TEORI SASTRA BANDINGAN
A. Membangun Kerangka Teori
Sastra bandingan
Sastra bandingan jelas membutuhkan teori, sebagai framework, agar hasil kajian meyakinkan.
Selama ini istilah teori itu masih dikacaukan dengan konsep. Teori juga sering
disebut kajian teori, landasan teori, dan sejenisnya. Istilah teori dalam
sastra bandingan adalah istilah yang sangat biasa kita dengan sehari-hari, baik
di lingkungan akademik maupun bukan. Biasanya orang mempertentangkan istilah
'teori' dengan `praktek', sehingga seringkali kita mendengar orang
berkata:"Ah..: itu kan cuma teori.
Prakteknya kan lain". Ada lagi yang berpendapat, teori tanpa praktek
sia-sia, sebaliknya praktek tanpa teori sering kebingungan. Pengertian ini,
mengindikasikan bahwa teori itu berada pada angan-angan, praktek berada pada
tataran nyata (terapan).
Memang tidak keliru pengertian itu, sebab teori
memang berupa konsep matang tentang sastra bandingan. Teori di sini menjadi
suatu hal yang "seharusnya", "sebaiknya",
"seyogyanya" diikuti oleh pengkaji. Toeri sastra bandingan yang akan
membingkai kerja analisis. Jadi adanya teori dalam angan-angan, bukan dalam
kenyataan; sedang praktek adalah apa yang sebenarnya terjadi, dilakukan atau
diwujudkan. Oleh karena itu praktek adalah kenyataannya, bukan idealnya atau
sebaiknya. Dalam pembicaraan kita di sini yang dimaksud dengan teori bukanlah
yang seperti itu, walaupun 'teori' tersebut memang masih berada dalam dunia
angan-angan atau pemikiran.
Teori di sini diartikan sebagai suatu pernyataan
tentang hakekat suatu kenyataan atau suatu fakta, atau tentang hubungan antara
kenyataan atau fakta tersebut dengan kenyataan atau fakta yang lain. Kebenaran
pernyataan tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu. Jika
pengujian ini dilakukan melalui metode dan prosedur (atau cara dan tata-urut)
`ilmiah', maka teori tersebut dikatakan sebagai teori yang ilmiah atau teori
ilmu pengetahuan, sedang kalau pengujiannya dilakukan tidak dengan menggunakan dan
mengikuti prosedur `ilmiah' tadi, maka teori tersebut akan dianggap sebagai
teori yang 'tidak ilmiah' dan karenanya tidak harus diyakini kebenarannya.
Sastra bandingan biasanya mengikuti prosedur dan langkah-langkah yang dapat
dibuktikan kebenarannya.
Teori yang telah diseleksi, disusun, ditata,
dikemas dalam rangka kajian sastra bandingan akan menjadi kerangka, landasan,
dan atau kajian teori. Istilah ini tidak perlu dipertentangan dengan
mati-matian. Kerangka teori (theoretical
framework), biasanya tidak hanya berupa kutipan pendapat yang kompilatif.
Landasan teori juga tak sekedar definisi istilah. Kerangka teori sastra
bandingan lebih luas, serta lebih penting peranannya dalam dunia ilmu
pengetahuan. Kerangka teori saya definisikan di sini sebagai seperangkat
per-nyataan tentang hakekat, cara memandang, merumuskan, dan menjawab suatu
persoalan dengan menggunakan cara dan tata-urut tertentu, yang akan dapat
menghasilkan pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut. Oleh karena ada
kata seperangkat, maka istilah kerangka menjadi lebih tepat, karena hal itu
menunjukkan adanya lebih dari satu pernyataan, dan seperangkat pernyataan
tersebut bukanlah pernyataan-pernyataan yang terlepas satu dari yang lain,
tetapi sebaliknya, yaitu saling berkaitan, berhubungan secara logis, masuk
akal, sehingga membentuk suatu kerangka tertentu.
Kerangka teori dibangun setelah melalui perdebatan
antar teori. Kerangka ini menjadi pijakan pengkajian sastra bandingan, sehingga
perlu seleksi. Teori yang bukan pada tempatnya, tidak mapan, kurang aktual,
sebaiknya dihilangkan. Relevansi juga amat penting dalam kerangka teori. Jadi kerangka
teori bukan pendapat-pendapat yang dikumpulkan begitu saja, melainkan dilakukan
seleksi ketat, disesuaikan dengan metode, permasalahan, dan konsep. Dari
gagasan ini, teori sastra bandingan perlu dibangun di atas fondasi ilmu sastra
yang kuat.
Kalau Jost dan Clements (Sedyawati, 1990:1)
menerangkan bahwa sastra bandingan perlu emmbahas karya-karya yang memiliki
kualitas universal sehingga dapat didudukkan sebagai warga sastra dunia, memang
tidak keliru. Nmaun dalam teori sastra bandingan hal itu tidak perlu
dipermasalahkan, sebab sastra universal itu juga amat relatif. Kalau hendak
mengawali sastra bandingan dengan karya-karya pujangga besar, silakan saja,
tetapi tidak berarti karya sastra yang dihasilkan oleh siapa saja tidak
penting. Dalam sastra bandingan menurut hemat saya tidak harus selalu berkiblat yang terlalu
muluk-muluk, melainkan merunut perkembangan sastra secara sistematis pada
tingkat apa sah-sah saja.
Paling tidak kalau bertumpu pada pendapat Clements (1978:7) teori dasar
kajian sastra bandingan hendaknya dapat menemukan lima obyek, yaitu:
(1)
tema/mitos,
(2) genre/bentuk,
(3) aliran/jaman, (4) hubungan sastra dengan bidang lain,
(5) sastra sebagai gambaran perkembangan teori dan kritik.
Obyek (1), (2), (3) dan (5) sebenarnya merupakan wilayah sastra. Teori-teori sastra dapat dimanfaatkan, terutama teori struktural, formalisme, semiotik, untuk membandingkan beberapa karya sastra. Yang diharapkan, kelak dapat menyusun pula sejarah sastra, kritik sastra, dan teori baru tentang sastra. Adapun obyek (4) merupakan analisis yang terkait dengan interdisipliner sastra. Bangunan teoritik yang dikehendaki merupakan studi sastra dalam multidisiplin.
Ketika pengkaji sastra bandingan merumuskan teori
secara etik, menandai bahwa mereka bergerak pada paham positivistik. Teori yang
dihasilkan sebelum membandingkan ini, akan diikuti secara taat. Manakala hasil
bandingan jauh atau menyimpang dari teori berarti hasil bandingan dianggap
kurang tepat. Sebaliknya, pengkaji juga dapat menggunakan pendekatan emik, yaitu
menurut fenomena teks yang ada. Teks-teks yang dianalisis justru menjadi
sandaran membangun teori baru. Pandangan semacam ini menjadi suatu pilar teori
baru. Kelahiran teori baru sebenarnya yang paling banyak ditunggu oleh ilmuwan
sastra bandingan.
B. Teori Sastra Bandingan Lama
dan Modern
Ada sebuah pernyataan seorang ahli sastra dari
Nipoli (Ikram, 1990:1) yang menyatakan bahwa tidak melihat faedah dan tujuan
sastra bandingan yang jelas. Pernyataan ini, sungguh mengejutkan, sebab
implikasinya amat luas. Paling tidak, dia meragukan kerja teoritik dan praktis
sastra bandingan. Lepas dari orang Nipoli itu merasa tahu dampak sastra
bandingan atau sekedar mencemooh, yang jelas para komparatis perlu tergoda.
Ketidakjelasan manfaat dan tujuan sastra bandingan
sebagai akibat pula kemapanan teori kajian memang belum sempurna. Teori kajian
lama yang sudah kurang sejalan dengan perkembangan sastra modern, mungkin yang
layak diperbaharui. Telah lama para peneliti sastra bandingan mendambakan teori
yang mapan. Biarpun dalam keyakinan ahli sastra hampir tak ada teori sastra
yang dapat dipatenkan, mapan, dan simpel, namun setidaknya teori sastra bandingan yang memadai masih perlu diharapkan. Teori yang dimaksud
adalah langkah-langkah analisis sastra bandingan yang dapat mengungkap makna
sastra lebih komprehensif.
Setahu saya, ada tiga cakupan teori sastra
bandingan yang perlu dipertimbangkan. Pertama,
teori sastra bandingan lama, yakni
sastra bandingan yang menyangkut studi naskah. Sastra bandingan ini, bisanya, ditangani oleh ilmu Filologi. Teori
ini lebih kearah kritik teks, untuk menemukan induk naskah. Semakin jeli
merunut induk naskah, akan menemukan penyimpangan dan maknanya. Sastra
bandingan semacam ini juga dapat dilakukan oleh siapa saja, yang penting memiliki
bekal linguistik yang kuat. Bandingan ini akan memperkaya pemahaman teks sastra
yang sering mengalami persentuhan teks dan kontekstual. Terlebih karya-karya
sastra anonim, biasanya amat relevan menggunakan teori ini.
Kedua, sastra bandingan lisan, yakni
sastra bandingan yang menyangkut teks-teks lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke
generasi dan dari satu tempat ke tempat lain. Teks lisan ini dapat berupa
tradisi lisan tetapi dapat juga diungkapkan dalam wujud sastra lisan (tradisi lisan yang berseni).
Sastra bandingan lisan amat membuka kemungkinan celah-celah baru, sebab tradisi
lisan itu sendiri hakikatnya amat cair. Sastra bandingan lisan ini banyak
dianut oleh pemerhati mitos dan tradisi lisan. Studi lapangan biasanya akan
mengawali sastra bandingan lisan ini. Memang sastra bandingan ini memerlukan
waktu khusus, penjelajahan ke berbagai area, dan cukup mengasyikkan.
Ketiga, sastra bandingan modern, yakni
sastra bandingan yang menyangkut teks sastra
modern. Sastra bandingan modern biasanya lebih luas, bahkan menyangkut
unsur di luar sastra pun diperbolehkan. Sastra bandingan modern ada kalanya
juga tidak memanfaatkan teori yang ketat. Siapa saja dapat melakukan sastra
bandingan gaya modern ini, dari sisi apa saja. Sastra bandingan modern dapat
berupa teks-teks yang ditulis oleh sastrawan baik lama maupun modern. Jadi
karya sastra lama, seperti kakawin, kidung, epos, pun dapat Istilah modern ini
tidak harus menyangkut karya sastra modern saja, melainkan apa saja dapat dikaji.
Yang penting cara-cara yang ditempuh menggunakan konsepsi modern.
Istilah teori lama dan modern sebenarnya amat
relatif. Apalagi sekarang juga berkembang teori-teori baru yang disebut
postmodern, yang dapat dimanfaatkan bagi sastra bandingan. Maka penamaan teori
lama dan modern ini lebih bersifat teknis saja. Setelah saya telusuri beberapa
buku sastra bandingan memang ada beberapa teori yang layak dipahami. Pertama, studi sastra bandingan
setidaknya perlu didasari oleh asumsi bahwa setiap karya sastra merupakan bagian dan sekaligus kumpulan dari teks-teks sastra. Esensinya
fenomena teks-teks sastra internansional juga akan bergerak ke arah sastra
nasional. Sastra internasional akan menjadi sumber pokok bagi sastra nasional,
sastra regional, dan seterusnya sampai pada lingkup yang lebih kecil lagi.
Kedua, kelompok sastra internasional sering dipandang lebih orisinal dan juga
lebih asli dalam menampilkan
produktivitas sastra. Sifat-sifat gerakan sastra internasional sering dipandang
lebih orisinal sampai periode tertentu, terutama dari aspek karya sastra dan
penulisnya. Dalam kaitan ini, kita perlu memahami "latar belakang"
dan "kata kunci" teks-teks sastra tertentu. Dengan cara ini, kita
akan dapat memahami ide dasar, filosofi, religiusitas, dan pandangan sosial
setiap pengarang.
Ketiga, dalam studi sastra bandingan, memang memerlukan aneka konsep sastra, sekurang-kurangnya: teori sastra,
sejarah sastra, interpretasi sastra, latar belakang non sastra, kritik sutra,
dan sebagainya. Konsep-konsep tersebut akan menopang kerja sastra bandingan,
sehingga kita lebih berwawasan luas.
Dari tiga teori itu, pengkaji segera memahami kata
kunci sastra bandingan. Sebelum membandingkan dua karya sastra, kata kunci apa
yang harus dipegang, selalu dipahami lebih mendalam. Studi kata kunci, akan
memberikan arah terhadap studi sastra bandingan agar mampu memasuki hakikat
teks sastra. Karya sastra dan aliran sastra akan menggmbarkan hakikat kehidupan
melalui lukisan yang abstrak. Para pengarang kemungkinan besar akan melukiskan
sikap masyarakat terhadap cipta sastra. Lukisan tersebut akan membentuk kata
kunci penting dalam interpretasi sastra. Dari 10
manifesto sastra bandingan yang dikemukakan Zepetnek (Wulandari, 2007:40-41)
memang
sering memunculkan paham baru yang tumpang tindih, antara lain cultural studies
dan translation studies. Kedua kajian terakhir ini, jika salah arah sering
campur aduk dengan sastra bandingan. Patut dikemukakan bahwa sastra bandingan
memang berbeda dengan kedua istilah tersebut. Karena itu teorinya pun akan
berbeda. Tumpuan pokok sastra bandingan adalah karya sastra, adapun translation
studies dan cultural studies tidak harus berkiblat pada sastra. Kalau obyek dan
subyeknya sudah berbeda, tentu ketiga ranah itu tidak harus dianggap repot. Apabila sampai detika ini memang sastra bandingan
cenderung sebagai “shared perspective”, yaitu melihat aktivitas
sastra sebagai bagian jaring relasi budaya yang kompleks, dan belum sampai taat pada “a set
of practices” yang membandingkan teks dari budaya yang berbeda,
membandingkan antara sastra dan non sastra, dan membandingkan sastra dengan
bentuk seni lainnya, patut direnungkan ulang. Kegagalan sastra bandingan, tentu
bisa diakibatkan oleh ketidakjelasan arah teori yang bisa diikuti. Bangunan
teori sastra bandingan yang lemah bisa menjebak komparatis hingga tenggelam ke
suasana bandingan yang sekedar membuang-buang waktu.
Teori sastra bandingan juga terkait dengan
perspektif dan pendekatan yang digunakan. Teori merupakan bingkai analisis yang
mengarahkan pengkaji. Teori-teori sastra yang telah dikuasai, sebenarnya
memrupakan modal dasar kajian sastra bandingan. Teori dasar struktural sampai
ke postmodernisme dapat dipadu, agar mampu memilih teori yang tepat. Kegagalan
memilih teori tentu akan fatal. Sebaliknya, ketepatan memilih teori akan
menjadi pilar penting bagi kesuksesan.
C. Warna Lokal dan Perpektif Kata
Kunci
Pada buku saya Metode sastra bandingan, pernah saya
ungkap masalah kata kunci. Kata kunci, tidak hanya monopoli sebauah artikel
jurnal yang diletakkan di bawah abstrak. Kata kunci menjadi jalur pembuka
hubungan antar karya sastra. Yang paling populer, di dunia ini adalah kata
kunci yang berkaitan dengan warna lokal. Warna lokal dipandang sebagai kata
kunci yang membedakan karya satu dengan yang lain. Apabila ada warna lokal
kemudian diambil oleh penulis berikutnya, jelas akan mudah terdeksi keterkaitan
dua karya itu.
Karya sastra dalam suatu gerakan sering
mengungkapkan suatu alam dengan adanya istilah (biasanya abstrak) kata kunci
tertentu. Kata kunci terkait dengan istilah-istilah khas yang frekuensinya
relatif banyak. Kata kunci itu yang perlu dibidik pengkaji sastra bandingan,
hingga menjadi pintu masuk ke sebuah teks satu ke teks lain. Ketika kita
mempertimbangkan sastra pada periode kita sendiri, kita menemukan bahwa
istilah-istilah seperti "anti puisi", "anti-novel,"
"anti jaman" atau secara singkat tetapi komprehensif,
"anti-sastra" adalah sangat signifikan. Kata-kata demikian, memiliki
implikasi psikologis dan sosiologis dalam wacana sastra. Kata anti merupakan
kata kunci yang akan melukiskan sebuah fenomena besar.
Hal yang sama berlaku untuk periode sastra lain di
seluruh dunia. Satu kata yang penting untuk dipahami dari sebuah gerakan sastra
selama dekade kedua abad kedua puluh adalah istilah "baru". Istilah
ini sering dipakai kata neo, yang konotasinya bermacam-macam. Kebaruan sebuah karya juga amat beragam penafsiran. Sedangkan naturalisme dari paruh
kedua abad kesembilan belas dapat didekati melalui studi istilah seperti
"sepotong hidup" dan “tidak mapan”, dan sebagainya, yang memiliki
implikasi kultural. Sehubungan dengan istilah romantisisme, tampaknya kata
kunci "humor" dan warna lokal adalah istilah penting.
Studi tentang kata kunci tersebut, dapat memberikan
akses ke esensi teks, sekolah, atau gerakan, konteks, baik langsung maupun
tidak langsung. "Konteks langsung" di sini berarti teks di mana
istilah tersebut dan yang terjadi sebagai sebuah aturan yang menyajikan
kontribusi utama untuk memahami konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu.
Konteks "tidak langsung" termasuk teks-teks yang mengandung istilah
sinonim yaitu, kata-kata dengan perspektif yang mirip dengan kata kunci atau
kata-kata yang mencerminkan bagian teks. Bagian-bagian yang yang berisi istilah
tersebut harus dikumpulkan dan diatur sedemikian rupa sehingga mereka
menjelaskan satu sama lain saling berkaitan dengan konsep yang sedang
dipertimbangkan. Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan secara metodis adalah,
misalnya, ditunjukkan oleh Wolfgang Schmid-Hidding pada halaman 18-33 Humor und
Witz dalam Volume I Europaische Schtusselworter, eds. istilah Moser et al.
(Munich: Hucber Verlag, iqb3). Sebuah studi metodis sangat baik pada kata kunci
ditulis oleh Rariietsa, Sebuah Kajian
Firman "Sentimental" dan Karakteristik
Linguistik lain dari abad kedelapan belas di Inggris (Helsinki: Academia Scientiarum Fennica, 1951). Meskipun
kajian ini terbatas dari Finlandia ke Inggris, seperti yang ditunjukkan oleh
judul, banyak temuannya juga berkontribusi terhadap pengetahuan fenomena tertentu
dalam sastra Eropa pada usia sensibilitas. Sebuah studi tentang dunia
"Gothic", yang ¬ penting selama periode yang sama pernah ditulis oleh
Josef Liaslag di bawah judul "Gothic" im 17 und 18. Ahrhundert, Eine wort-und
ideengeschichtliche Untersuchung (Cologne: Bohlau Verlag, 1963). Studi
tersebut telah memperlihatkan betapa pentingnya kata kunci dalam sastra
bandingan. Kata kunci akan membuka wawasan pada pengkaji, untuk menentukan
apakah karya sastra yang dihadapi ada pertautan atau tidak.
Pengkajian kata-kata kunci mungkin sangat
bermanfaat untuk bandingan sastra sejak kata-kata ini sering menunjukan ke
fenomena internasional dalam sastra dan dengan demikian dapat membuka
kemungkinan mendekati sifat fenomena ini. Yang merepotkan, ketika penyelidik di
sepanjang jalur tersebut menemukan banyak sekali istilah semantik yang kurang
begitu dikenal. Fakta bahwa sejumlah istilah dalam berbagai bahasa secara resmi
serumpun (sering sebagai hasil derivasi) tidak dengan sendirinya berarti bahwa
istilah ini identik maknanya. Dalam meniru futuris Italia, misalnya, pembebasan "kata" itu yang
dianjurkan dalam banyak bahasa pada tahun-tahun 1910:25) namun tidak hampir hal
yang sama dimaksud dalam semua kasus.
Pembebasan kata bisa terjadi, karena beda suara,
irama atau nilai metafora, dan akhirnya, untuk berbagai kombinasi ini
seringkali membingungkan pengkaji. Slogan "pembebasan kata" sehingga
menjadi sangat berbeda dengan teks-teks sebelumnya, kadang-kadang bahkan
sebaliknya, terlalu sering terjadi. Saya pernah menemukan dua teks cerita
pendek yang oleh penulis berikutnya hanya diganti kata dan bahasa. Penulis
tersebut tidak menjelaskan bahwa karyanya sebuah terjemahan. Dalam konteks ini
berarti, perlu memahami kata kunci yang sama maknanya dalam berbagai ragam bahasa.
Pembaharuan makna dan pengurangan makna ekstrem juga sering terjadi pada
teks-teks puisi bebas yang panjang, sajak bebas yang tinggi dan singkat,
pendek, serta serangkaian vokal merdu, dan konsonan menggigit. Masa depan
"istilah" itu sendiri tidak berdiri untuk hal yang sama di berbagai
negara di mana futuris-manifesto muncul-sebagaimana dapat dilihat pada
manifesto futuris Italia dan Rusia iqoq yang ditempatkan berdampingan.
Sekarang mari kita melihat lebih dekat pada satu
penelitian dari kata-kata kunci. Dalam pengertian “warna lokal” menunjukkan
bagaimana ia mengatur tentang menemukan jawaban atas pertanyaan tentang arti
dari istilah kata kunci warna lokal, romantisisme pada sekitar tahun 1820 dalam
pandangan Barat tentang sastra. Titik awalnya adalah pengamatan bahwa kita
dapat berharap untuk menemukan istilah tersebut dalam tulisan-tulisan awal
sekitar tahun 1820 di mana pandangan yang diungkapkan tentang tujuan sastra
menyajikan gambaran masa lalu melalui bahasa. Penulis novel sejarah dan teori
drama dari tahun ke tahun sangat mungkin untuk memiliki keteguhan pada
pekerjaan mereka sendiri dalam esai lebih atau kurang penting. Kemungkinan
bahwa subjek juga dibahas dalam esai oleh para kritikus kontemporer.
Selanjutnya mungkin sama bahwa sejarawan waktu kita telah menggunakan istilah
warna lokal atau ekspresi sinonim dalam kegiatan diskusi mereka sendiri.
Pertimbangan ini menjadi pilihan peneliti pilihan
pada sejumlah teks-teks dari periode yang warna lokal yang membentuk kata kunci
romantisisme sastra. Akurasi membaca karya-karya yang dipilih jelas
menghasilkan banyak bagian-bagian yang berisi istilah warna lokal dalam konteks
lokal mereka. Namun, istilah itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan
karena sangat penting untuk penyelidikan bahwa awal dan akhir dari bagian yang
diambil dari teks secara akurat tetap. Seharusnya tidak berarti dianggap
tambahan untuk teks yang dikutip terdiri dari kalimat di mana istilah tersebut terjadi, bersama-sama
dengan satu atau dua kalimat sebelumnya atau berikutnya. Dengan melanjutkan
cara ini, satu menjalankan risiko mengabaikan informasi penting tentang
berbagai makna istilah itu. Prosedur lebih produktif adalah untuk melacak alur
pemikiran yang mengarah penulis dengan penggunaan istilah itu. Kami dapat
melakukan ini dengan membaca secara akurat sejumlah halaman sebelumnya dan
kemudian mengarahkan perhatian kita pada perkembangan dari garis pemikiran
setelah pernyataan awalnya. Jika dalam konteks ini telah cukup jelas, kita
dapat mulai membatasi diri karya-karya yang hendak dikaji.
Mungkin anda akan berpendapat bahwa pilihan sebuah
fragmen teks, pada kenyataannya, tidak mungkin karena semua itu sebelum dan
semua teks berhasil membantu untuk menggambarkan konsep. Secara umum, komentar
ini benar, tetapi dalam setiap kasus yang terpisah satu harus memutuskan apakah
berlaku teks secara menyeluruh atau hanya bagian per bagian saja ayng diambil.
Sebelumnya dan bagian berikut mungkin sering kesepakatan bahwa masalah tertentu
tidak sama sekali atau hampir tidak terhubungkan dengan bagian di mana istilah
kunci terjadi. Jika hal ini tidak terjadi, karena itu, kita memiliki teks di
mana semua pikiran berhubungan erat dengan konsep yang bersangkutan. Kita harus
menentukan pada saat apa hubungan ini akan datang begitu dekat bahwa istilah
yang dikaji sebenarnya mulai datang dalam penglihatan. Saat itu mungkin menjadi
awal dari bagian yang kita ingin mengisolasi dari sisa teks. Dalam hal apapun,
akan ada titik di mana kita mulai dengan hati-hati mempertimbangkan lokasi teks
yang harus diambil.
Dengan cara ini, menjadi jelas bahwa warna lokal
dan "semangat zaman" adalah konsep saling berhubungan. Karena itu
kita boleh menyimpulkan dari data bahwa skala warna lokal memiliki dua fungsi
saling menunjuk ke semangat zaman, hingga ke detail yang indah tersebut, serta
dengan semangat zaman itu sendiri. Sejauh fungsi pertama yang bersangkutan,
warna lokal menggantikan kostum yang lebih lazim untuk "pakaian,"
telah menjadi kurang dan kurang memadai untuk menunjukkan manifestasi eksternal
dari semangat waktu. Penggantian ini perlu dibuat untuk pindah warna lokal dari
studio asli pelukis. Fungsi kedua mungkin juga telah menjadi penyebab
transformasi yang disertai langkah ini, untuk istilah pelukis adalah warna
lokal, dan ini sekarang berubah menjadi sastra (atau, dalam arti yang lebih
luas, budaya-sejarah). Istilah warna lokal mungkin dianggap sebagai refleksi
formal dari kesadaran bahwa gagasan tentang "semangat zaman" harus
mengakomodasi sejumlah besar fenomena.
Studi ini kata kunci warna lokal
telah menyebabkan klarifikasi dari sejumlah gagasan yang merupakan latar
belakang historis. Akibatnya, kita sekarang bisa berdiri lebih jelas apakah
istilah pengguna ingin menekankan pada saat meneliti beraneka ragam adegan
kehidupan dan tindakan dalam kerangka kerja sejarah yang ditampilkan kepada
pembaca. Sementara di satu pihak ada yang mencoba merekam inti dari suatu
periode. Upaya ini terlihat juga mengajarkan kita sesuatu tentang sikap
romantis sehubungan dengan sejarah, suatu sikap yang telah membuahkan hasil
yang penting bagi sastra. Selain. kita harus berhati-hati untuk tidak memiliki
bagian yang telah kami seleksi dan cetak tanpa komentar, perlu penilaian yang
bagus terhadap kerangka pemikiran yang merupakan salah satu bagian.
Dari wacana warna lokal dikumpulkan dengan cara
ini, orang menemukan bahwa mereka kadang-kadang tidak hanya mengandung warna
lokal, tetapi juga terkait istilah digunakan secara analog. Para penulis
sendiri, dari yang karya-karyanya berasal dari suatu sumber tertentu kadang-kadang,
tak terpahami. Untuk tujuan ini, mereka merekrut ekspresi sisonim yang memasok
dengan konteks terminologi. Di Prancis, istilah-istilah seperti couleurs des temps et des lieux, couleurs historiques, locales couleters
et-histor iques masih mudah dikenali.
Tapi ada juga yang menemukan lokal oerite dan des Verite eouleurs locales;
lebih lanjut, lokal teinte, coloris
lokal; akhirnya la physionomie de
Leur temps, la physionomie des siMes, particulier le cap de Sime chaque; dan la
eouleur sinon epoque 1'esprit. Istilah tersebut dalam banyak kasus lebih
tua dari warna lokal. Selama
pencarian menemukan mereka dalam teks-teks dari abad ketujuh belas dan
kedelapan belas di mana ide itu terungkap bahwa karakteristik tertentu dapat
dianggap berasal dari suatu periode. Sepanjang garis-garis ini, ia bisa pergi
jauh ke belakang dalam sejarah sebagai 1600, ia kemudian ditunjuk untuk
beberapa sejauh latar belakang historis dari istilah warna lokal. Biarpun warna
lokal itu masih problematis, dalam sastra bandingan tetap menjadi fokur kajian.
D. Latar Belakang Sastra dan Non
Sastra
Latar belakang (background)
adalah faktor yang melingkupi karya sastra. Faktor ini amat dibutuhkan dalam
teori kajian sastra bandingan. Berbagai aspek, seperti kultural, buaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya sering menjadi latar belakang lahirnya karya
sastra. Latar belakang dapat saya bagi menjadi dua golongan, yaitu: (1) latar
belakang sastra dan (2) latar belakang non sastra. Keduanya saling terkait
hingga membentuk komponen sastra yang indah.
Latar belakang sastra, biasanya
terkait dengan teks. Yakni, berupa dorongan, spirit, ketertarikan ide,
ketertarikan gaya, tipografi, dan seterusnya yang sering diikuti oleh pengarang
selanjutnya. Setiap pengarang yang memiliki latar belakang sastra banyak
(heterogin), biasanya karya-karyanya juga amat plural. Bekal sastrawan yang
cukup, banyak membaca sastra nasional, sastra dunia, sering mempengaruhi
karya-karyanya. Celakanya, latar belakang sastra itu sering halus, sulit
terdeteksi, apalagi kalau pengkaji sastra bandingan juga belum pernah membaca
karya sastra dalam jumlah besar.
Sering saya tidak dapat benar-benar memahami
larik-larik dari suatu teks sastra. Bahkan ada kalanya sampai sulit sekali
mengenal alam pikiran dan pandangan yang mendasari karya-karya sastra.
Pengarang memang insan yang melebihi kelebihan estetika dan filosofi tingkat
tinggi. Hal ini tentunya bukan sebuah wacana eksklusif dalam studi sastra
bandingan. Bahkan jika ide-ide dan pandangan internasional yang telah menjadi
milik bersama, seperti yang sering akan terjadi, sulit diikuti oleh pembaca.
Sebuah pengetahuan tentang latar belakang filosofis ilmiah, seni-kritis,
andalan keagamaan, dan sosial dari sebuah karya sastra adalah kebutuhan untuk
studi sastra bandingan.
Namun demikian sifat internasional dari suatu
fenomena sastra, terutama dari gerakan sastra, biasanya dihubungkan dengan cara
berpikir yang dominan selama periode dimana gerakan sastra itu berkembang. Oleh
karena itu, bandingan sastra sering bertentangan dengan konsep latar belakang.
Sebagai contoh untuk menunjukkan perlunya mengetahui latar belakang nonsastra
untuk memahami teks, mari kita kembali ke gagasan William Blake dalam sebuah
epigram 46, "Untuk Venesia Artists" bahwa Allah tidak menunjukkan
mewarnai Newton, tanpa garis hitam, kita semua tahu. Mungkin fabel ini sedikit
aneh hingga kita bergembira. Seekor anjing menghampiri air tanpa tahu di mana
sebuah tulang yang telah dicuri dalam mulutnya. Dia peduli, bukan apakah itu
angin utara atau selatan. Ketika ia berenang, ia melihat refleksi dari tulang.
Hal ini cukup sebagai gambaran kesempurnaan latar belakang non sastra.
Latar belakang non sastra sering berbalut dengan
latar belakang sastra, hingga sulit ditafsirkan. Tanpa bekal latar belakang
pembacaan karya sastra yang bervariasi, pengkaji sastra bandingan jelas kurang
memadai. Seorang pengkaji paling tidak diperlukan orang yang memiliki
pengetahuan luas. Studi eksplorasi dalam banyak ilmu, amat membantu untuk
memahami latar belakang non sastra. Karya sastra adalah ciptaan yang penuh
dengan aneka aspek di dalamnya.
Pengkaji sastra bandingan akan
dihadapkan pada persoalan-persoalan, apakah beberapa data yang dihadapi
memiliki keterkaitan non sastra. Keterkaitan ini, mungkin sekali hanya
sepenggal kata, wacana, bait, dan sebagainya. Oleh sebab itu, bekal yang
seyogyanya dipegang pengkaji sastra bandingan perlu banyak membaca
interdisipliner ilmu. Setahu saya, yang paling utama aspek non sastra itu
misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat, agama, moral, dan sebagainya.
Aspek non sastra ini memang memerlukan penafsiran serius.
Pengembangan sastra bandingan yang memfokuskan
latar belakang non sastra, sebenarnya cenderung ke arah sastra bandingan mazab
Amerika, bukan Eropa (Perancis). Jika Perancis cenderung merumuskan bandingan
lebih ke arah karya sastra, untuk mencermati proses kreatif, Amerika justru
membolehkan bandingan dengan bidang non sastra. Pelebaran sayap sastra
bandingan ini, memang sebuah upaya sistematis untuk meneropong seberapa jauh
muatan sastra itu.
Sastra yang oleh banyak kalangan disebut karya
kreatif, mengandung segala aspek kehidupan, berarti terbuka kemungkinan untuk
dibandingkan dengan bidang lain. Sastra bandingan menjadi semakin luas dan
tidak menutup diri. Namun perlu disadari, perkembangan ilmu antar disiplin ini
di Indonensia masih berjalan lambat. Pemerhati sastra bandingan dalam berbagai
pertemuan ilmiah, masih jarang yang mencoba membandingkan sastra dengan ilmu
sosial, agama, seni, filsafat, dan budaya.
0 komentar:
Posting Komentar