Pages

Selasa, 14 Mei 2019

SASTRA BANDINGAN 9. SASTRA BANDINGAN, LOKAL, NASIONAL, DAN INTERNASIONAL


SASTRA BANDINGAN, LOKAL, NASIONAL, DAN INTERNASIONAL


A. Sastra Bandingan dalam Cerita Rakyat

Sastra bandingan yang mengambil materi cerita rakyat, dongeng, dan legenda, termasuk banyak dilakukkan oleh para pengkaji. Kisah-kisah lokal yang bernuansa folklor, memang banyak terjadi persentuhan. Cerita rakyat tentang Dewi Sri, misalnya, jelas terjadi di mana-mana. Hampir setiap etnis di Indonesia memiliki cerita rakyat tersebut, guna mengekspresikan idenya dalam hal pertanian atau kesuburan. Migrasi cerita pun sering terjadi dalam konteks ini, hingga pengkaji sering melimpah bahan-bahannya.

Bandingan yang dilakukan ini, tidak banyak memanfaatkan teori. Teori telah mengalir begitu saja secara kreatif. Sesungguhnya, hal ini dapat dilakukan dengan perspektif ilmu tertentu, misalnya menggunakan teori difusi, Levi-Strauss, Andrew Lang, Dundes, Corstius, dan sebagainya. Untuk mencermati cerita rakyat ini, memang memanfaatkan pemahaman sastra lisan. Dari pencermatan, diketahui bahwa crita rakyat yang mengisahkan Cinderela, misalnya merupakan cerita yang sudah ada (dapat dikatakan sebagai cerita rakyat) di Inggris, sedangkan Andhe-Andhe Lumut merupakan cerita rakyat di Indonesia. Variasi cerita rakyat ini sudah semakin menjadi-jadi, seperti muncula kisah Cindhelaras, Panji Asmara Bangun, Rara Tunon, dan belakangan muncul dalam ketoprak berjudul Kembang Pudhak Kencana. Seluruh variasi sebenarnya ada kemiripan kisah tentang perjalanan hidup Panji. Panji dalam konteks ini dianggap tokoh hero. Tokoh ini memiliki liku-liku hidup romantik dan sekaligus mendidik.


Kisah Cinderela dan Andhe-andhe Lumut, pernah dibahas oleh James Danandjaya (1994) dalam bukunya Folklor Indonesia. Biarpun dalam bahasan dia tidak secara gamblang menggunakan sastra bandingan, paling tidak dapat diketahui bagaimana difusi cerita itu terjadi. Berdasarkan setting tempat dan waktu dalam cerita serta wujud kedua cerita yang merupakan cerita rakyat (biasanya dalam pembuatan cerita rakyat menggunakan setting tempat dan waktu sesuai keadaan zaman pembuatan cerita tersebut) maka dapat diketahui bahwa kedua cerita tidaklah satu zaman. Untuk membanding lebih jauh, dapat dilihat dari berbagai aspek, misalnya dari segi struktur.

Struktur cerita merupakan endapan pengalaman dari kedua cerita itu. Struktur juga perlu dipadu dengan aspek historis, agar dapat dikemukakan lebih jauh perjalanan cerita. Dilihat dari perkembangan sejarah Inggris yang lebih dulu maju dibandingkan Indonesia maka cerita Cinderala tentunya dibuat lebih dahulu dari cerita Andhe Andhe Lumut (sama-sama menggunakan setting masa kerajaan tetapi masa kerajaan di Inggris terjadinya lebih dulu dibandingkan masa kerajaan di Indonesia), sehingga dalam melakukan studi sastra bandingan dilakukan secara diakronis untuk menelusuri genetika teks sastra. Persamaan-persamaan dalam cerita semata-mata bukan karena dibuat pada zaman yang sama maupun mempunyai satu induk cerita tetapi karena masing-masing mempunyai kemampuan untuk menciptakannya dan kebetulan ceritanya hampir sama.

Hal tersebut sesuai dengan Teori Survival kebudayaan Andrew Lang dapat dimasukkan ke dala.m golongan teori poligenesis, karena mempunyai paham yang menganggap bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunya.i kemampuan untuk berevolusi. Oleh karena itu, masing-masing folk mempunyai kemampuan melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama. Jadi, jika sampai ada motif cerita rakyat yang sama dalam beberapa negara, maka hal itu karena masing-masing negara mempunyai kemampuan untuk menciptakannya, baik sendiri maupun sejajar (independent or paralel invention). Dalam mengkaji bandingan kedua teks cerita ini dapat berdasarkan empat asas pokok pembanding, yaitu genetik teks, generik teks, tematik teks, dan kesejajaran teks.

Dari segi genetik kedua cerita ini merupakan cerita rakyat yang menggunakan setting istana sentris yang mengambil latar lingkungan istana. Dalam segi bahasanya, kedua cerita tersebut sangatlah berbeda. Cinderela menggunakan bahasa Inggris sedangakan Andhe-Andhe Lumut menggunakan bahasa Jawa. Secara generik kedua cerita tersebut sama-sama bergenre


prosa (cerita rakyat). Aspek struktur juga akan lebih indah apabila dipadu dengan genetik sastra, hingga memunculkan strukturalisme genetik. Baik aspek generik maupun genetik, semestinya dijalankan secara beriringan, agar dapat menemukan variasi yang jelas. Secara tematik juga dapat dikatakan hampir sama, yaitu menceritakan kehidupan gadis cantik yang hidup sengsara dan miskin tetapi kehidupannya berubah ketika bertemu jodohnya yang dari keluarga kaya (keluarga kerajaan). Dalam segi kesejajaran teks, kedua cerita tersebut memiliki banyak kesejajaran diantaranya dalam segi judul, tema, alur, karakterisasi/penokohan, setting, dan point of view serta amanat.
Kedua cerita tersebut mempunyai kesejajaran dari segi judul, yaitu sama-sama mengambil judul dari tokoh utama dalam cerita yang bernama Cinderela dan Andhe-Andhe Lumut. Dalam segi tema sangatlah jelas kesejajaran kedua cerita tersebut yaitu menceritakan kehidupan gadis cantik yang hidup sengsara dan miskin tetapi kehidupannya berubah ketika bertemu jodohnya yang dari keluarga kaya (keluarga kerajaan).

Alur ceritanya menceritakan kehidupan gadis cantik yang dibenci oleh saudara tirinya. Kemudian karena suatu keadaan (dalam cerita Cinderela karena ada pesta di istana yang digunakan pangeran untuk mencari jodoh sedangkan dalam Andhe Andhe Lumut karena adanya sayembara untuk mencari jodoh) maka sang gadis tersebut bertemu jodohnya dan kehidupannya yang semula sengsara menjadi bahagia. Demikianlah akhir kedua cerita tersebut, sama-sama berakhir dengan kebahagiaan tokoh utama yang semula sengsara.

Penokohan dalam kedua cerita juga mempunyai dasar yang sama. Ada tokoh pria yang merupakan orang kaya dan tampan (imej seorang lelaki idaman wanita) yang sedang mencari jodoh, didukung oleh orang disekelilingnya dalam mencari jodoh (dalam cerita Cinderela, pangeran dibantu oleh pengawal kerajaan sedang dalam Andhe Andhe Lumut Andhe-Andhe lumut yang sebenarnya juga seorang anak raja dibantu oleh Mbok Randa Dadapan). Tokoh seorang gadis yang sangat baik hati, sabar, dan penyayang (Cinderela dan Klenting Kuning) tetapi selalu dibenci dan dimusihi saudara tirinya. Kemudian ada tokoh antagonis yang merupakan saudara tiri jahat yang selalu memusuhi tokoh sang gadis baik hati dan cantik.
Setting kedua cerita rakyat tersebut menggunakan setting istana sentris atau masa-masa kerajaan. Setting tempatnya sangatlah sedikit, hanya berupa tempat inggal pangeran, tempat tinggal sang gadis yang disukai pangeran, dan setting perjalanan dari rumah sang gadis menuju ke tempat pangeran. Pengarang kedua cerita menggunakan point of view orang ketiga. Disini pengarang bertindak sebagai yang maha tahu. Amanat yang bisa diambil dari kedua cerita sama, yaitu kita harus senantiasa sabar dalam menghadapi cobaan. Kita harus menjadi orang yang baik hati, sabar, penyanyang, jujur, dan suka menolong. Kita janganlah suka iri dan benci serta jahat kepada orang lain, terlebih lagi kepada saudara sendiri.

Teori Survival kebudayaan Andrew Lang dapat dimasukkan ke dalam golongan teori poligenesis, karena mempunyai paham yang menganggap bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan untuk berevolusi. Oleh karena itu, masing-masing folk mempunyai kemampuan untuk melahirkan unsurunsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama. Jadi, jika sampai ada motif cerita rakyat yang sama dalam beberapa negara, maka hal itu karena masing-masing negara mempunyai kemampuan untuk menciptakannya, baik sendiri maupun sejajar (independent or paralel invention).

Telaah bandingan karya sastra dalam konteks pemahaman kebudayaan lintas bangsa amat penting dewasa ini. Lewat telaah semacam itu, dapat dipahami berbagai aspek kebudayaan setiap bangsa baik yang tersurat maupun tersirat di dalamnya. Telaah sederhana ini cukup membuktikan hal itu. Pada ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua cerita rakyat tersebut memiliki banyak kesamaan. Hal itu terlihat dari unsur-unsur kisahnya, kisah cerita rakyat cinderela dengan Andhe-andhe Lumut menampakkan persamaan yang amat signifikan.

Persamaan ini tentunya dapat dipahami dari segi kesejajaran teks, kedua cerita tersebut memiliki banyak kesejajaran diantaranya: (1) dari segi judul yaitu sama-sama mengambil judul dari tokoh, (2) segi tema sama-sama menceritakan gadis cantik yang sengsara dan miskin, (3) segi alur ceritanya menceritakan kehidupan gadis cantik yang dibenci oleh saudara tirinya, kemudian ia mengikuti sayembara pencarian jodoh pangeran kaya dan akhirnya ia terpilih menjadi jodohnya dan hidup bahagia, (4) segi penokohan dalam kedua cerita ini memiliki tokoh yang sama yaitu samasama ada tokoh pangeran tampan yang kaya, adanya gadis cantik yang sama-sama dibenci saudara tirinya, (5) segi setting pada kedua cerita sama-sama menggunakan masa kerajaan, (6) segi point of view disini pengarang bertindak yang maha tau, dan (7) segi amanat dari kedua cerita tersebut adalah jangan suka iri atau jahat pada saudara sendiri walaupun saudara tiri dan jadilah orang yang sabar dan tabah.

Pembahasan demikian, pernah dilakukan pula oleh Hutomo (1991) dan Sudikan (1994), yang mengaitkan antar cerita rakyat dengan kentrung dan wayang krucil. Cerita rakyat, kentrung, dan wayang krucil ternyata juga merupakan gambaran sejarah lokal. Bahkan kalau ditarik ke tataran yang lebih luas, cerita rakyat juga merupakan gambaran sebuah negara. Dalam bandingan-bandingan mereka, menunjukkan aspek penting, yaitu tradisi dan pengaruh yang membuat cerita rakyat semakin melakat dan digemari oleh masyarakat.

B. Bandingan Cerita Rakyat Jawa dan Sunda

Dari segi perjalanan cerita atau plot, antara serita rakyat Jawa dan Sunda sering ada kesejajaran. Cerita rakyat yang populer di Sunda berjudul Sangkuriang dan Jawa berjudul Prabu Watu Gunung, merupakan kisah yang memiliki pararelisme. Keduanya memiliki keragaman tokoh, tetapi plot dan temanya mirip. Kedua kisah yang unik, melukiskan terjadinya incest itu, ternyata juga mempengaruhi novel Any Asmara. Novelis ini membuat karya berjudul Puspitasari, yang bersetting Bali, tetapi isi dan nuansa ceritanya mirip dengan kedua cerita rakyat tersebut.

Sangkuriang adalah anak dari Dayang Sumbi yang merupakan putri seorang raja yang dilahirkan dari rahim seekor babi bernama Celeng Wayungyang yang secara tidak sengaja meminum air seni Baginda Sungging Perbangkara. Lantas karena sesuatu yang boleh dikatakan sebagai pengalaman tidak wajar, Dayang Sumbi pun mengandung searang anak dari seekor anjing hutan bernama Tumang. Bayi tersebut tersebut lantas lahir dan tumbuh menjadi seorang anak lelaki yang sehat, pandai berburu dan diberi nama Sangkuriang. Ketampanan Sangkuriang,banyak menyedot perhatian wanita di Sunda. Kisah ini juga telah digelar dalam bentuk sinetron dan drama di stasiun televisi. Yang belakangan menyiarkan cerita rakyat ini TV One, dengan segala asesori kisahnya.

Alkisah, karena sesuatu hal ibunya marah kepada Sangkuriang, karena dia tidak sengaja telah membunuh seekor anjing hutan bernama Tumang, yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Dayang Sumbi pun murka, ia memukul Sangkuriang dengan menggunakan enthong (sendok nasi), pas dikepalanya hingga pingsan. Setelah sadar dari pingsannya itu, Sangkuriang pun pergi meninggalkan rumah dan ibunya. Hingga akhirnya Sangkuriang tumbuh lnenjadi seorang perjaka yang tampan dan memitiki kesaktian yang luar biasa. Pada suatu hari ketika Sangkuriang pernah mengembara, ia bertemu dengan seorang wanita cantik dan Sangkuriang pun jatuh cinta kepada wanita tersebut yang tidak lain adalah ibunya sendiri yaitu Dayang Sumbi.Cerita Sangkuriang ini merupakan cerita Iegenda yang mengisahkan asal-usul terjadinya Tangkuban Perahu yang saat ini dikenal sebagai salah satu objek wisata yang terkenal di Jawa Barat.

Konsep “dipukul” dan “pengembaraan” tokoh, tampaknya yang menjadi bagian utama cerita rakyat ini. Pemukulan itu kelak akan menjadi pertanda simbolik, yang dapat membuka memori ibu Sangkuriang. Kalau hal ini dibandingkan dengan kisah Prabu Watu Gunung, memang ada variasinya. Dalam pengembaraan, dikisahkan Prabu Watu Gunung adalah putra Prabu Palin-driya, raja negara Purwa carita. Sebagaimana orang Jawa sering membuat kisah, nama kerajaan ini memang selalu muncul dalam sastra lisan yang lain. Kisah Watu Gunung dengan ibunya bernama Dewi Sinta, telah melahirkan sebuah peta petung Jawa yang disebut pawukon.
Ketika masih kecil Prabu Watu Gunung bernama Jaka Wudug, ia kelewat nakal. Hingga suatu hari ia merasa lapar dan meminta makan, tetapi ibunya tidak segera memberinya makan, karena nasi yang dimasaknya belum masak. Jaka Wudug pun semakin merengek hingga Dewi Sinta jengkel; saking jengkelnya, Jaka Wudug dipukul kepalanya dengan menggunakan enthong (sendok nasi). Seketika itu juga Jaka Wudug uring- uringan lalu pergi meninggalkan istana Purwacarita tanpa pamit. Dalam konteks ini jelas ada konsep “pengembaraan” dan “pemukulan” yang mirip dengan kisah Sangkuriang.

Jaka Wudug pun hidupnya sangat terlunta-lunta dihutan. Hingga akhirnya timbul niat untuk bertapa. Lamanya bertapa hampir 10 tahun, sehingga ia menjadi perjaka yang tampan yang mempunyai kekuatan yang sangat sakti. Ia juga menjadi raja dikerajaan Gilingwesi dengan gelar Prabu watu Gunung. Sifat Serakah dan nakalnya juga terbawa meski telah menjadi seorang raja. Dengan sifat keserakahannya itu pula Prabu Watu Gunung berusaha melebarkan kekuasaannya dengan menaklukan raja-raja serta memperistri janda-janda raja yang dibunuhnya. Prabu Watu Gunung juga mencintai seorang wanita yang cantik dan menikahinya, wanita itu yang tidak lain adalah ibunya sendiri yaitu Dewi Sinta. Cerita Prabu watu Gunung dengan ibunya Dewi Sinta ini merupakan legenda asal-usul munculnya wuku yang merupakan perhitungan hari bulan, dan wuku Watu Gunung dipercaya memberi watak keras hati bagi manusia yang dilahirkan pada wuku tersebut.

Kalau demikian, kedua cerita tersebut mempunyai kesejajaran dari segi judul, yaitu sama-sama mengambil judul dari tokoh utama dalam cerita yang bernama Sangkuriang dan Prabu Watu Gunung. Memang belum atau sulit dipastikan, keterkaitan makna sangkuriang dan watu gunung. Namun dari kehadiran tokoh dalam suatu cerita masing-masing mempunyai keterkaitan kisah. Ada tokoh yang hadir dari awal hingga akhir cerita, adapula yang hadir sebagai pelengkap saja. Porsi pembagian tersebut menyebabkan adanya pembagian atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Pengarang kedua kisah itu, saya pikir memanfaatkan dua aspek yaitu: (1) jalan cerita,
(2)    motif, yang dapat membangun kisah estetis. Adapun nama tokoh, sebenarnya dapat diganti siapa saja.

Sangkuriang adalah anak dari Dayang Sumbi, dari hasil pernikahannya dengan seekor anjing hutan bernama Tumang, yang tidak lain adalah titisan seorang dewa. Sangkuriang ini seorang anak yang pandai, ia sangat pandai berburu dan menangkap ikan. Hingga pada suatu hari Sangkuriang diusir oleh ibunya sendiri karena tidak sengaja membunuh anjing bernama Tumang yang tidak lain adalah ayahnya. Hingga akhirnya Sangkuriang pun pergi bertapa, dan berhasil menjadi seorang yang sakti, dan bisa memanggil serta memerintah jin dan demit. Jika diperhatikan secara seksama, ternyata kedua kisah itu memiliki rantai peristiwa dan hadirnya sistem perkawinan incest. Hanya karena ada kekuatan di atas manusia, kedua cerita itu lebih hidup.

Dayang Sumbi adalah putri seorang raja, yang dilahirkan dari rahim seekor babi bernama Celeng Wayungyang yang secara tidak sengaja meminum air seni Baginga Sungging Perbangkara. Dayang Sumbi sendiri adalah ibu dari Sangkuriang. Hingga pada suatu hari ia pernah memukul kepala Sangkuriang dengan menggunakan enthong (sendok nasi) yang dipegangnya hingga berdarah, karena Dayang Sumbi sangat terkejut dan marah akibat ulah Sangkuriang yang tidak sengaja telah membunuh seekor anjing yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Konteks ini seakan mengingatkan pada keyakinan Jawa kuna tentang karmapala. Karma seseorang akan menyebabkan perbuatan baik atau buruk, tergantung bagaimana mengelolanya.

Tumang adalah seekor anjing hutan yang tidak lain adalah titisan dari seorang dewa yang dinikahi oleh Dayang Sumbi, karena suatu hal yang boleh dikatakan sebagai pengalaman yang tidak wajar. Kemanapun Dayang Sumbi pergi, ia selalu menemaninya. Hingga pada suatu hari si Tumang in dibunuh oleh anaknya sendiri yaitu Sangkuriang. Tokah-tokoh dalam cerita "Prabu Watu Gunung", yaitu Prabu Watu Gunung (Jaka Wudug), Putra Prabu Palindriya negara Purwacarita, dengan ibunya Dewi Sinta. Prabu Watu Gunung ketika masih kecil bernama Jaka Wudug, ia kelewat nakal. Hingga suatu hari ia pernah merengek sehingga membuat ibunya jengkel. Ketika pergi dari negara Purwacarita hidupnya terlunta-lunta dihutan, hingga akhirnya timbulah niat untuk bertapa. Lamanya bertapa hampir 10 tahun, sehingga ia mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sifat serakah dan nakalnya terbawa meski telah menjadi raja. Karena sifatnya keserakahanya pula, Prabu Watu Gunung berusaha meiebarkan kekuasaannya dengan menaklukan raja-raja dan memperistri jandajanda raja yang dibunuhnya. Akhirnya ia juga memperistri ibunya sendiri yaitu Dewi Santa.

Konsep tindakan nakal dan bertapa adalah tindakan yang dikemas bersamaan dengan asketis. Menurut keyakinan pengarang, patut diduga bahwa tindakan yang tidak baik,baru akan mendapat kejernihan ketika dilakukan introspeksi secara asketis. Raja negara Purwa Carita, ia adalah ayah dari Prabu Watu Gunung. Dikisahkan bahwa Prabu Palindriya memiliki. banyak istri. Permaisuri yang dikenal dalam pewayangan yaitu Dewi Soma yang berputera Raden Anggara dan Raden Budha, terakhir Raden Sukra. Permaisuri Dewi Sinta hanya. menurunkan seorang putera bernama Raden Radite atau Jaka Wudug. Permaisuri Dewi Landhep (adik Dewi Sinta) berputera, Raden Wukir. Raden Palindriya sendiri meng-usir Dewi Sinta dari istana karena gara-gara dia Prabu Watu Gunung yang akan dinobatkan sebagai raja itu pergi dan sulit ditemukan.
Istri dari Prabu Palindriya, ia adalah ibu dari Prabu watu Gunung. Akibat dari kemarahan dan kejengketannya ia pemab memukul kepala anaknya sendiri yaitu Prabu Watu Gunung dengan enthong nasi, sehingga Prabu Watu Gunung uring-uringan dan pergi meninggalkan istana. Tema pengembaran ini menjadi unsur terpenting disamping unsur-unsur vang lain, karena tema merupakan ide pengarang yang kemudian dikembangkan untuk menentukan terna, yang dapat dilihat dari hal yamg paling menoviol, yakni persoalan yang banyak menimbulkan konflik, yang melahirkan peristiwa-peristiwa, dan juga banyak waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa atau tokoh-tokoh cerita.
Tema dalam cerita "Sangkuriang" dan "Prabu Watu Gunung” ini, terkait dengan masalah percintaan seorang anak lelaki dengan ibunya sendiri, atau yang disebut dengan hubungan sedarah atau dalam bahasa Inggrisnya dinamakan hubungan incest. Hubungan incest yaitu hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki kekerabatan yang dekat. Di jaman dahulu,hal ini memang banyak terjadi, namun di era masa kini sebenarnya dilarang baik oleh adat maupun agama. Hubungan seperti ini juga dialami oleh Sangkuriang dengan ibunya sendiri (Dayang Sumbi), dan antara Prabu watu Gunung dan ibunya sendiri (Dewi Sinta). Dalam cerita Sangkuriang dan Prabu Watu Gunung juga terdapat konflik, yaitu ketika Sangkuriang dan Prabu Watu Gunung dipukul menggunakan kepalanya dengan menggunakan enthong oleh ibunya sendiri, karena kesalahan mereka yang telah membuat ibunya marah, sehingga mereka diusir dari rumahnya.
Latar atau setting adalah segala sesuatu keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam karya sastra. Latar atau setting berfungsi menciptakan lukisan alam, seluruh keadaan yang dirasakan atau suasana yang khusus. Setting itu sendiri mencakup keseluruhan unsur yang kesemuanya membantu menghidupkan cerita. Persarnaan latar antara cerita Sangkuriang dengan Prabu Watu Gunung yaitu keduanya sama-sama berada dihutan ketika Sangkuriang diusir oleh Dayang Sumbi atau ketika Prabu Watu Gunung meninggalkan istana akibat kemarahan ibunya (Dewi Sinta. Pengarang kedua cerita menggunakan. point of view orang ketiga. Disini pengarang bertindak sebagai yang maha tahu. Masalah ini sebenarnya tidak terlalu urgen dalam sastra bandingan. Oleh karena, hanya para strukturalis yang sering memasalahkan hal ini.

Kemiripan kisah pada cerita-cerita lisan memang sudah menjadi hal yang lumrah. Legenda sendiri biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah sehingga dikenal Juas di beberapa wilayah yang berbeda-beda. Cerita legenda tersebar dalarn bentuk pengelompokan yang biasanya berkisar antara satu tokoh atau suatu kejadian tertentu. Kedua cerita juga memiliki kisah yang hampir sama. Cerita Sangkuriang dan Watugunung ini, menceritakan tentang tokoh dan asal-usul dari sesuatu. Sangkuriang dan Watugunung, keduanya sama-sama sempat mengalami hal yang serupa sebelum mereka terpisah, yaitu setelah mendapatkan pukulan karena kemarahan dari ibunya masing-masing. Mereka berkelana dalam waktu yang cukup lama dan atas kehendak dewata pula mereka kembali dipertemukan dengan ibunya namun dengan ingatan dan rasa yang berbeda. Sang Kuriang dan Watugunung sama-sama tidak mengingat bahwa wanita yang mereka temui saat mereka telah dewasa adalah ibunya, perasaan yang timbul pun adalah perasaan cinta laki-laki dewasa kepada lawan jenisnya, bukan lagi perasaan yang anak kepada ibu ataupun sebaliknya. Hal ini menandai bahwa sejarah dan waktu, kadang-kadang memisahkan logika dan ingatan manusia.

Cerita Sangkuriang merupakan cerita legenda yang mengisahkan asal-usul terjadinya Tangkuban Perahu, yang saat ini dikenal sebagai salah satu objek wisata terkenal di Jawa Barat. Begitu pula dengan Watugunung, ceita legenda ini juga merupakan asal-usul munculnya Wuku, yang merupakan perhitungan hari bulan. Konsep nama Watugunung, barangkali juga seiring dengan terjadinya gunung pada kisah Sangkuriang. Gunung adalah wilayah yang penuh dengan batu. Watugunung dipercaya memberi pengaruh watak keras hati bagi tnanusia yang dilahirkan pada wuku tersebut.

Asal-usul Wuku ini berawal dari proses pengangkatan dua isteri serta 27 anak Prabu Watu-Gunung ke surga dilakukan satu persatu pada setiap minggu. Inilah permulaan adanya 30 wuku yang dijadikan dasar perhitungan Pawukon atau zodiak Jawa. Rupanya kisah cinta yang tidak hanya terpaut oleh masalah usia tapi juga terpaut oleh pertalian darah memang sudah ada sejak dulu. Beginilah sifat dari cerita yang bermula dari apa yang mungkin direkayasa atau juga bisa dicipta dari apa yang memang sudah pernah terjadi. iI luar segala kemungkinan benar tidaknya atau dapat diyakini tidaknya asal-usul dari suatu benda, nama, tempat, dan sebagainya, legenda adalah salah sata wujud dart kebudayaan lisan masyarakat negeri.

C. Bandingan Kisah Timun Emas

Kisah ini dalam masyarakat Jawa sering disejajarkan dengan kisah Buta Ijo. Kisah keduanya telah populer, tidak hanya sebagai sastra lisan, melainkan juga telah mengisi lembaran majalah. Ada kisah Timun Emas yang telah di ditulis di majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat (PS) dan dapat dibandingkan dengan kisah Timun Mas dan Raksasa dalam Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Cerita Timun Mas dalam PS diterbitkan tahun 2007 dengan menggunakan bahasa Jawa, sedangkan cerita Timun Mas dan Raksasa dalam Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara diterbitkan tahun 2007 dengan menggunakan bahasa Indonesia. Keduanya telah meluas dan banyak dipakai sebagai bahan ajar di sekolah, terutama Sekolah Dasar.
Timun Mas yang menggunakan bahasa Jawa saya sebut sastra lokal atau etnit. Penggunaan bahasa ini penting dalam mengkategorikan sastra lokal. Adapun kisah Timun Mas yang berbahasa Indonesia, karena telah diakses se nusantara, saya sebut sastra nasional. Jadi istilah lokal dan ansional ini semata-mata hanya mendasarkan kriteria bahasa. Dari kedua judul cerita tersebut, terdapat unsur-unsur yang sama dan juga berbeda. Judul cerita tersebut mempunyai kemiripan yaitu Timun Mas dengan Timun Emas. Perbedaannya dalam penulisan antara Mas dan Emas. Tokoh yang ada dalam kedua cerita tersebut mempunyai kesamaan, yaitu nama tokoh Mbok Randha, Timun Mas dan Raseksa atau raksasa. Hanya saja dalam cerita dari Kumpuian Cerita Rakyat Nusantara terdapat tokoh Sang Petapa meskipun hanya disebutkan secara tersirat.


Latar tempat kedua cerita tersebut terjadi di hutan atau di dekat hutan. Dalam cerita Timun Mas disebutkan bahwa tempat tinggal Mbok Randha di dekat hutan. "Timun Mas wiwit cilike, nalika isih bayi abang dititipake karo Mbok Randha kang mapan ana ing sacedhake alas." Latar tempat yang digunakan dalam cerita Timun Emas dan Raksasa juga di hutan. Hal itu ditunjukkan dari penggalan cerita di bawah ini: "pada suatu hari, sehabis mengumpulkan kayu di hutan, Mbok Randha duduk beristirahat sambil mengeluh." Selain di hutan, latar tempat cerita Timun Emas dan Raksasa juga terjadi di Bukit Gandhul. Ditunjukkan dari penggalan cerita di bawah ini: "Esok harinya, Mbok Randha pergi ke Bukit Gandhul. Di sana ia bertemu dengan seorang pertapa."

Dilihat dari isi dan jalannya cerita, kedua cerita tersebut banyak kesamaan. Namun, ada juga perbedaannya. Persamaannya, menceritakan perjalanan hidup Timun Mas. Timun Mas dirawat dan dibesarkan aleh seorang janda yang bernama Mbok Randha. Namun, saat Timun Mas tum'u'ah met.jadi seorang gadis, ia haras mempertanihkan nyawanya untuk menyelamatkan diri dari kejaran sang raksasa yang akan memangsanya. Berkat keberanian dan bekal yang diberikan oleh Mbok Randha, Timun Mas berhasil lolos dari kejaran sang raksasa bahkan melenyapkannya. Adapun bekal itu juga mempunyai kesamaan, yaitu berupa terasi dan garam.

Perbedaan dari isi dan jalannya cerita antara lain mengenai asal mula Timun Mas. Dari PS Tinrun Mas adalah putri ratu yang dititipkan kepada seorang janda bernama Mbok Randha, sedangkan dari cerita Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara, Timun Mas lahir dari sebuah mentimun besar seperti emas pemberian seorang raksasa. Pada saat melawan raksasa, Timun Mas mempergunakan bekal yang diberikan oleh Mbok Randha dengan cara dilempar di depan raksasa. Tetapi urutan benda yang dilempar berbeda, terutama saat melempar benda yang berupa garam dan terasi. Dari cerita Timun Mas benda yang terlebih dulu dilempar adalah terasi kemudian garam, sedangkan dalam cerita Timun Emas dan Raksasa garam dulu kemudian terasi. Pada akhir kedua cerita, raksasa mati tenggelam. Namun dari cerita PS raksasa mati tenggelam di lautan garam, sedangkan berdasarkan kumpulan Cerita Raky at Nusantara raksasa tersebut mati karena tenggelam di lautan lumpur yang panas.

Adapun bekal yang dibawa oleh Timun Mas saat melawan raksasa adalah pemberian Mbok Randha, tetapi asal bekal-bekal itu berbeda. Pada cerita Timun Mas di PS jika itu pemberian langsung dari Mbok Randha yang mempunyai kesaktian sehingga benda-benda yang sepertinya tidak berharga tersebut mempunyai khasiat yang besar. Berdasarkan cerita dari Kumpulan. Cerita Rakyat Nusantara, bekal itu berasal dari seorang pertapa di Bukit Gandhul yang diminta oleh mbok Randha kemudian diberikan kepada Timun Mas.

Perbedaan lain dilihat dari isi cerita yaitu bahwa dari versi PS Timun Mas akan dimangsa oleh raksasa karena kehendak raksasa sendiri, pada saat Timun Mas kurang lebih berusia 15 tahuri (kemencur). Sedangka.u berdasarkan cerita dari Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara, Timun Mas akan dimangsa oleh raksasa karena adanya perjanjian yang telah disepakati antara Raksasa dengan Mbok Randha. Perjanjian tersebut menyepakati bahwa Timun Mas akan diberikan saat usianya 16 tahun. Tetapi, setelah ada kesepakatan lagi antara Mbok Randha dengan raksasa, Timun Mas akan diserahkan kepada raksasa saat usia 18 tahun.

Pesan yang disampaikan dari kedua cerita tersebut sama meskipun dari dua versi. Cerita tersebut memberikan pelajaran bahwa-sebuah usaha atau perjuangan yang dilakukan dengan diiringi doa pasti akan ada hasilnya. Segala kesulitan manusia pasti ada akhirnya. Diluar usaha dan perjuangan itu pasti ada kekuatan yang, membantunya yaitu kekuatan doa. Dengan demikian, manusia hendaknya percaya bahwa segala sesuatu adalah karena Tuhan yang mempunyai kekuasaan. Dari cerita tersebut, kita juga dapat men;ambil amanat yang lain yaitu bahwa kejahatan yang mengganggu kehidupan harus dihentikan. Namun perlu cara-cara tertentu atau taktik untuk melawannya, apalagi musuh yang dihadapi mempunyai kekuatan yang lebih besar. Kekuatan belum pasti dimiliki dan dilihat dari sesuatu yang besar, namun sesuatu yang kelihatannya kecil dan lemah bisa saja lebih kuat dan menang. Timun Mas adalah seorang gadis kecil yang baru mulai beranjak dewasa. Jika dilihat dari fisik, Timun Mas hanya seorang gadis lemah yang pastinya tidak mempunyai kekuatan untuk melawan raksasa yang begitu besar da.n kuat. Tetapi dengan taktik, keberanian, perjuangan dan doanya, Timun Mas dapat mengalahkan raksasa yang begitu besar dan kuat.

Tema kedua cerita tersebut sama yakni keberanian seorang anak melawan kekuatan yang lebih besar. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa sesuatu yang kelihatannya besar belum tentu mempunyai kekuatan yang besar dan akan menang. Dengan penuh keberanian Timun Mas melawan raksasa yang akan memangsanya. Karena keberaniannya lersebut Timun Maspun dapat mengalahkan raksasa. Sebuah cerita meskipun mempunyai judul yang sama namun belum tentu unsurunsur yang ada di dalamnya sama. Hanya mungkin saja mempunyai kemiripan. Daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam menyajikan isi cerita atau jalannya cerita serta unsur-unsur intrinsik yang ada di dalamnya dapat bervariasi. Setiap pengarang mempunyai variasi cerita sendiri-sendiri meskipun masih dalam satu rutnpun cerita atau tema yang sama.

Sebutlah karya sastra dibandingkan karena ada kemiripan, kemiripan tersebut disebut varian. Cerita Timun Mas dalam Panjebar Semangat karya Endang Sulistyawati dengan cerita Timun Emas dan Raksasa dalam Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara mempunyai kemiripan. Judul yang digunakan ada kesamaan. Nama-nama tokoh yang digunakan dalam kedua cerita tersebut juga sama. Keduanya menggunakan nama tokoh Timun Mas, Mbok Randha, dan Raksasa. Latar atau setting cerita yang digunakan dalam cerita tersebut sama. Isi dan jalannya cerita meskipun sama tetapi ada perbedaan. Tetapi pada hakikatnya satu cerita yang mempunyai tema dan pesan yang ingin disampaikan pengarang sama.

D. Bandingan Sastra Jawa dan Suriname

Sebenarnya, tidak banyak akses sastra Suriname yang masuk ke Jawa. Sebaliknya, banyak orang Suriname yang berlangganan majalah berbahasa Jawa. Bahkan kedekatan antara Suriname dengan Belanda, sering banyak akses sastra Jawa di Suriname yang diperoleh dari Belanda. Perlu dipahami, bahwa Belanda telah lama menjajah Jawa, hingga tingkah kolonial itu mengusung sastra Jawa ke Belanda. Akibatnya banyak sastra Jawa yang diterjemahkan ke bahasa Belanda dan Suriname, sehingga layak dibandingkan.

Bandingan sastra Jawa dan Suriname pernah dilakukan oleh Hutomo (1993:192-196), dengan mencermati puisi kedua wilayah itu. Dia juga seorang ahli yang paling banyak dan rajin membandingkan karya sastra Jawa dengan sastra nasional, Brunai, Malaysia, Tailand, dan sebagainya. Akses dia tentang sastra di Asia dan Eropa sudah cukup mengantarkan dalam sastra bandingan. Menurut dia, di negara Suriname banyak tinggal orang Indonesia yang berasal dari pulau Jawa. Menurut Dr. Yusuf Ismail dalam bukunya Indonesia Pada Pantai Lautan Atlantik (1955), antara tahun 1890 sampai tahun 1939 ada sejumlah 32.956 orang Jawa yang dibawa Belanda ke Suriname. Tentang kehidupan mereka di Suriname ada dua buku penting yang membicarakannya: Kedua buku ini ditulis dalam bahasa Inggris.

Pertama, buku karangan Annemarie de Wall Malefijt. Buku ini berjudul: The Javanese of Surinam. Segment of a plural society (1963). Kedua, buku disertasi karangan Dr. Parsudi Suparlan. Buku ini berjudul: The Javanese in Surinam. Ethnicity in an ethnically plural (1976).Buku tersebut sesungguhnya merupakan kajian antropologi, yang tentunya dapat dijadikan landasan pikir sastra bandingan. Dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Jawa di Suriname itu lupa akan bahasa leluhurnya. Kalau masih ada yang ingat bahasa leluhurnya, maka bahasa itu telah menyimpang dari aslinya. Itulah sebabnya lalu timbul istilah bahasa Jawa-Suriname.Mengingat bahasa Jawa-Suriname dari orang-orang yang berasal dari Jawa tersebut akan punah (terlupakan), maka di Suriname lalu timbul gerakan untuk menggali dan menghidupkannya kembali bahasa Jawa. Orang-orang yang tergabung dalam gerakan ini laiu menerbitkan majalah berjudul Cikal (artinya pohon kelapa yang baru tumbuh). Majalah ini diasuh Johan J. Sarmo, Sari Kasanpawiro, Hein Vruggink, dan Wanny Karijopawiro.
Di samping penerbitan majalah tersebut, orang-orang yang tergabung dalam gerakan ini juga menyusun Kamus Jawa,Suriname Belanda; dan menerbitkan buku buku cerita rakyat, misalnya Dongeng Kancil (1953) dan Djaka Miskin (1983). Buku-buku cerita dihidangkan pada para pembacanya berdasarkan cerita-cerita lisan dari orang tua. Cerita lisan tadi direkam dan ditranskripkan kepada tulisan Latin. Untuk cerita Dongeng Kancil diambil dari pak .S. Siswowitono (tinggal di Ngangsu); sedangkan untuk cerita Djaka Miskin diambil dari pak Asmawidjaja (tinggal di Setu Werek). Dongeng tersebut dapat dibandingkan pula dengan kisah kancil di Jawa. Apakah kecerdikan kancil yang ditokohkan oleh orang Jawa juga diidolakan orang Suriname, patut dibandingkan.

Dalam hubungan penerbitan di atas yang menarik perhatian adalah adanya penerbitan kumpulan puisi. Penerbitan buku ini di Jawa sendiri sangat langka. Kalau pun ada penerbitan kumpulan puisi, penerbitan tersebut hanya terbatas pada bentuk stensilan. Misalnya kumpulan puisi Jawa yang berjudul Kertas Karbon Ireng (19$2) karangan CT. Indrasta dan Guritan-Guritan (1982) karangan Roeswardiyatmo HS. Kedua,nya diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta. Keadaan di atas berbeda dengan kegiatan di Suriname. Hal ini tampak pada beberapa buku yang baru-baru ini saya terima dari Ministerie van Cudtuur, Jeugd en Sport di Paramaribo, Suriname. Salah satu buku yang saya terima itu berjudul Panglipur Ati (Penghibur Hati). Buku Panglipur Ati berisi sejumlah guritan puisi) karya Slamet Modiwirjo (umur 55 tahun) yang tinggal di Zwampweg, Lelydorp, Suriname. Kumpulan guritan (puisi) pak Slamet ini terdiri dari 29 buah. Sebagai salam pembukaan kumpulan guritannya bapak Slamet Modiwirjo menulis sebagai berikut:

guritan iki ingsun karang

anugi ngepura yen ana kurang


sebab karangan iki ijig kurang terang

menawa yen luput aku nyuwun penerang

Struktur guritan Jawa karya pak Slamet Modiwirjo tersa, but di atas itu pada umumnya terdiri dari empat buris dan ber, irama (bersajak) seperti syair Melayu, yaitu: aaaa. Adapun tema guritan bermacam-macam. Umumnya menyangkut renungan-renungan kehidupan manusia di dunia dan nasihat-nasihat. Sangat luas dan dalam pengetahuan juru gurit (penyair tentang manusia dan kemanusiaan. Sampai-sampai dia menggurit tentang kehidupan kaum santri sebagai berikut:

SANTRI

Lamun sira dadi santri

Kudu jing dunung sarta taberi

Lan aja bosen nggonmu padha nuturi

Marang mitramu putra lan putri

Guritan ini sengaja saya potong, hanya satu bait saja. Seluruhnya ada9 bait, yang selalu mamanfaatkan persajakan, mirip dengan soneta. Oleh Hutomo, geguritan itu juga telah dibandingkan, bahkan dikaitkan dengan pernyataan editor berbahasa Belanda. Yang menarik dari guritan-guritan pak Slamet Modiwirjo adalah guritan-guritan tersebut bukanlah karya tulis tapi merupakan guritan-guritan lisan. Pak Slamet Modiwirjo melisankan guritan-guritan tersebut pada kesempatan-kesempatan tertentu, umumnya pada orang punya kerja. Guritan-guritan tersebut lalu di 'tape' dan ditranskripsikan ke tulisan. Tradisi semacam ini juga sering terjadi di kalangan sastra Jawa.
Oleh karena guritan-guritan di atas merupakan guritan-guritan lisan, maka tak mengherankan apabila guritan-guritan tersebut dapat dinyanyikan (gezongen kunnen worden). Oleh karena itu pula hal itu tidak mengherankan kita apabila struktur guritan-guritan tersebut masih terikat pada puisi sastra ludruk (khususnya pada bagian 'gandhangan'-nya atau 'parikan’nya). Hal ini memang dapat diterima sebab pak Slamet Modiwirjo pernah menjadi guru seni ludruk dan seni andhe-andhe lumut di daerahnya (di Suriname). Kini dia telah berumur 55 tahun dan bekerja sebagai petani, pemelihara sapi dan ayam di samping sebagai juru gurit puisi lisan. Berikut adalah guritnnya tentang kaum tani:

Wong Tani

kaya dene lelakone wong among tani

perlu jing temen lehmu gopeni


perlu jing sabar lehmu ngenteni

perlu jing bisa lehmu metani

Begitulah perihal puisi Jawa yang ada di Suriname. Hutomo, telah meninjau dalam pandangan sosiologis dan genetik. Biarpun bandingan masih sebatas apresiasi, yang belum mendalam, tetapi sudah dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara guritan Suriname dan geguritan Jawa, terutama pada awal munculnya. Di Jawa, geguritan semacam itu masih sering disebut sebagai parikan (pantun). Kiranya akan semakin lengkap, apabila ada upaya bandingan yang lebih tajam, untuk melihat seberapa jauh estetika dan filosofi Jawa dan Suriname.

0 komentar:

Posting Komentar