik, tetapi melahirkan sebanyak-banyaknya kajian-kajian komparatif.
Kritik yang banyak dilontarnya pada komparatisme,
tidak hanya menyangkut aspek historis. Munculnya komparatisme sebenarnya tidak
terlalu penting. Yang penting sebenarnya ada apa di balik itu semua. Menurut
hemat saya, kritik yang paling utama harus dilontarkan adalah bagaimana peran
komparatisme bagi perkembangan keilmuan sastra. Apakah komparatisme sekedar
ingin mencari “kambing hitam”, ataukah memang ada tujuan mulia.
Saya memandang, komparatisme sebuah aliran keilmuan
sastra yang layak dihargai, sebab bertujuan mulia. Komparatisme hendak melacak “kecerobohan”
atau sebaliknya “kecemerlangan” dalam cipta sastra. Apakah pengarang tertentu
hanya sekedar mencipta dengan dalih: (1) adaptasi, (2) meminjam, (3) mencuri,
dan (4) kreatif. Yang diharapkan dalam berolah sastra tentu saja aspek
kreativitas, agar menelorkan karya yang betul-betul brilian. Melalui
komparatisme, berbagai hal itu akan terkuak habis. Komparatisme ke depan akan
menjadi corong peradaban sastra.
C. Sastra Bandingan dan
Perselingkuhan Sastra
Istilah “selingkuh” memang saya adopsi dari
hura-hura seksual. Kata teman-teman yang gemar memasuki gerbang “selingkuh”,
memang berarti selingan indah keluarga utuh. Perslingkuhan sastra
pun, kira-kira berarti demikian. Sedapat mungkin sastra dikoreksi,
dibandingkan satu sama lain, tetapi tidak meretakkan jagad olah sastra. Melalui
sastra bandingan yang bijak, tentu semua pihak akan dapat menerimanya.
Mencermati tulisan Mardiyant (KR, 22 dan 29 Agustus
2004), seakan melihat pelangi sastra bandingan (sanding) dengan kaca mata hitam. Gagasan itu indah dan memang
bernuansa teoritik-historis. Saya pun angkat topi, ketika ide besar yang sering
dilupakan orang itu diberi pengantar redaksi - sebagai penyambutan Konferensi
Sastra HISKI di Menado. Topik sanding
HISKI itu sebelumnya sempat melalui perdebatan alot, ketika pengurus mengadakan
raker (rapat kerja) di Wisma Hijau Cimanggis beberapa waktu silam. Pasalnya,
pentingkah membahas sanding di era
sekarang ini?
Sayang sekali, apa yang disampaikan Muslikh memang
masih berupa kerangka konseptual. Biarpun konsepsi itu penting, namun hal-hal
praktis memang tidak kalah pentingnya. Hal ini, kemungkinan hanya akan
terpahami oleh pentolan-pentolan yang berkutat di jagad sastra Perguruan
Tinggi. Padahal, sesungguhnya kalau komparatisme sastra itu akan berkembang
pesat, harus dimulai sejak SD dan pemerhati sastra otodidak - tentu saja dengan
penyederhanaan tingkat bandingan. Mengapa tidak? Jika hal ini mungkin
dilakukan, memang para begawan sastra (di Indonesia) harus bersiap diri - tak
lagi berkutat terus ke arah `refleksi sastra'.
Setahu saya, sastra bandingan tak harus serumit
konsep yang dibeberkan Muslikh. Apa yang dia sampaikan memang cukup ideal.
Namun, untuk sampai ke tataran itu, hingga mampu membangun sejarah dan teori
sastra berdasarkan sastra bandingan, mungkin masih munpi jauh. Karena, harus
disadari sepenuhnya siapa sih ahli sastra di Indonesia ini yang memiliki track record ke arah sastra bandingan?
Para pemerhati sastra kita, umumnya masih `kacangan'. Jarang sekali, orang yang
mau menerjunkan dirinya ke arah satu bidang (disiplin sastra bandingan) saja,
karena dari sisi tertentu kurang menguntungkan.
Lebih dari itu, tampaknya komparatisme sastra di
negeri ini memang masih sering muncul dhatnyeng
(dalam waktu tertentu saja). Ketika orang hendak menyusun skripsi, tesis,
dan sertasi sastra, mungkin sastra
bandingan hadir. Itu saja belum terprogram secara jelas apa fungsi sastra
bandingan yang mereka lakukan. Ketika teman-teman di beberapa rusan sastra
melakukan kritik teks (semi sastra ban yang berbau filologis - juga berhenti
saja di rak perp takaan. Jarang sekali karya sastra bandingan yang mun ke luar
pagar akademik. Lagi pula, kalau objek garap sekadar dua karya,
dua periode, tentu sasaran ke de menjadi kurang jelas. Kalau begitu, apa
kita harus tunda jika dikatakan sastra bandingan kita masih acak-acakan?
Forum Sanding
memang pernah ada di FS (FIB) Universitas Indonesia (1990-an) dan FIB UGM
(2002-2003). Namun demikian, yang menjadi masalah hasil sastra bandingan
tersebut kadang-kadang tak dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan.
Jika dokumentasi sanding sekarang
cenderung untuk memenuhi target rak buku atau sponsor, kiranya belum akan
menggugah semangat bersastra ke depan. Mustinya tujuan praktis sanding pun patut ditentukan secara
jelas. Tanpa tujuan yang segera berdampak pada olah sastranya sanding akan gagal menjadi sebuah `kapal
pejuang sastra'.
Jika sanding
bertujuan untuk menyusun sejarah sastr teori sastra, kritik sastra, memang
bagus. Namun, tuju semacam ini terlalu berat. Menurut hemat saya, sanding negeri ini patut diarahkan saja
untuk menggairahkan olah sastra pengarang, penerbit, dan pembaca - sudah lebih
sukses. Kalau sanding telah mampu
mengentaskan `perselingkuhan sastra' di rumah sastra, warung-warung sastra, dan kantin-kantin sastra, telah layak
dipuji. Paling tidak melalui forum sanding
akan ditemukan beberapa pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap
karya berikutnya. Pengaruh itu yang seharusnya dicermati, sehingga ditemukan
`perselingkuhan saatra' berupa: penyaduran, penjiplakan, dan penyerobotan.
Kalau melalui sanding terlihat ada
fenomena `kotor', barulah dilakukan sebuah `pengadilan sastra', seperti yang
pernah digagas mas Ragil Suwarno Pragolapati tempo dulu.
Atas dasar itu, barulah dapat disimpulkan bahwa sanding memiliki dampak yang positif dan
bermakna. Yang menjadi problem, telah siapkah pengarang dan kritikus sastra
kita - menghadapi dampak sanding?
Secara psikologis, siap mental atau belum pengarang dan kritikus kita untuk
mengiyakan gagasan Cortius dalam bukunya Introduction
to the Comparative Study of Literature - bahwa karya sastra itu sekadar
himpunan karya sastra sebelunmya. Belum lagi kalau kritikus dan pengarang harua
dihadapkan pada gagasan Glifford dalam bukunya Comparatiae Literature (1993)
- bahwa dalam dunia sastra rentan
aekali terjadi penerjemahan, kesamaan tema, dan lain-lain. Sungguh tak berdaya
kalau sudah sampai terjadi demikian. Apalagi, kalau objek sanding
adalah sastra klasi yang waktu itu ada hegemoni raja (penguasa) untuk
mener jemahkan, menyalin, membeli karya dan dianggap karyanya, mengimpor, dan
seterusnya - sanding menjadi semaki
ruwet. Jika objek ini dibandingkan, tentu kritikus sastra hanya tercengang di
kamar sendirian - hampir sulit untuk menimbang bahwa karya R Ng Ranggawarsita tentang jaman edan itu sebuah `impor' dari Serat Centhini karya Pakubuwana V.
Dalam sastra modern, kadang-kadang juga berpeluan
sebagai rentetan benang sastra kuna (klasik). Katakan saja puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad tampa memijarkan Babad Blambangan, pada adegan Damarwulan dengan Anjasmara. Sajak Asmaradana karya Soebagio Sastrowardoyo juga ada persinggungan
dengan kisah Rc mdyana dan atau lakon
wayang kulit Sinta Obong. Belum lagi karya-karya Linus
Suryadi AG, Suminto A Sayuti, Sapardi Djoko Damono yang banyak mengisahkan pewayangan jelas ada pengaruh dari karya
sebelumnya. Apakah kary yang lahir kemudian lantas harus dinyatakan sebagi
tulisan yang kurang orisinal, ini tanggung jawab seoran komparatis. Apabila
komparatis sastra mampu menur jukkan bukti-bukti, mengapa hal semacam ini
jarang terungkap sampai pada tingkat kritik yang konstruktif.
Persentuhan sastra internasional, nasional, dan
lokal pun amat sering terjadi. Bayangkan, ketika cerpen Abracadabra karya Danarto muncul kritikus akan
mengangguk-angguk. Padahal, kalau membuka-buka
puisi AA Cummings, modelnya mirip. Berarti, orisinalitas Danarto pun dapat
diragukan jika dibanding tipografi AA Cammings. Cerpen bahasa Jawa berjudul
Win! Win! Win! Karya Harwi
Mardiyanto, ternyata juga hampir sama dengan tulisan Afrisal Malna yang termuat
di majalah Horison. Cerpen di Djaka Lodang berjudul Jumiyem karya MG Widhi Pratiwi ternyata juga sejajar dengan cerpen
terbitan tabloid Nova. Masih banyak lagi contoh persinggungan karya, jika
hendak diungkap dalam forum sanding.
Masalahnya, (telah) siap mentalkah kritikus dan
pengarang kita? Apabila kritikus juga masih berpegang budaya pakewuh (tak enak hati) jika harus
membicarakan compang-camping karya orang lain, mungkin tak sampai hati.
Sebaliknya, andaikata hal itu diungkap oleb kritikus, apakah tak akan
melahirkan intrik dan gugatan oleh pengarang? Karena, pengarang so pasti akan
beralibi adanya kebebasan berekapresi (licentia
poetica). Kecuali itu, pengarang mungkin akan berdalih lain yang lebih
masuk akal, ketika karyanya `ditelanjangi' lewat sanding.
Buktinya, ketika saya harus bicara di Graha Pena
Surabaya, membicarakan penyair Jawa yang terkena hembusan Chairil Anwar (dan
sebaliknya) - banyak yang brontak. Widada Bauki, penyair Jawa dan cerpenis
Shoim Anwar yang hadir waktu itu, menganggap biasa terjadinya `perselingkuhan
sastra yang saya muntahkan. Lalu, akan berhenti di sini sanding kita? Atau, sanding kita
hanya akan menjadi `bacaan wajib' mahasiswa yang kuliah sastra, sebagai wacana antik di kampusnya. Semestinya, sanding
itu sebuah jalur indah, banyak tantangan, sekaligus mengasyikkan untuk studi
sastra: Sayang sekali.
Satu lagi sanggahan berkaitan perkara di atas ialah
kurangnya kebulatan sastra bandingan dengan kajian sastra di luar sastra
nasional. Sastra bandingan sebagai satu kajian belum mampu mengembangkan sastra
secara total. Tambahan pula, konotasi istilah sastra bandingan justru sering
menimbulkan masalah yang serius yang tidak sanggup mereka hadapi. Dalam Bibliography of Comparative Literature
juga terdapat kekeliruan kriteria, ter-utama bagian-bagian buku yang meliputi "Umum",
"Tematologi" dan "Genre Sastra", dalam bab 1 serta
"Sastra Semasa" dalam buku 3. Hal ini tidak didasarkan kepada judul
dan isi, yang bersifat bandingan daerah geografi yang dimuatkan dalam
bibliografi ditentukan oleh perkara yang diperbincangkan atau yang digolongkan
dalam kesusasteraan. Banyak kajian mengenai perkawinan, cinta, wanita,
ayah-anak, anak-anak, dan sebagainya dalam judul "Motif Pribadi", dan
"Motif Kolektif" yang semuanya tergolong ke dalam sastra nasional.
Wajarkah diterima senarai begini ke dalam sastra bandingan pada dua bidang -
sastra dan motif? Perlu juga diingat bahwa motif adalah sebagian dari kajian
sastra yang bersifat intrinsik. Kita akui bahwa dalam sastra bandingan,
meletakkan biografi sebagai sesuatu yang agak luas dan terbuka. Sastra
bandingan jika berdiri sendiri hampirhampir tidak bermakna.
Sesuatu yang menemui kebuntuan dari segi
penggolongan tidak seharusnya dimasukkan ke dalam sastra bandingan. Soal
membandingkan sastra dengan sesuatu bidang di luar sastra mestilah diterima
sekiranya berbentuk sistematik dan membedakannya dengan disiplin lain. Secara
kajian, kita tidak seharusnya menerima segala kajian mengenai kehidupan dan
seni sebagaimana digambarkan dalam kebanyakan kesusasteraan sebagai sastra
bandingan. Sebuah kajian mengenai sumber sejarah drama Shakespeare hanya boleh
diterima sebagai sastra bandingan sekiranya kajian itu berkisar di sekitar
kesusasteraan dan sejarah, di samping faktor-faktor sejarah dan adaptasi
kesusasteraannya dibandingkan dengan nilai secara sistematik serta rumusannya
yang masih lagi dalam lingkungan sastra dan fakta sejarah. Begitu juga dengan
Pere Goriol Balzac yang menganalisis fungsi sekiranya berhubungan dengan sistem
kajian secara osmosis kesusasteraan. Kajian tentang etik atau idea agama
Hawttiome atau Melville boleh dianggap bandingan sekiranya yang dibincangkan
ialah pergerakan agama contohnya Kalvanisme atau lain-lain kepercayaan.
Susur-galur sesuatu perwatakan oieh Henry James juga dalam skop sastra bandingan
sekiranya dilihat dari segi teori psikologi Frued (atau Adler, lung, dan
lain-lain).
Dengan hal-hal begitu sering tersemat dalam
ingatan, kita menyarankan konsep sastra bandingan Amerika. Konsep ini pula
tidak seharusnya mengongkong kajian kita: kesatuan teori sastra bandingan itu
lebih perlu dipertahankan. Kalau rumus-rumus sastra bandingan sempit dan tidak
pula berkaitan dengan disiplin ilmu kemanusiaan yang lain, kajian ini tidak
boleh tegak sendiri. Perbedaan-perbedaan yang wujud paling minimum. Namun yang
penting pada sastra bandingan ialah pengkaji, guru, pelajar dan semua yang
terlibat mendapat kesan yang lebih berarti tentang kesatuan penghayatan sastra,
bukan secara terpisah. Paling berkesan ialah menghubungkan antara sastra
nasional dengan yang lain, tetapi juga melibatkan disiplin-disiplin ilmu yang
lain ke dalam sastra terutamanya bidang estetik dan ideologi, meluaskan kajian
sastra secara geografis dan genre.
D. Problematika Definisi,
Pengaruh, dan Konteks Sastra bandingan
Sadar atau tidak, membicarakan sastra bandingan
justru akan lahir ribuan bahkan jutaan problem. Mulai dari definisi, pengaruh,
konteks, kesejarahan, konsep, dan tingkat praktik, sastra bandingan penuh
kerumitan. Kalau saya cermati, definisi Van Tieghem ini, sekurang-kurangnya
juga menimbulkan satu tanda tanya: kenapakah sastra bandingan hanya mengkaji
dunia sastra dari dua negara? Kenapa mesti kerja membanding penulis-penulis
Richardson dan Rousseau seperti yang dilakukan oleh Erich Schmidt? Tidakkah
istilah 'sastra bandingan' itu memadai untuk merangkumi sintesis dari beberapa
negara lain (seperti Outli of Comparative Literature oleh Friederich
dan Malone) sebab sastra bandingan apabila
memasukkan seorang seperti Goethe, telah jadi sastra umum?
Mungkin, semasa meletakkan kriteria itu, Van Tieghem
tidak memikirkan soal logik tidaknya, tetapi pembagiannya saja. Soal-soal
kreativitas, sejarah dan kerja kritikan itu sendiri amat luas dan untuk
dilaksanakan. Van Tieghem kawatir kalau-kalau kerja bandingan itu terlalu
membebankan dan tidak mungkin menggabungkan kajian lebih daripada dua
kesusasteraan nasional tanpa batasan seperti kecenderungan, kebolehan,
pengalaman dan pengkhususan dalam sastra bandingan. Tieghem mengharapkan agar
kumpulan sarjana menggabungkan pengkajian sastra nasional, dan sastra bandingan.
Hipotesis Van Tieghem ini amat
jelas. Pengkaji-pengkaji sastra bandingan dan sastra umum akan merasa puas hati
dengan hasil kajian orang lain (sebagai tugas Herculean) yang tidak banyak
kaitannya dengan teks sastra yang tidak mendalam dan memperkecilkan sastra.
Buku-buku Van Tieghem menampakkan gejala ini. Lagi pula, Hazard, dalam dua
sintesisnya telah berjaya menyingkap kegemilangan satu jaman tanpa
memperkecilkan usaha orang lain.
Pembagian seketat yang dikemukakan oleh Van Tieghem
itu amat tidak bermanfaat. Pengkaji sastra nasional mestilah meluaskan lagi
perspektif kajian mereka dengan mengkaji sastra-sastra dan bidang lain yang
berkaitan dengan sastra. Pengkaji sastra bandingan pula memastikan sebelah kaki
mereka berpijak pada sekurang-kurangnya satu sastra nasional agar bandingan
yang dilakukan sering konsisten.
Semua istilah yang diperbincangkan belum memberikan
gambaran yang jelas. Ketumpangtindihan sering terjadi di sana sini. Definisi
dan perbedaan masih kurang jelas dan kurang berguna. Konsep Amerika yang sering
diterima agak lebih praktis. Penggunaan istilah sastra dunia tidak boleh
sewenang-wenang digunakan bergandengan dengan sastra bandingan dan sastra umum.
Adalah lebih baik kalau istilah sastra umum tidak digunakan. Paling sesuai istilah-istilah
seperti sastra bandingan, sastra dunia, sastra terjemahan, sastra Barat, teori
sastra, struktur sastra atau sastra saja berdasarkan kesesuaiannya.
Setelah berpuluh tahun berlalu sehingga bulan
Januari 1971, belum ada sesuatu
perubahan positif yang dapat dicapai mengenai sikap sastra bandingan.
Perbincangan dan pertemuan yang berlangsung memang menambah senarai
bibliografi. Sekiranya data-data ini saya usahakan akan timbul unsur-unsur
untuk mempertahankannya, mengkritik dan mungkin menyetujuinya. Percakapan apa
dan bagaimana yang tidak boleh dalam sastra bandingan sudah terlalu lumrah;
terlalu banyak berteori, dan kurang praktis. Hal itu kurang menyenangkan sebab
sering muncul persoalan baru seperti metodologi yang masih menjadi masalah. Perbincangan
yang begitu banyak diadakan persis semakin menggelapkan lagi keadaan. Selagi
kita menganggap sastra bandingan bukan sebagai satu profesionalisme, hal-hal
seperti teori, definisi, struktur dan fungsi tetap menghantui kita. Kita harus
ingat bahwa teori berubah mengikut langkah praktis dan begitu juga sebaliknya.
Sastra bandingan memang banyak melahirkan
intrik-intrik ke dalam jagad olah sastra. Tidak hanya masalah teori yang belum
mapan, definisi yang masih lemah, tetapi juga menyangkut aspek manfaat. Dalam
berbagai forum ilmiah sastra bandingan masih layak dipertanyakan urgensinya bagi pengembangan ilmu sastra. Orang yang
menekuni sastra bandingan masih sering merasa kecil, dibanding menguasai ilmu
sastra lain seperti semiotik dan sosiologi sastra. Padahal kalau mau menyadari
sebenarnya penguasaan sastra bandingan justru merupakan ilmu tingkat tinggi
dalam sastra.
Sastra bandingan justru akan membuka wawasan studi
multikultur. Sastra bandingan akan memberikan ruang baru bagi pengembangan
kritik sastra. Kritik yang bijak tentu saja tidak akan lepas dari aspek
penilaian karya sastra. Salah satu jalur penilaian karya sastra adalam sastra
bandingan. Konsep membandingan antara karya satu dengan yang lain, jelas
merupakan bentuk kritik tajam.
Studi sastra bandingan bermula dari studi konvensi,
tradisi, bentuk, dan isi sastra. Beberapa aspek studi ini langsung atau pun
tidak tak akan lepas dari konsep pengaruh. Karya sastra satu dengan yang lain
tak berdiri sendiri, melainkan terjadi persinggungan, terjadi persentuhan,
sehingga terlihat pengaruh sebagian atau pun keseluruhan. Konsep pengaruh
menjadi tumpuan sukses tidak seseorang terjun ke jagad sastra bandingan.
Kiranya hanya orang yang memiliki bekal keilmuan lengkap yang mudah menangkap
konsep pengaruh ini.
Pengaruh dalam karya sastra dapat terjadi dalam
bidang ekstrinsik dan instrinsik. Pengaruh ekstrinsik merupakan muatan
bidang-bidang lain yang masuk dalam karya sastra. Kedua unsur pengetahuan
tersebut, dapat dibandingkan secara terpisah atau pun secara bersama-sama.
Bandingan secara terpisah, akan mengaburkan makna totalitas karya sastra.
Sedangkan bandingan secara bersama:-sama akan banyak memakan waktu, sehingga
kalau tidak teliti juga akan berat sebelah.
Kansep pengaruh juga akan menjadi kendala studi
sastra bandingan, manakala kita ingin melihat pengaruh secara historis.
Apalagi, kalau karya tersebut telah berusia panjang, kita akan sulit
merunutnya. Bahkan, kita juga akan kesulitan untuk membandingkan konsep
pengaruh dengan sastra lain, apabila tidak cukup bahan yang kita miliki dan
bahasa kita terbatas. Konsep pengaruh didasarkan pada konteks
"pararelisme" dalam teks sastra. Jika suatu karya memiliki hubungan
pararel baik unsur instrinsik maupun dimungkinkan dapat diperbandingkan.
Sastra sebagai konteks menghendaki studi sastra
bandingan agar memperhatikan konteks sastra. Sastra sebagai konteks adalah
studi sastra bandingan dengan memperhatikan aspek-aspek lain yang mengikuti
karya sastra. Hal ini didasarkan asumsi bahwa karya sastra akan menghadirkan
dunia yang kompleks. Karya sastra telah dilahirkan melalui tradisi sastra yang kuat, yang kemungkinan besar dapat menggambarkan konteks kehidupan yang
mengitarinya. Se-imajiner apa pun, se-fantastis apa pun, karya sastra tetap
membawa konteks lain. Karya sastra akan memantulkan pengalaman dan pengetahuan
lingkungan yang unik.
Implikasi sastra sebagai konteks sangat luas,
misalkan, kita dapat membandingan unsur dalam puisi dengan puisi lain yang
sejenis. Dalam kaitan ini, seorang penyair tidak dapat lepas dari karya lain.
Karena itu, dalam membuat baris, tipografi, muatan moral, dan lain-lain akan
mengindikasikan kepemilikannya. Sastra sebagai konteks dalam sastra bandingan
dapat diterapkan dengan membandingan konteks bentuk dan isi. Bentuk karya sastra
tidak akan lepas dari bentuk yang lain, begitu pula isinya. Dari aspek bentuk,
akan terungkap mana karya tradisional dan mana yang merupakan pembaharuan, mana
karya jiplakan dan karya orisinal. Mana karya yang sekedar mosaik masa lampau
dan inovasi, akan terlihat jelas. Sedangkan dari konteks isi, akan tenrngkap
mana karya yang sekedar "rekaman" masa lalu dan karya kreatif:
konteks isi, biasanya menyubiim halus pada tema-tema.
Pengaruh yang paling rumit dilacak adalah masalah
konteks. Konteks sastra itu sebuah tafsir, hingga bisa memunculkan keragaman
makna. Konteks biasanya tan kasat mata, sehingga membutuhkan kecermatan
pengkaji sastra bandingan. Berbeda dengan pararel dan varian tekstual, varian
dan pararelisme konteks membutuhkan ketajaman pencermatan. Kalau teks langsung
dapat dilihat dan riasakan, konteks masih emmerlukan pendalaman.
Itulah sebab kritik yang paling tajam dalam forum
sastra bandingan adalah konteks. Manakala konteks gagal mengemukakan konsep
pengaruh, atau hanya setengah-tengah, akan melahirkan kecaman bertubi-tubi.
Oleh sebab itu, konteks perlu didukung data yang akurat. Konteks seharusnya
tidak lepas dari isi dan pengaruh serta tradisi sastra. Konteks itu pula yang
menandai secara halus, apakah ada persentuhan antar karya sastra atau tidak.
Persentuhan ide kadang-kadang amat tipis ke dalam konteks.
0 komentar:
Posting Komentar