Pages

Selasa, 14 Mei 2019

SASTRA BANDINGAN 7. TEORI SASTRA BANDINGAN



TEORI SASTRA BANDINGAN


A. Membangun Kerangka Teori Sastra bandingan

Sastra bandingan jelas membutuhkan teori, sebagai framework, agar hasil kajian meyakinkan. Selama ini istilah teori itu masih dikacaukan dengan konsep. Teori juga sering disebut kajian teori, landasan teori, dan sejenisnya. Istilah teori dalam sastra bandingan adalah istilah yang sangat biasa kita dengan sehari-hari, baik di lingkungan akademik maupun bukan. Biasanya orang mempertentangkan istilah 'teori' dengan `praktek', sehingga seringkali kita mendengar orang berkata:"Ah..: itu kan cuma teori. Prakteknya kan lain". Ada lagi yang berpendapat, teori tanpa praktek sia-sia, sebaliknya praktek tanpa teori sering kebingungan. Pengertian ini, mengindikasikan bahwa teori itu berada pada angan-angan, praktek berada pada tataran nyata (terapan).

Memang tidak keliru pengertian itu, sebab teori memang berupa konsep matang tentang sastra bandingan. Teori di sini menjadi suatu hal yang "seharusnya", "sebaiknya", "seyogyanya" diikuti oleh pengkaji. Toeri sastra bandingan yang akan membingkai kerja analisis. Jadi adanya teori dalam angan-angan, bukan dalam kenyataan; sedang praktek adalah apa yang sebenarnya terjadi, dilakukan atau diwujudkan. Oleh karena itu praktek adalah kenyataannya, bukan idealnya atau sebaiknya. Dalam pembicaraan kita di sini yang dimaksud dengan teori bukanlah yang seperti itu, walaupun 'teori' tersebut memang masih berada dalam dunia angan-angan atau pemikiran.
Teori di sini diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hakekat suatu kenyataan atau suatu fakta, atau tentang hubungan antara kenyataan atau fakta tersebut dengan kenyataan atau fakta yang lain. Kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu. Jika pengujian ini dilakukan melalui metode dan prosedur (atau cara dan tata-urut) `ilmiah', maka teori tersebut dikatakan sebagai teori yang ilmiah atau teori ilmu pengetahuan, sedang kalau pengujiannya dilakukan tidak dengan menggunakan dan mengikuti prosedur `ilmiah' tadi, maka teori tersebut akan dianggap sebagai teori yang 'tidak ilmiah' dan karenanya tidak harus diyakini kebenarannya. Sastra bandingan biasanya mengikuti prosedur dan langkah-langkah yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Teori yang telah diseleksi, disusun, ditata, dikemas dalam rangka kajian sastra bandingan akan menjadi kerangka, landasan, dan atau kajian teori. Istilah ini tidak perlu dipertentangan dengan mati-matian. Kerangka teori (theoretical framework), biasanya tidak hanya berupa kutipan pendapat yang kompilatif. Landasan teori juga tak sekedar definisi istilah. Kerangka teori sastra bandingan lebih luas, serta lebih penting peranannya dalam dunia ilmu pengetahuan. Kerangka teori saya definisikan di sini sebagai seperangkat per-nyataan tentang hakekat, cara memandang, merumuskan, dan menjawab suatu persoalan dengan menggunakan cara dan tata-urut tertentu, yang akan dapat menghasilkan pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut. Oleh karena ada kata seperangkat, maka istilah kerangka menjadi lebih tepat, karena hal itu menunjukkan adanya lebih dari satu pernyataan, dan seperangkat pernyataan tersebut bukanlah pernyataan-pernyataan yang terlepas satu dari yang lain, tetapi sebaliknya, yaitu saling berkaitan, berhubungan secara logis, masuk akal, sehingga membentuk suatu kerangka tertentu.

Kerangka teori dibangun setelah melalui perdebatan antar teori. Kerangka ini menjadi pijakan pengkajian sastra bandingan, sehingga perlu seleksi. Teori yang bukan pada tempatnya, tidak mapan, kurang aktual, sebaiknya dihilangkan. Relevansi juga amat penting dalam kerangka teori. Jadi kerangka teori bukan pendapat-pendapat yang dikumpulkan begitu saja, melainkan dilakukan seleksi ketat, disesuaikan dengan metode, permasalahan, dan konsep. Dari gagasan ini, teori sastra bandingan perlu dibangun di atas fondasi ilmu sastra yang kuat.

Kalau Jost dan Clements (Sedyawati, 1990:1) menerangkan bahwa sastra bandingan perlu emmbahas karya-karya yang memiliki kualitas universal sehingga dapat didudukkan sebagai warga sastra dunia, memang tidak keliru. Nmaun dalam teori sastra bandingan hal itu tidak perlu dipermasalahkan, sebab sastra universal itu juga amat relatif. Kalau hendak mengawali sastra bandingan dengan karya-karya pujangga besar, silakan saja, tetapi tidak berarti karya sastra yang dihasilkan oleh siapa saja tidak penting. Dalam sastra bandingan menurut hemat saya tidak harus selalu berkiblat yang terlalu muluk-muluk, melainkan merunut perkembangan sastra secara sistematis pada tingkat apa sah-sah saja.

Paling tidak kalau bertumpu pada pendapat Clements (1978:7) teori dasar kajian sastra bandingan hendaknya dapat menemukan lima obyek, yaitu: 
(1) tema/mitos, 
(2) genre/bentuk,
(3)   aliran/jaman, 
(4) hubungan sastra dengan bidang lain, 
(5) sastra sebagai gambaran perkembangan teori dan kritik.

 Obyek (1), (2), (3) dan (5) sebenarnya merupakan wilayah sastra. Teori-teori sastra dapat dimanfaatkan, terutama teori struktural, formalisme, semiotik, untuk membandingkan beberapa karya sastra. Yang diharapkan, kelak dapat menyusun pula sejarah sastra, kritik sastra, dan teori baru tentang sastra. Adapun obyek (4) merupakan analisis yang terkait dengan interdisipliner sastra. Bangunan teoritik yang dikehendaki merupakan studi sastra dalam multidisiplin.

Ketika pengkaji sastra bandingan merumuskan teori secara etik, menandai bahwa mereka bergerak pada paham positivistik. Teori yang dihasilkan sebelum membandingkan ini, akan diikuti secara taat. Manakala hasil bandingan jauh atau menyimpang dari teori berarti hasil bandingan dianggap kurang tepat. Sebaliknya, pengkaji juga dapat menggunakan pendekatan emik, yaitu menurut fenomena teks yang ada. Teks-teks yang dianalisis justru menjadi sandaran membangun teori baru. Pandangan semacam ini menjadi suatu pilar teori baru. Kelahiran teori baru sebenarnya yang paling banyak ditunggu oleh ilmuwan sastra bandingan.



B. Teori Sastra Bandingan Lama dan Modern

Ada sebuah pernyataan seorang ahli sastra dari Nipoli (Ikram, 1990:1) yang menyatakan bahwa tidak melihat faedah dan tujuan sastra bandingan yang jelas. Pernyataan ini, sungguh mengejutkan, sebab implikasinya amat luas. Paling tidak, dia meragukan kerja teoritik dan praktis sastra bandingan. Lepas dari orang Nipoli itu merasa tahu dampak sastra bandingan atau sekedar mencemooh, yang jelas para komparatis perlu tergoda.

Ketidakjelasan manfaat dan tujuan sastra bandingan sebagai akibat pula kemapanan teori kajian memang belum sempurna. Teori kajian lama yang sudah kurang sejalan dengan perkembangan sastra modern, mungkin yang layak diperbaharui. Telah lama para peneliti sastra bandingan mendambakan teori yang mapan. Biarpun dalam keyakinan ahli sastra hampir tak ada teori sastra yang dapat dipatenkan, mapan, dan simpel, namun setidaknya teori sastra bandingan yang memadai masih perlu diharapkan. Teori yang dimaksud adalah langkah-langkah analisis sastra bandingan yang dapat mengungkap makna sastra lebih komprehensif.

Setahu saya, ada tiga cakupan teori sastra bandingan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, teori sastra bandingan lama, yakni sastra bandingan yang menyangkut studi naskah. Sastra bandingan ini, bisanya, ditangani oleh ilmu Filologi. Teori ini lebih kearah kritik teks, untuk menemukan induk naskah. Semakin jeli merunut induk naskah, akan menemukan penyimpangan dan maknanya. Sastra bandingan semacam ini juga dapat dilakukan oleh siapa saja, yang penting memiliki bekal linguistik yang kuat. Bandingan ini akan memperkaya pemahaman teks sastra yang sering mengalami persentuhan teks dan kontekstual. Terlebih karya-karya sastra anonim, biasanya amat relevan menggunakan teori ini.

Kedua, sastra bandingan lisan, yakni sastra bandingan yang menyangkut teks-teks lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi dan dari satu tempat ke tempat lain. Teks lisan ini dapat berupa tradisi lisan tetapi dapat juga diungkapkan dalam wujud sastra lisan (tradisi lisan yang berseni). Sastra bandingan lisan amat membuka kemungkinan celah-celah baru, sebab tradisi lisan itu sendiri hakikatnya amat cair. Sastra bandingan lisan ini banyak dianut oleh pemerhati mitos dan tradisi lisan. Studi lapangan biasanya akan mengawali sastra bandingan lisan ini. Memang sastra bandingan ini memerlukan waktu khusus, penjelajahan ke berbagai area, dan cukup mengasyikkan.

Ketiga, sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan yang menyangkut teks sastra modern. Sastra bandingan modern biasanya lebih luas, bahkan menyangkut unsur di luar sastra pun diperbolehkan. Sastra bandingan modern ada kalanya juga tidak memanfaatkan teori yang ketat. Siapa saja dapat melakukan sastra bandingan gaya modern ini, dari sisi apa saja. Sastra bandingan modern dapat berupa teks-teks yang ditulis oleh sastrawan baik lama maupun modern. Jadi karya sastra lama, seperti kakawin, kidung, epos, pun dapat Istilah modern ini tidak harus menyangkut karya sastra modern saja, melainkan apa saja dapat dikaji. Yang penting cara-cara yang ditempuh menggunakan konsepsi modern.

Istilah teori lama dan modern sebenarnya amat relatif. Apalagi sekarang juga berkembang teori-teori baru yang disebut postmodern, yang dapat dimanfaatkan bagi sastra bandingan. Maka penamaan teori lama dan modern ini lebih bersifat teknis saja. Setelah saya telusuri beberapa buku sastra bandingan memang ada beberapa teori yang layak dipahami. Pertama, studi sastra bandingan setidaknya perlu didasari oleh asumsi bahwa setiap karya sastra merupakan bagian dan sekaligus kumpulan dari teks-teks sastra. Esensinya fenomena teks-teks sastra internansional juga akan bergerak ke arah sastra nasional. Sastra internasional akan menjadi sumber pokok bagi sastra nasional, sastra regional, dan seterusnya sampai pada lingkup yang lebih kecil lagi.

Kedua, kelompok sastra internasional sering dipandang lebih orisinal dan juga lebih asli dalam menampilkan produktivitas sastra. Sifat-sifat gerakan sastra internasional sering dipandang lebih orisinal sampai periode tertentu, terutama dari aspek karya sastra dan penulisnya. Dalam kaitan ini, kita perlu memahami "latar belakang" dan "kata kunci" teks-teks sastra tertentu. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami ide dasar, filosofi, religiusitas, dan pandangan sosial setiap pengarang.

Ketiga, dalam studi sastra bandingan, memang memerlukan aneka konsep sastra, sekurang-kurangnya: teori sastra, sejarah sastra, interpretasi sastra, latar belakang non sastra, kritik sutra, dan sebagainya. Konsep-konsep tersebut akan menopang kerja sastra bandingan, sehingga kita lebih berwawasan luas.

Dari tiga teori itu, pengkaji segera memahami kata kunci sastra bandingan. Sebelum membandingkan dua karya sastra, kata kunci apa yang harus dipegang, selalu dipahami lebih mendalam. Studi kata kunci, akan memberikan arah terhadap studi sastra bandingan agar mampu memasuki hakikat teks sastra. Karya sastra dan aliran sastra akan menggmbarkan hakikat kehidupan melalui lukisan yang abstrak. Para pengarang kemungkinan besar akan melukiskan sikap masyarakat terhadap cipta sastra. Lukisan tersebut akan membentuk kata kunci penting dalam interpretasi sastra. Dari 10 manifesto sastra bandingan yang dikemukakan Zepetnek (Wulandari, 2007:40-41)   memang sering memunculkan paham baru yang tumpang tindih, antara lain cultural studies dan translation studies. Kedua kajian terakhir ini, jika salah arah sering campur aduk dengan sastra bandingan. Patut dikemukakan bahwa sastra bandingan memang berbeda dengan kedua istilah tersebut. Karena itu teorinya pun akan berbeda. Tumpuan pokok sastra bandingan adalah karya sastra, adapun translation studies dan cultural studies tidak harus berkiblat pada sastra. Kalau obyek dan subyeknya sudah berbeda, tentu ketiga ranah itu tidak harus dianggap repot. Apabila sampai detika ini memang sastra bandingan cenderung sebagai “shared perspective”, yaitu melihat aktivitas sastra sebagai bagian jaring relasi budaya yang kompleks, dan belum sampai taat pada “a set of practices” yang membandingkan teks dari budaya yang berbeda, membandingkan antara sastra dan non sastra, dan membandingkan sastra dengan bentuk seni lainnya, patut direnungkan ulang. Kegagalan sastra bandingan, tentu bisa diakibatkan oleh ketidakjelasan arah teori yang bisa diikuti. Bangunan teori sastra bandingan yang lemah bisa menjebak komparatis hingga tenggelam ke suasana bandingan yang sekedar membuang-buang waktu.

Teori sastra bandingan juga terkait dengan perspektif dan pendekatan yang digunakan. Teori merupakan bingkai analisis yang mengarahkan pengkaji. Teori-teori sastra yang telah dikuasai, sebenarnya memrupakan modal dasar kajian sastra bandingan. Teori dasar struktural sampai ke postmodernisme dapat dipadu, agar mampu memilih teori yang tepat. Kegagalan memilih teori tentu akan fatal. Sebaliknya, ketepatan memilih teori akan menjadi pilar penting bagi kesuksesan.

C. Warna Lokal dan Perpektif Kata Kunci

Pada buku saya Metode sastra bandingan, pernah saya ungkap masalah kata kunci. Kata kunci, tidak hanya monopoli sebauah artikel jurnal yang diletakkan di bawah abstrak. Kata kunci menjadi jalur pembuka hubungan antar karya sastra. Yang paling populer, di dunia ini adalah kata kunci yang berkaitan dengan warna lokal. Warna lokal dipandang sebagai kata kunci yang membedakan karya satu dengan yang lain. Apabila ada warna lokal kemudian diambil oleh penulis berikutnya, jelas akan mudah terdeksi keterkaitan dua karya itu.

Karya sastra dalam suatu gerakan sering mengungkapkan suatu alam dengan adanya istilah (biasanya abstrak) kata kunci tertentu. Kata kunci terkait dengan istilah-istilah khas yang frekuensinya relatif banyak. Kata kunci itu yang perlu dibidik pengkaji sastra bandingan, hingga menjadi pintu masuk ke sebuah teks satu ke teks lain. Ketika kita mempertimbangkan sastra pada periode kita sendiri, kita menemukan bahwa istilah-istilah seperti "anti puisi", "anti-novel," "anti jaman" atau secara singkat tetapi komprehensif, "anti-sastra" adalah sangat signifikan. Kata-kata demikian, memiliki implikasi psikologis dan sosiologis dalam wacana sastra. Kata anti merupakan kata kunci yang akan melukiskan sebuah fenomena besar.
Hal yang sama berlaku untuk periode sastra lain di seluruh dunia. Satu kata yang penting untuk dipahami dari sebuah gerakan sastra selama dekade kedua abad kedua puluh adalah istilah "baru". Istilah ini sering dipakai kata neo, yang konotasinya bermacam-macam. Kebaruan sebuah karya juga amat beragam penafsiran. Sedangkan naturalisme dari paruh kedua abad kesembilan belas dapat didekati melalui studi istilah seperti "sepotong hidup" dan “tidak mapan”, dan sebagainya, yang memiliki implikasi kultural. Sehubungan dengan istilah romantisisme, tampaknya kata kunci "humor" dan warna lokal adalah istilah penting.
Studi tentang kata kunci tersebut, dapat memberikan akses ke esensi teks, sekolah, atau gerakan, konteks, baik langsung maupun tidak langsung. "Konteks langsung" di sini berarti teks di mana istilah tersebut dan yang terjadi sebagai sebuah aturan yang menyajikan kontribusi utama untuk memahami konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu. Konteks "tidak langsung" termasuk teks-teks yang mengandung istilah sinonim yaitu, kata-kata dengan perspektif yang mirip dengan kata kunci atau kata-kata yang mencerminkan bagian teks. Bagian-bagian yang yang berisi istilah tersebut harus dikumpulkan dan diatur sedemikian rupa sehingga mereka menjelaskan satu sama lain saling berkaitan dengan konsep yang sedang dipertimbangkan. Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan secara metodis adalah, misalnya, ditunjukkan oleh Wolfgang Schmid-Hidding pada halaman 18-33 Humor und Witz dalam Volume I Europaische Schtusselworter, eds. istilah Moser et al. (Munich: Hucber Verlag, iqb3). Sebuah studi metodis sangat baik pada kata kunci ditulis oleh Rariietsa, Sebuah Kajian Firman "Sentimental" dan Karakteristik Linguistik lain dari abad kedelapan belas di Inggris (Helsinki: Academia Scientiarum Fennica, 1951). Meskipun kajian ini terbatas dari Finlandia ke Inggris, seperti yang ditunjukkan oleh judul, banyak temuannya juga berkontribusi terhadap pengetahuan fenomena tertentu dalam sastra Eropa pada usia sensibilitas. Sebuah studi tentang dunia "Gothic", yang ¬ penting selama periode yang sama pernah ditulis oleh Josef Liaslag di bawah judul "Gothic" im 17 und 18. Ahrhundert, Eine wort-und ideengeschichtliche Untersuchung (Cologne: Bohlau Verlag, 1963). Studi tersebut telah memperlihatkan betapa pentingnya kata kunci dalam sastra bandingan. Kata kunci akan membuka wawasan pada pengkaji, untuk menentukan apakah karya sastra yang dihadapi ada pertautan atau tidak.

Pengkajian kata-kata kunci mungkin sangat bermanfaat untuk bandingan sastra sejak kata-kata ini sering menunjukan ke fenomena internasional dalam sastra dan dengan demikian dapat membuka kemungkinan mendekati sifat fenomena ini. Yang merepotkan, ketika penyelidik di sepanjang jalur tersebut menemukan banyak sekali istilah semantik yang kurang begitu dikenal. Fakta bahwa sejumlah istilah dalam berbagai bahasa secara resmi serumpun (sering sebagai hasil derivasi) tidak dengan sendirinya berarti bahwa istilah ini identik maknanya. Dalam meniru futuris Italia, misalnya, pembebasan "kata" itu yang dianjurkan dalam banyak bahasa pada tahun-tahun 1910:25) namun tidak hampir hal yang sama dimaksud dalam semua kasus.

Pembebasan kata bisa terjadi, karena beda suara, irama atau nilai metafora, dan akhirnya, untuk berbagai kombinasi ini seringkali membingungkan pengkaji. Slogan "pembebasan kata" sehingga menjadi sangat berbeda dengan teks-teks sebelumnya, kadang-kadang bahkan sebaliknya, terlalu sering terjadi. Saya pernah menemukan dua teks cerita pendek yang oleh penulis berikutnya hanya diganti kata dan bahasa. Penulis tersebut tidak menjelaskan bahwa karyanya sebuah terjemahan. Dalam konteks ini berarti, perlu memahami kata kunci yang sama maknanya dalam berbagai ragam bahasa. Pembaharuan makna dan pengurangan makna ekstrem juga sering terjadi pada teks-teks puisi bebas yang panjang, sajak bebas yang tinggi dan singkat, pendek, serta serangkaian vokal merdu, dan konsonan menggigit. Masa depan "istilah" itu sendiri tidak berdiri untuk hal yang sama di berbagai negara di mana futuris-manifesto muncul-sebagaimana dapat dilihat pada manifesto futuris Italia dan Rusia iqoq yang ditempatkan berdampingan.
Sekarang mari kita melihat lebih dekat pada satu penelitian dari kata-kata kunci. Dalam pengertian “warna lokal” menunjukkan bagaimana ia mengatur tentang menemukan jawaban atas pertanyaan tentang arti dari istilah kata kunci warna lokal, romantisisme pada sekitar tahun 1820 dalam pandangan Barat tentang sastra. Titik awalnya adalah pengamatan bahwa kita dapat berharap untuk menemukan istilah tersebut dalam tulisan-tulisan awal sekitar tahun 1820 di mana pandangan yang diungkapkan tentang tujuan sastra menyajikan gambaran masa lalu melalui bahasa. Penulis novel sejarah dan teori drama dari tahun ke tahun sangat mungkin untuk memiliki keteguhan pada pekerjaan mereka sendiri dalam esai lebih atau kurang penting. Kemungkinan bahwa subjek juga dibahas dalam esai oleh para kritikus kontemporer. Selanjutnya mungkin sama bahwa sejarawan waktu kita telah menggunakan istilah warna lokal atau ekspresi sinonim dalam kegiatan diskusi mereka sendiri.

Pertimbangan ini menjadi pilihan peneliti pilihan pada sejumlah teks-teks dari periode yang warna lokal yang membentuk kata kunci romantisisme sastra. Akurasi membaca karya-karya yang dipilih jelas menghasilkan banyak bagian-bagian yang berisi istilah warna lokal dalam konteks lokal mereka. Namun, istilah itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan karena sangat penting untuk penyelidikan bahwa awal dan akhir dari bagian yang diambil dari teks secara akurat tetap. Seharusnya tidak berarti dianggap tambahan untuk teks yang dikutip terdiri dari kalimat di mana istilah tersebut terjadi, bersama-sama dengan satu atau dua kalimat sebelumnya atau berikutnya. Dengan melanjutkan cara ini, satu menjalankan risiko mengabaikan informasi penting tentang berbagai makna istilah itu. Prosedur lebih produktif adalah untuk melacak alur pemikiran yang mengarah penulis dengan penggunaan istilah itu. Kami dapat melakukan ini dengan membaca secara akurat sejumlah halaman sebelumnya dan kemudian mengarahkan perhatian kita pada perkembangan dari garis pemikiran setelah pernyataan awalnya. Jika dalam konteks ini telah cukup jelas, kita dapat mulai membatasi diri karya-karya yang hendak dikaji.
Mungkin anda akan berpendapat bahwa pilihan sebuah fragmen teks, pada kenyataannya, tidak mungkin karena semua itu sebelum dan semua teks berhasil membantu untuk menggambarkan konsep. Secara umum, komentar ini benar, tetapi dalam setiap kasus yang terpisah satu harus memutuskan apakah berlaku teks secara menyeluruh atau hanya bagian per bagian saja ayng diambil. Sebelumnya dan bagian berikut mungkin sering kesepakatan bahwa masalah tertentu tidak sama sekali atau hampir tidak terhubungkan dengan bagian di mana istilah kunci terjadi. Jika hal ini tidak terjadi, karena itu, kita memiliki teks di mana semua pikiran berhubungan erat dengan konsep yang bersangkutan. Kita harus menentukan pada saat apa hubungan ini akan datang begitu dekat bahwa istilah yang dikaji sebenarnya mulai datang dalam penglihatan. Saat itu mungkin menjadi awal dari bagian yang kita ingin mengisolasi dari sisa teks. Dalam hal apapun, akan ada titik di mana kita mulai dengan hati-hati mempertimbangkan lokasi teks yang harus diambil.
Dengan cara ini, menjadi jelas bahwa warna lokal dan "semangat zaman" adalah konsep saling berhubungan. Karena itu kita boleh menyimpulkan dari data bahwa skala warna lokal memiliki dua fungsi saling menunjuk ke semangat zaman, hingga ke detail yang indah tersebut, serta dengan semangat zaman itu sendiri. Sejauh fungsi pertama yang bersangkutan, warna lokal menggantikan kostum yang lebih lazim untuk "pakaian," telah menjadi kurang dan kurang memadai untuk menunjukkan manifestasi eksternal dari semangat waktu. Penggantian ini perlu dibuat untuk pindah warna lokal dari studio asli pelukis. Fungsi kedua mungkin juga telah menjadi penyebab transformasi yang disertai langkah ini, untuk istilah pelukis adalah warna lokal, dan ini sekarang berubah menjadi sastra (atau, dalam arti yang lebih luas, budaya-sejarah). Istilah warna lokal mungkin dianggap sebagai refleksi formal dari kesadaran bahwa gagasan tentang "semangat zaman" harus mengakomodasi sejumlah besar fenomena.

Studi ini kata kunci warna lokal telah menyebabkan klarifikasi dari sejumlah gagasan yang merupakan latar belakang historis. Akibatnya, kita sekarang bisa berdiri lebih jelas apakah istilah pengguna ingin menekankan pada saat meneliti beraneka ragam adegan kehidupan dan tindakan dalam kerangka kerja sejarah yang ditampilkan kepada pembaca. Sementara di satu pihak ada yang mencoba merekam inti dari suatu periode. Upaya ini terlihat juga mengajarkan kita sesuatu tentang sikap romantis sehubungan dengan sejarah, suatu sikap yang telah membuahkan hasil yang penting bagi sastra. Selain. kita harus berhati-hati untuk tidak memiliki bagian yang telah kami seleksi dan cetak tanpa komentar, perlu penilaian yang bagus terhadap kerangka pemikiran yang merupakan salah satu bagian.

Dari wacana warna lokal dikumpulkan dengan cara ini, orang menemukan bahwa mereka kadang-kadang tidak hanya mengandung warna lokal, tetapi juga terkait istilah digunakan secara analog. Para penulis sendiri, dari yang karya-karyanya berasal dari suatu sumber tertentu kadang-kadang, tak terpahami. Untuk tujuan ini, mereka merekrut ekspresi sisonim yang memasok dengan konteks terminologi. Di Prancis, istilah-istilah seperti couleurs des temps et des lieux, couleurs historiques, locales couleters et-histor iques masih mudah dikenali. Tapi ada juga yang menemukan lokal oerite dan des Verite eouleurs locales; lebih lanjut, lokal teinte, coloris lokal; akhirnya la physionomie de Leur temps, la physionomie des siMes, particulier le cap de Sime chaque; dan la eouleur sinon epoque 1'esprit. Istilah tersebut dalam banyak kasus lebih tua dari warna lokal. Selama pencarian menemukan mereka dalam teks-teks dari abad ketujuh belas dan kedelapan belas di mana ide itu terungkap bahwa karakteristik tertentu dapat dianggap berasal dari suatu periode. Sepanjang garis-garis ini, ia bisa pergi jauh ke belakang dalam sejarah sebagai 1600, ia kemudian ditunjuk untuk beberapa sejauh latar belakang historis dari istilah warna lokal. Biarpun warna lokal itu masih problematis, dalam sastra bandingan tetap menjadi fokur kajian.

D. Latar Belakang Sastra dan Non Sastra

Latar belakang (background) adalah faktor yang melingkupi karya sastra. Faktor ini amat dibutuhkan dalam teori kajian sastra bandingan. Berbagai aspek, seperti kultural, buaya, ekonomi, politik, dan sebagainya sering menjadi latar belakang lahirnya karya sastra. Latar belakang dapat saya bagi menjadi dua golongan, yaitu: (1) latar belakang sastra dan (2) latar belakang non sastra. Keduanya saling terkait hingga membentuk komponen sastra yang indah.

Latar belakang sastra, biasanya terkait dengan teks. Yakni, berupa dorongan, spirit, ketertarikan ide, ketertarikan gaya, tipografi, dan seterusnya yang sering diikuti oleh pengarang selanjutnya. Setiap pengarang yang memiliki latar belakang sastra banyak (heterogin), biasanya karya-karyanya juga amat plural. Bekal sastrawan yang cukup, banyak membaca sastra nasional, sastra dunia, sering mempengaruhi karya-karyanya. Celakanya, latar belakang sastra itu sering halus, sulit terdeteksi, apalagi kalau pengkaji sastra bandingan juga belum pernah membaca karya sastra dalam jumlah besar.

Sering saya tidak dapat benar-benar memahami larik-larik dari suatu teks sastra. Bahkan ada kalanya sampai sulit sekali mengenal alam pikiran dan pandangan yang mendasari karya-karya sastra. Pengarang memang insan yang melebihi kelebihan estetika dan filosofi tingkat tinggi. Hal ini tentunya bukan sebuah wacana eksklusif dalam studi sastra bandingan. Bahkan jika ide-ide dan pandangan internasional yang telah menjadi milik bersama, seperti yang sering akan terjadi, sulit diikuti oleh pembaca. Sebuah pengetahuan tentang latar belakang filosofis ilmiah, seni-kritis, andalan keagamaan, dan sosial dari sebuah karya sastra adalah kebutuhan untuk studi sastra bandingan.
Namun demikian sifat internasional dari suatu fenomena sastra, terutama dari gerakan sastra, biasanya dihubungkan dengan cara berpikir yang dominan selama periode dimana gerakan sastra itu berkembang. Oleh karena itu, bandingan sastra sering bertentangan dengan konsep latar belakang. Sebagai contoh untuk menunjukkan perlunya mengetahui latar belakang nonsastra untuk memahami teks, mari kita kembali ke gagasan William Blake dalam sebuah epigram 46, "Untuk Venesia Artists" bahwa Allah tidak menunjukkan mewarnai Newton, tanpa garis hitam, kita semua tahu. Mungkin fabel ini sedikit aneh hingga kita bergembira. Seekor anjing menghampiri air tanpa tahu di mana sebuah tulang yang telah dicuri dalam mulutnya. Dia peduli, bukan apakah itu angin utara atau selatan. Ketika ia berenang, ia melihat refleksi dari tulang. Hal ini cukup sebagai gambaran kesempurnaan latar belakang non sastra.

Latar belakang non sastra sering berbalut dengan latar belakang sastra, hingga sulit ditafsirkan. Tanpa bekal latar belakang pembacaan karya sastra yang bervariasi, pengkaji sastra bandingan jelas kurang memadai. Seorang pengkaji paling tidak diperlukan orang yang memiliki pengetahuan luas. Studi eksplorasi dalam banyak ilmu, amat membantu untuk memahami latar belakang non sastra. Karya sastra adalah ciptaan yang penuh dengan aneka aspek di dalamnya.

Pengkaji sastra bandingan akan dihadapkan pada persoalan-persoalan, apakah beberapa data yang dihadapi memiliki keterkaitan non sastra. Keterkaitan ini, mungkin sekali hanya sepenggal kata, wacana, bait, dan sebagainya. Oleh sebab itu, bekal yang seyogyanya dipegang pengkaji sastra bandingan perlu banyak membaca interdisipliner ilmu. Setahu saya, yang paling utama aspek non sastra itu misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat, agama, moral, dan sebagainya. Aspek non sastra ini memang memerlukan penafsiran serius.

Pengembangan sastra bandingan yang memfokuskan latar belakang non sastra, sebenarnya cenderung ke arah sastra bandingan mazab Amerika, bukan Eropa (Perancis). Jika Perancis cenderung merumuskan bandingan lebih ke arah karya sastra, untuk mencermati proses kreatif, Amerika justru membolehkan bandingan dengan bidang non sastra. Pelebaran sayap sastra bandingan ini, memang sebuah upaya sistematis untuk meneropong seberapa jauh muatan sastra itu.

Sastra yang oleh banyak kalangan disebut karya kreatif, mengandung segala aspek kehidupan, berarti terbuka kemungkinan untuk dibandingkan dengan bidang lain. Sastra bandingan menjadi semakin luas dan tidak menutup diri. Namun perlu disadari, perkembangan ilmu antar disiplin ini di Indonensia masih berjalan lambat. Pemerhati sastra bandingan dalam berbagai pertemuan ilmiah, masih jarang yang mencoba membandingkan sastra dengan ilmu sosial, agama, seni, filsafat, dan budaya.

0 komentar:

Posting Komentar