CAKUPAN KAJIAN SASTRA BANDINGAN
A. Melacak Hipogram
1. Pengertian Hipogram
Dalam buku Ensikplopedi
Sastra (1995), dijelaskan bahwa hipogram terkait dengan anagram dan paragram dan paling mudah dipahami dalam kaitannya dengan ini.
Sebuah anagram adalah proses
transposisi huruf dari sebuah kata untuk membuat kata baru atau string kata (misalnya, memberikan firman-Nya:
'kucing'; ana = gram: 'bertindak). "Anagram" juga dapat merujuk
kepada kata sehingga diturunkan dari sebuah tindakan ('act’). Secara teori
sastra anagram berhutang popularitas baru-baru ini untuk Ferdinand de Saussure
tentang anagram (publikasi yang diterbitkan secara anumerta oleh 'Jean
Starobinski) di mana ia menunjukkan bagaimana, dalam serangkaian puisi Latin,
suara mematuhi prinsip yang sama sebagai anagram, sejak suara atau huruf dari
nama yang tepat dapat ditemukan tersebar secara acak atau seluruh puisi.
Paragram adalah nama yang diberikan untuk distribusi (tipe anagrammatic dijelaskan oleh
anagram Saussure (paragram) adalah dipandang sebagai jaringan yang
menyediakan struktur teks. Struktur ini tidak biasa, bukannya linier, maka
paragrammatir. Artinya, paragram suara pertama, atau kelompok suara, tidak
mengarah kepada kedua kemudian ketiga, sebagai teks yang terbentang dari awal
sampai akhir. Sebaliknya, unsur-unsur anagrammatic
harus terdaftar di seluruh teks terhubung dalam jaringan linier non unsur ini paragrammatic hidup berdampingan dalam
ruang dan waktu meskipun ada perintah sebelum ditetapkan. Gagasan sangat suatu perintah tetap (linear atau sebaliknya) tidak relevan, karena anagram
yang merusak ketertiban oleh memisahkan dan mengisolasi elemen konstituen,
menempatkannya dalam suatu pengaturan diagram, satu di mana semua elemen yang
ada dalam hubungan langsung dengan kedua kata kunci, dan satu sama lain.
Henri Meschohnic memberikan definisi tentang
aktivitas menciptakan paragram (paragrammatism) sangat berguna, karena
menggambarkan peran sentral yang asli "kata tema." Baginya paragramma
adalah 'organisasi prosodis teks oleh difraksi lengkap atau sebagian bersuara
atau tertulis elemen dari tema kata dalam konteks dan tekstual di luar urutan
unsur-unsur dalam waktu. Julia Kristeva melihat paragrammatism adalah struktur
baru, mirip dinamis untuk persepsi dialogis Mikhail Bakhtin tentang teks sastra
menjelaskan bahwa dialogism memungkinkan terjadinya kontradiksi untuk hidup
berdampingan dalam sebuah teks, untuk itu mereka sebagai suara-suara dalam
dialog satu sama lain dalam sistem yang dinamis dan sentrifugal. Para pengkaji
teks berhadapan dengan struktur gramatik yang memungkinkan aspek kontradiktif
untuk datang ke depan, sehingga meningkatkan polifoni-teks itu.
Jauh Starobinski, hipogram itu adalah kata lain
untuk paragram atau gram Saussurean. Saussure mendefinisikannya demikian:
"hipogram yang menyoroti nama atau kata dengan cerdik ulangi suku katanya,
sehingga memberikan mode, keberadaan, menambahkan, karena itu, ke bentuk
aslinya kata itu." Selanjutnya, hipogram mengimplikasikan supremasi
bentuk, karena struktur hipogram yang ditimbulkan oleh kata-kata yang tertanam
dalam kalimat dan oleh organisasi dari kalimat-kalimat. Riffaterre
mendefinisikan hipogram sebagai teks pra-struktur budayanya, generator dari
teks puitis. Hal itu menunjukkan dimana satu fungsi puitis. Sebagai contoh,
Riffaterre melihat hubungan 'bunga' dan 'jurang’ mengacu pada bunga di tepi
jurang sebagai hipogram dalam teks berikut: "ini
bunga padang rumput yang tumbuh damai ... dalam jantung kota Paris, antara dua jalan, di tengah-tengah orang yang
lewat, toko-toko, taksi dan omnibus ... bunga ini bidang samping batu-batu
besar membuka sebuah jurang lamunan (Victor Hugo Choscs absensi). Wakil dalam dirinya tidak jurang, seperti
dalam Beberapa orang tua, tapi aliran alami, untuk dilihat semua orang. "
(Emile Zola, La Curie). Ciri khas dari hipogram tertentu adalah berlawanan dan
menghubungkan oksimoron kembali mereka untuk setara. Jadi, dalam contoh Hugo's,
tentang 'jurang' tidak negatif (gelap, neraka, seperti, jahat), namun positif;
di sini menunjukkan lamunan tak terbatas.
Penggunaan penulis sadar atau
tidak sadar dari sebuah hipogram menghasilkan matriks atau kata kunci, yang
pada gilirannya menghasilkan model (aktualisasi utama) dan serangkaian varian.
Matrik, model, dan teks adalah varian dari struktur yang pada saat mendatang, disebut
hipogram. Ketika ia akhirnya memecahkan teka-teki; semuanya menunjuk ke satu
fokus simbolis, satu matriks pemersatu, yang mengacu pada generator tekstual
disebut hipogram. Sejak hipogram ini dianggap sebagai struktur pemersatu yang
lebih dalam daripada tingkat yang berbeda manifestasi tekstual.
2. Kasus Penemuan Hipogram
Titik terpenting sastra bandingan tidak lain adalah
menemukan hipogram. Hipogram dapat diartikan sebagai “embrio” karya sastra,
yang dapat meneteaskan sekian versi teks. Hipogram merupakan inti dari teks
yang dapat mewarnai teks-teks lain. Tugas sastra bandingan adalah menemukan
hipogram, hingga dua karya sastra atau lebih dapat dipastikan berasal dari
hipogram yang sama.
Kalau kita menengok karya besar berjudul Serat Tripama tulisan KGPAA.
Mangkunagara IV, yang mengisahkan kepahlawan Karna, ini jelas bukan karya
murni. Maksudnya, karya tersebut kemungkinan berasal dari sebuah hipogram.
Karna paling tidak tokoh yang dapat ditemukan pada karya berjudul Serat Baratayuda. Karya ini pun kemungkinan
besar bersumber dari Serat Mahabarata.
Terlebih lagi ketika Bakdi Soemanto membuat cerpen berjudul Karna ataupun Moch. Nursyahid P membuat
geguritan Wengi Ing Pinggir Bengawan,
yang mengisahkan kelahiran Karna. Karya-karya tersebut dapat dilacak hipogramnya.
Semakin sering karya sastra menjadi hipogram,
semakin legitimated. Hipogram ibarat
sebuah akar sastra. Hipogram adalah unsur yang mirip dalam dua karya atau
lebih. Hipogram pula yang menjadi sasaran lacak sastra bandingan. Pada saat
kajian sastra bandingan mampu menemukan hipogram karya sastra, berarti telah
mencapai esensi, Ketika upaya menemukan hipogram, tidak boleh melupakan aspek
kesejarahan karya sastra. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebuah karya
sastra haruslah tak melupakan unsur kesejarahannya, bahkan mungkin dalam
bandingan dan konfrontasinya dengan unsur kesejarahan itu.
Dalam membandingkan satu karya
sastra dengan karya sastra yang lain, jika menggunakan teori intertekstualitas,
kita harus memahami makna hipogram.
Yang dimaksud dengan hipogram adalah
unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain)
yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan
model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya)"
(lihat Hutomo, 1987: 22). Menurut Michail Riffateree, hipogram itu dapat berupa ekspansi, yakni perluasan atau
pengembangan hipogram; konversi,
berupa pemutarbalikan hipogram atau metriknya (ibid, 1987:22). Ada lagi jenis
hipogram lain, yakni modifikasi dan ekspresi dari suatu karya. Yang pertama
berkaitan dengan tataran linguistik (manipulasi kata dan kalimat) dan
kesusasteraan (manipulasi tokoh dan plot cerita). Yang kedua, dapat berupa
intisari unsur atau episode dari hipogram. Dalam salah satu bagian disertasi Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban
(1987) karya Hutomo dinyatakan bahwa teori intertekstualitas dipergunakan untuk
mengkaji tradisi lisan (sastra lisan) dan hasilnya adalah 'cerita Sarahwulan
mengandung hiprogram legenda Sunan Kalijaga (salah seorang wali terkenal di
Jawa)'. Pelacakan hipogram ini membutuhkan memori pemahaman luas dari sebuah
cipta sastra. Pemahaman yang sepotong-sepotong, tidak akan menguntungkan bagi
orang yang melakukan bandingan.
Hipogram merupakan karya yang dijadikan dasar bagi
penulisan karya sastra lain sesudahnya (Riffaterre, 1980: 23). Hipogram adalah “induk
semang” yang melahirkan karya berikutnya. Hanya saja “induk” tersebut belum
tentu lebih hebat dari sastra yang lahir selanjutnya. Istilah hipogram
barangkali dapat diindonesiakan menjadi dasar
pijakan imajinatif walau mungkin
tak tampak secara eksplisit bagi penciptaan karya yang kemudian itu. Hipogram kadang-kadang hanya berupa setitik ide
saja, tidak begitu jelas. Maka tugas ahli sastra bandingan menemukan titik-titik
kecil itu.
Wujud hipogram mungkin berupa penerusan dan
pemerkuatan tradisi, penyimpangan dan pemberontakan tradisi, atau
pemutarbalikan esensi dan amanat karya sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Dalam
istilah lain, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan (myth of concern), sedang penyimpangan
tradisi atau konvensi sebagai mitos pembebasan (myth of freedom). Kedua unsur tersebut sebenamya merupakan suatu
hal yang "wajib" hadir dalam penulisan karya sastra karena merupakan
hal yang esensial, yaitu sesuai dengan pandangan bahwa karya sastra berada
dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, tradisi dan pembaharuan, mitos
pengukuhan dan mitos pemberontakan. Semakin ceroboh seorang sastrawan dalam bermain dengan hipogram, biasanya memudahkan
dalam sastra bandingan menemukannya. Pada saat ahli sastra bandingan
mendapatkan karya yang ceroboh tersebut, akan melahirkan komentar dan bahasan
bahwa karya yang sedang dihadapi cenderung ke arah saduran.
Dalam artikel panjang, Nurgiyantoro (1991:45-50)
mencoba melacak sebuah hipogram dengan model sastra bandingan yang disebut
interteks. Dengan mengutip ahli-ahli seperti Riffaterre dan Teeuw, dia
menyatakan persetujuannya bahwa setiap karya sastra selalu lahir dari karya
sebelumnya. Karya sebelumnya itu yang menjadi hipogram. Adanya karya yang
menjadi hipogram bagi karya yang ditulis sesudahnya berarti terjadi mitos
pengukuhan. Mitos pengukuhan ini yang menjadi perhatian utama pengkajian sastra
bandingan. Selain itu, sastra bandingan juga perlu melacak, mengapa sastrawan
begitu bebas dalam menyadap hipogram. Kelenturan seorang sastrawan bermain
imajinansi, perlu mendapat sorotan pula dalam sastra bandingan. Melalui
pengontrasan sebuah karya dengan karya-karya lain yang menjadi hipogramnya,
sesuai dengan pandangan sastra bandingan, makna karya tersebut dapat digali dan
diungkap secara lebih penuh. Karya berikutnya mungkin sekali akan mendekati
atau sebaliknya menjauhi hipogramnya.
Kaitan sastra bandingan yang berwujud hipogram
antara karya satu dengan yang lain tersebut, mungkin disadari mungkin juga tak
disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi
hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya,
menolak tradisi, atau bahkan mengingkari sama sekali konvensi yang berlaku
sebelumnya. Pendombrakan konvensi seringkali menjadi perhatian khusus bagi
sastra bandingan. Pada saat Suryanto Sastroatmodjo banyak menulis puisi dengan
gaya R Ng Ranggawarsita, tampak halus. Ketika Poer Adhie Prawoto membuat puisi
berbahasa Jawa berjudul Aku lan Dheweke,
kelihatan terpengaruh gaya Sutardji Calzoum Bachri.
Kita lihat Goenawan Moehammad juga terpengaruh
puisi Asmaradana berbahasa Jawa.
Begitu pula Subagio Sastrowardoyo, yang dengan runtut menggubah sajak Asmaradana. Belakangan Seno Gumiro
Adjidarmo juga menciptakan karya yang bernuansa Kalatidha, yang berhipogram pada karya jaman edan R Ng
Ranggawarsita. Triyanto Triwikrama menciptakan cerpen Masuk Ke Telingaku Ayah, tampaknya juga sebuah imajinasi kreatif
dari hipogram Serat Dewa Ruci.
Chairil Anwar menawarkan wawasan estetikanya sendiri yang ternyata mendapat sambutan di kalangan masyarakat luas misalnya banyak
penyair muda sesudahnya yang mengaku "berguru" pada puisi-puisinya,
sehingga kemudian menjadi konvensi. Akhirnya, pada tahun 70-an, muncul penyair
Sutarji Calzoum Bachri yang menghipogram puisi-puisi Chairil Anwar, juga dengan
menolak wawasan estetikanya yang telah mentradisi, yaitu dengan kredonya yang
bertekad ingin membebaskan kata dari belenggu makna dan tata bahasa.
Apa pun wujudnya, sesungguhnya sastrawan atau
pengarang cenderung ingin menolak hipogram. Pengarang ingin bebas dan selalu
dianggap karyanya yang paling orisinal. Setiap pengarang ingin bebas dari
jeratan estetik, terlebih kalau dikatakan mengekor, tampak ada yang alergi.
Dalam kaitannya dengan hipogram tersebut, Julia Kristiva (Culler, 1977:139),
mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks
merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Bahkan menurut hemat
saya, teks sastra berikutnya kadang terstruktur, tidak sekedar mosaik yang
tanpa tujuan. Bayangkan ketika karya besar Serat
Centhini karya Pakubuwana V ada nukilan jaman gemblung, berikut lahir pula
karya jaman edan R Ng Ranggawarsita. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang
kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks
sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berlandaskan tanggapan
pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya berupa dan mengandung
unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan
daya kreativitas sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya
yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya.
Unsur-unsur ambilan sebuah karya dari hipogramnya
yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, ideologi, dan lain-lain dapat
menghasilkan sebuah karya yang baru, bahkan mungkin sangat baru, sehingga
karenanya orang mungkin tidak mengenali atau bahkan melupakan hipogramnya
(Riffaterre, 1980: 165). Hipogram, memang, tidak mungkin bersifat komplit
terdapat dalam sebuah karya, melainkan hanya bersifat parsial yang berupa
tanda-tanda teks atau pengaktualisasian unsur-unsur tertentu ke dalam
bentuk-bentuk tertentu. Pengambilan bentuk-bentuk itu, atau derivasi
bentuk-bentuk dari karya yang dihipogram itu, dapat hanya berupa varian
leksikal, varian ortografis, varian tekstual, denotasi atau konotasi, pilihan
paradigmatis kata-kata, atau pemakaian bentuk sinonim.
Pengambilan unsur-unsur tertentu
dari karya yang menjadi hipogramnya, tidak selalu berupa pengambilan unsur
leksikal, kata, sintagma, atau wawasan dan konsep-konsep yang mirip, melainkan
dapat pula berupa sifat kontradiksinya (Teeuw, 1983: 64). Pengambilan yang
pertama bersifat meneruskan konvensi, sedangkan yang kedua bersifat
me-nyimpanginya. Kedua hal itu, penerimaan dan penyimpangan, peniruan dan
pembaharuan, sekali lagi, merupakan suatu hal yang prinsip dalam karya sastra.
Dalam penulisan karya sastra, orang membutuhkan konvensi, aturan, namun
sekaligus hal itu akan disimpanginya. Levin (Teeuw, 1984:101) bahkan mengatakan
bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Menulis
sebuah sajak, atau karya sastra pada umumnya, pengarang tidak mungkin tunduk
seratus persen pada konvensi. Pengarang yang notabene memiliki, daya
kreativitas tinggi selalu memberontak pada segala sesuatu yang telah mentradisi
dan ingin menciptakan yang baru, yang asli.
Namun, pemberontak, pembaruan yang ekstrem, yang
sama sekali meninggalkan konvensi yang ada, hanya berakibat karya yang
dihasilkan kurang dapat dipahami masyarakat, tidak komunikatif. Penyimpangan
memang "harus" dilakukan, namun hal itu hendaknya masih dalam
batas-batas tertentu. Artinya, masih ada unsur konvensi di dalamnya, sebab hal
itu berarti masih ada celah yang dapat dimanfaatkan masyarakat pembaca yang
memang telah berada dalam konvensi dan tradisi tertentu. Penyimpangan dan
pembaharuan baru dan hanya mungkin efektif jika dilaksanakan atas dasar
konvensi yang disimpanginya (Teeuw, 1984: 102). Penyimpangan dianggap sebagai
sebuah kreativitas baik disengaja maupun tidak. Penyimpangan adalah ide baru
yang dapat mengecoh studi sastra bandingan.
Prinsip sastra bandingan yang utama adalah prinsip
untuk memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya tersebut
diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang
lain. Masalah sastra bandingan lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau
jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna yang penuh dalam kontrasnya
dengan karya lain yang menjadi hipogram sebuah karya.
Mungkin saja sebuah karya mengambil hipogram lebih
dari satu karya sastra sebelumnya. Sebab, seperti dikemukakan di atas, sebuah
karya yang jadi mungkin saja "hanya" berupa mosaik kutipan dari
karya-karya lain, Namun, tentu saja, hal itu pasti diolah kembali oleh
pengarang sesuai dengan wawasan dan pandangan estetikanya, Untuk mengetahui
secara pasti unsur-unsur tertentu sebuah karya yang menghipogram pada karya sebelumnya, diperlukan analisis unsur-unsur karya itu, baik yang
dihipogram maupun yang menghipogram.
B. Memburu Afininitas, Tradisi, dan Pengaruh
Sadar atau tidak, sastra bandingan memang tidak
lepas dari kritik teks. Kritik tersebut hendak menemukan kembali keaslian teks
yang dianggap memiliki jalur keturunan. Memang dalam sastra keturunan sastra
berikutnya juga dapat dinyatakan sebagai sebuah genetika ide. Genetika yang
dipinjam dari ilmu biologi sebenarnya senada dengan istilah trah. Karya yang
berasal dari genetika yang sama, berarti satu trah, itulah karya yang se-induk.
Pada umumnya, jika kita melihat praktek sastra
bandingan, baik di negara Barat maupun di negara Timur, studi sastra bandingan
itu melandaskan diri pada afininitas,
tradisi dan pe-ngaruh. Kata afinitas itu berasal dari bahasa Latin ad (artinya, dekat) dan finis (artinya,
batas). Dalam ilmu antropologi kata afinitas diberi makna 'hubungan
kekerabatan yang terwujud karena adanya perkawinan'; dalam ilmu bahasa
diartikan 'unsur-unsur sama pada dua atau beberapa bahasa karena bahasa-bahasa
itu diturunkan dari suatu bahasa leluhur yang sama'; dan dalam ilmu biologi
mengandung makna hubungan antara jenis-jenis atau kelompok-kelompok lebih
tinggi yang didasarkan kemiripan dalam seluruh rencana strukturnya dan mengacu
ke kesamaan asal-usulnya'.
Makna kekerabatan, kesamaan unsur dan hubungan
antar jenis, dalam ilmu sastra bandingan, adalah keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalaman) karya sastra,
misalnya, unsur struktur, gaya, tema
(ide), mood (suasana yang terkandung
dalam karya sastra), dan lain-lain, yang dijadikan bahan penulisan karya
sastra. Misalnya, sewaktu penyair Goenawan Mohamad mencipta sajak dongeng
Sebelum Tidur" dan "Asmaradana", secara tidak langsung, ia
menggunakan bahan dari cerita Anglingdarma
dan Damarwulan yang berasal dari
sastra Jawa lama (lihat buku Asmaradana,
kumpulan sajak Goenawan Mohamad,1992). Bahan mentah sastra yang menjajdi
pijakan kreativitas karya berikutnya dianggap lebih asli, Namun demikian, estetika
karya yang lahir berikutnya belum tentu kalah indah dan berbobot.
Unsur tradisi, yaitu unsur yang berkaitan dengan
kesejarahan penciptaan karya sastra. Apa yang dilakukan oleh Goenawan Mohamad
dalam menulis kedua sajaknya di atas dapat pula ditempatkan ke dalam tradisi.
Artinya, secara kronologis, kedua sajak Goenawan Mohamad ini umurnya lebih muda
daripada cerita Anglingdarma dan Damarwulan. Bahkan kisah Damarwulan itu juga sempat memunculkan geguritan Jawa berjudul Nonton Minak Jingga Edan, yang saya tulis sendiri. Kisah Arya Penangsang, juga
pernah melahirkan karya geguritan Balada Arya Penangsang karya Poer Adhie
Prawoto. Bahkan Suripan Sadi Hutomo pun pernah memunculkan geguritan Balada Kleting Kuning, sebagai relfeksi
tradisi kisah sastra lisan Raden Panji. Pengarang hakikatnya sulit lepas dari
tradisi. Tradisi pula yang membesarkan nama pengarang.
Memasuki hal yang demikian ini orang lalu sampai
pada masalah pengaruh. Istilah pengaruh, sebenarnya, tidak sama dengan
istilah menjiplak, plagiat, dan epigon. Istilah-istilah ini sarat dengan nada negatif, dan tak
jarang, orang menggunakanya untuk menjatuhkan nama seseorang. Oleh karena itu
pada tahun 1962 pengarang Hamka menjadi korban fitnahan politik berhubung
romannya Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Di samping istilah-istilah yang bernilai negatif itu, masih ada istilah lain
yang perlu diketahui, yakni istilah adaptasi,
saduran, terjemahan dan transformasi. Istilah-istilah ini
bernilai positif.
Sastra, sebenarnya, tidak lahir dari kekosongan. Begitulah
kata kunci sastra bandingan, yang juga diamini oleh dedengkot sastra bandingan
Corstius (1968:178) Dia membahasa konsep pengaruh secara panjang lebar, yang
intinya pengarang tidak mungkin “nol besar” imajinasinya. Yang dilahirkan
adalah sebuah ide, yang mungkin terpengaruh oleh karya sebelumnya. Pengarang
dalam mencipta karangan tentu dipengaruhi oleh alam sekitar (masyarakat,
kebudayaan, bahasa, dan karya-karya sebelumnya). Oleh karena itu, pengaruh itu
tidak bernilai negatif, sepanjang pengaruh itu dapat dicernakan dalam karya
sastra. Di samping itu kita harus menyadari pula bahwa apa yang dinamakan literary relationship', sebagaimana
dikatakan oleh Claudio Guillen, bukanlah pengaruh. Dengan begitu benarlah yang
dikatakan oleh Budi Darma bahwa "Olenka
yang saya tulis juga berbeda dengan Olenka yang ditulis.
oleh Chekhov". Nama Olenka adalah nama sesungguhnya dari tokoh
Olga Semyonovna dalam cerita pendek .
"The Darling" karya Anton P. Chekhov. Dalam menulis novel Olenka pengarang Budi parma tidak
menyadarinya bahwa ia telah menggunakan nama Olenka dari cerita pendek Anton P. Chekhov untuk judul novelnya.
Bahkan kalau saya perhatikan cerpen Dananrto berjudul Abracadabra pun
sebenarnya mirip sekali dengan tipografi puisi AA Cummings. Hal semacam ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara karya sastra satu dengan yang lain. Soal pengaruh, bagi Haskel Block,
merupakan hal yang penting dan ia dapat disamakan dengan metodologi studi
sastra bandingan sendiri, sebab ia menyangkut sumber-sumber ins-pirasi pengarang,
hubungan antar pengarang, dan lain-lain. Untuk melaksanakan studi pengaruh,
barangkali, ada baiknya jika kita menyempatkan diri memahami teori intertekstualitas. Sebagaimana pernah dikatakan di muka bahwa
sastra lahir bukan: dari 'kekosongan'
maka benarlah jika dikatakan bahwa karya sastra (sebagai teks) ia 'menyimpan berbagai teks di dalamnya" , atau,
"merupakan serapan atau hasil transformasi dari teks lain". Karya
sastra merupakan “barisan teks” lain, yang langsung maupun tidak ikut
memperindah estetika. Selain pembaca menjadi lebih mudah mengingat, sastrawan
juga mudah terangkat namanya.
Dengan demikian antara afinitas, tradisi, dan pengaruh sulit dilepaskan. Ketiganya
terlilit halus dalam cipta sastra. Ketiganya banyak menggoda ahli sastra bandingan.
Justru ada tiga unsur itu, pekerjaan sastra bandingan semakin riuh dan unik.
Hanya ahli yang menyadari pentingnya menelusuri jejak afinitas atau genetika teks, baru akan menemukan tradisi sastra di
suatu jaman. Tradisi teks itu ternyata cenderung terpengaruh satu sama lain.
Mungkin sekali pengarang terpengaruh oleh satu atau lebih karya sebelumnya,
sehingga membutuhkan kecermatan dalam studi sastra bandingan.
Tradisi kadang-kadang beruntun, dari jaman ke jaman
tidak berubah. Misalnya tradisi sastra wulang, telah menjadi afinitas dan konsep pengaruh dari
karya-karya sastra bergenre tembang lainnya di tanah air. Tradisi sastra lisan
dengan lagu nina bobok, telah menjadi afinitas
dan pengaruh lahirnya karya-karya sastra lain, terutama dongeng-dongeng sebelum tidur. Dalam konteks sastra lisan ini
amat rentan pengaruh satu dengan yang lain, sebab setiap pendengaran pengarang
sering berbeda. Hal ini memungkinkan aneka ragam karya yang unik, sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah
kang kalantur sering berubah menjadi
sekar gambuh ping catur kang kacatur solah kang kalantur. Berbagai
perubahan teks itu sering memunculkan
makna yang berbeda-beda.
Jadi memburu afinitas,
tradisi, dan pengaruh amat memungkinkan hasil sastra bandingan semakin
berbobot. Melalui tiga hal itu persinggungan antar karya sastra akan nampak.
Semakin banyak memuat tiga unsur itu memandai bahwa karya sastra yang
dibandingkan semakin unik dan menarik. Apabila persentuhan karya sastra semakin
banyak muncul, maka godaan bagi pengkaji untuk menentukan langkah strategis.
Keberhasilan seorang pengkaji melacak tiga hal itu semakin mendorong pula seorang pengkaji untuk melakukan pendalaman.
Ketiganya saling terkait membentuk suatu elemen sastra yang unik.
C. Kajian Konsep Pengaruh
Titik perhatian utama dalam kajian sastra bandingan
adalah untuk melihat adanya hubungan atau keterkaitan baik antara karya sastra
dengan karya sastra maupun antara karya sastra dengan disiplin ilmu
pengetahuan, agama/kepercayaar ataupun karya-karya seni. Namun, pengertian kata
hubungan atau kaitan di sini tidak berarti harus memiliki data historis.
Hubungan atau kaitan ini dapat hanya bersifat tekstual yakni adanya persamaan-persamaan dari dua karya sastr;
atau lebih yang semata mata berdasarkan teks karya-karya tersebut, atau
bersifat historis-faktual, yakni hubungan yan; terjadi berdasarkan kenyataaan
yang bersifat historis misalnya ada bukti-bukti bahwa seorang penulis memilik
hubungan, baik melalui surat menyurat maupun kontal langsung, dengan seorang
penulis lainnya, ataupun i~ diketahui telah membaca karya sastra yang mempe
ngaruhinya. Oleh karena itu, secara garis besar, kajian sastra bandingan
memiliki dua bentuk kajian, yakni : (a) Kajian Kesamaan (affinity), dan (b)
Kajian Pengaruh (influence).
Kedua bentuk kajian tersebut masing-masing memiliki
manfaat tersendiri. Pada kajian kesamanan, meskipun tidak dijumpai adanya
pengaruh mempengaruhi dalam karya-karya sastra yang dibahas, namun adanya
persamaan-persamaan yang terdapat dalam. karya karya yang berbeda latar
belakang kebudayaannya itu mungkin akan . m,enimbulkan dorongan kepada si
penelaah untuk melakukan kajian lebih lanjut, yakni untuk mengetahui mengapa
muncul persamaan-persamaan tersebut. Apakah ada latar belakang buah pikiran
filsafat, agama, lingkungan hidup yang bersamaan sehingga tercipta karya-karya
sastra yang memiliki berbagai persamaan pula.
Kajian pengaruh memiliki berbagai manfaat pula,
antara lain kita mungkin mengetahui bagaimana suatu unsur sastra atau buah
pikiran diserap oleh pengarang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbeda serta mengapa ada penyimpangan-penyimpangan dari bentuk aslinya. Sudah
tentu kajian pengaruh ini lebih rumit karena membuktikan adanya pengaruh
sebaiknya berdasarkan data historis-faktual.
Memang sering ada anggapan bahwa
persamaan-persamaan yang dijumpai pada karya-karya sastra atau buah pikiran
yang ditelaah tidak menunjukkan adanya pengaruh, mempengaruhi (hubungan historis-faktual), melainkan terjadi secara
kebetulan. Karena itu kaitan yang ada hanya bersifat tekstual. Kesamaan ini
menurut Aldridge (1969 : 3) adalah, "Persamaan-persamaan
dalam stilistika, struktur, suasana, atau buah pikiran di antara dua karya yang
tidak memiliki kaitan". Menurut pandangan saya, apa pun yang muncul
sebagai persamaan, bahkan ideologi
pun tetap merupakan pengaruh. Maka pengaruh dalam karya sastra dapat saya
bedakan menjadi dua: (a) pengaruh besar (langsung) dan (b) pengaruh kecil (tak
langsung). Kedua pengaruh itu, tetap merupakan unsur varian yang menarik
dicermati.
Sebenarnya kajian kesamaan tidak hanya terbatas
pada dua karya sastra saja, mungkin jumlahnya lebih, dan tidak hanya menyangkut
antara karya sastra, melainkan juga antara karya sastsa dengan bidang-bidang
lain. Studi kesamaan tidak selalu harus sampai pada jawaban terhadap
pertanyaan, 'Mengapa ada persamaan-persamaan? Sering bentuk kajian ini
dilakukan dengan hanya membandingkan dua sajak saja, misalnya, dan mencari
persamaan-persaman pada kedua sajak tersebut tanpa melakukan kajian lebih
lanjut untuk mengetahui penyebab adanya persamaan-persamaan tersebut. Kajian
seperti ini tentu jauh lebih sederhana dan mudah, namun ada kritik terhadap
bentuk kajian ini karena dianggap terlalu bergantung pada subjektivisme
penelaahnya (Aldridge, 1969 : 5). Sesungguhnya tidak selalu demikian, asalkan
penguasaan teori analisis lebih mapan, persamaan-persamaan itu tetap dapat
dirunut sebab-musababnya.
Contoh studi kesamaan yang berhasil menjejaki lata
belakang munculnya persaman-persamaan dari dua karya yang tidak memiliki hubungan
sama sekali adalah kajian yang dilakukan oleh Calvin S Brown (dalam Jost, 1974
: 39). Brown melihat adanya persamaan-persamaan antara saga kaum Viking dari
Eropa Utara dengan saga kaum Polynesia dan Lautan Teduh. Berbagai persamaan
tersebut sudah pasti bukan sebagai akibat adanya pengaruh mempengaruhi antara
kedua suku bangsa tersebut. Tidak mungkin kaum Viking pada kurun waktu abad ke
8-13 telah mengenal dan berhubungan dengan kaum polynesia demikian pula
sebaliknya, Oleh karena itu berbagai persamaan yang ada hanya terjadi secara
kebetulan. Mereka memiliki persamaan-peramaan dalam cara hidup dan lingkungan,
yakni sebagai pelaut yang berani, hidup di dekat pantai, dan suka mengembara,
sehingga mereka menciptakan saga-saga yang bersamaan pula.
Studi kesamaan sering pula disebut dengan pengaruh
palsu (false influence). Munculnya
istilah ini disebabkan para kritikus yang pada mulanya beranggapan bahwa
karya-karya yang mereka bandingkan memiliki kaitan satu sama lainnya, yakni ada unsur
pengaruh mempengaruhi, ternyata mendapatkan kenyataan bahwa karya-karya
tersebut tidak memiliki kaitan sama sekali. Pengaruh palsu ini pernah
digambarkan oleh Van Tieghem (dalam Weisstein, 1973 : 38-39) dengan memberikan
dua contoh. Contoh yang pertama adalah mengenai hubungan antara Hendrik Ibsen,
penulis karya drama Norwegia, dengan George Sand (Inggris). Menurut Jules
Lemaitre pada tahun 1895), Hendrik Ibsen udak menunjukkan keaslian dalam karya
karyanya karena buah pikirannya tentang gambaran moral dan sosial dapat dijumpai
dalam karya-karya George Sand. Namun anggapan ini dibantah oleh Georg Brandes,
seorang kritikus Denmark. Brendes menyatakan secara pasti bahwa Hendrik Ibsen
tidak pernah membaca karya-karya George Sand. Oleh karena itu tidak ada unsur
pengaruh mempengaruhi dalam kasus ini. Demikian pula dalam kasus Alphonse
Daudet, penulis Perancis, dengan Charles Dickens, penulis Inggris. Karya
Daudet, La Petite Che dianggap sebagai peniruan karya Charles Dickens. Namun,
Daudet menyangkal pernah membaca karya-karya Charles Dickens. Terlepas dari
benar atau tidaknya sangkalan yang dikemukakan oleh Georg Brandes dan Alphonse
Daudet di atas, kita harus mengakui bahwa sesing terjadi persamaan-persamaan
dalam karya-karya sastra disebabkan oleh faktor kebetulan.
Dalam bukunya Introduction
to the Comparative study of Literature, Jan Brandt Corstius menggambarkan
hasil pengamatan Maja Goth tentang karya karya kaum Surrealist dan Frans Kafka.
Dia melihat banyaknya persamaan dalam karya-karya mereka sehingga pada mulanya
beranggapan ada unsur Pengaruh mempengaruhi di antara mereka. Namun setelah
ditelitinya lebih lanjut, ternyata bahwa persamaan- persamaan tersebut hanyalah
disebabkan oleh 'semangat jaman' itu. Semangat jaman kadang-kadang mengecoh
dalam sastra bandingan. Oleh sebab itu, komparatis perlu hati-hati menyikapi
konsep pengaruh.
Dari dua bentuk kajian tersebut, kesamaan dan
pengaruh, kelihatan bahwa kajian pengaruh lebih rumit da luas dari pada kajian
kesamaan, namun merupakan bentuk kajian yang penting. Hal ini dikatakan oleh
Ulrich Weisstein (1973 : 29) sebagaimana diungkapkannya bahwa, 'Pendapat tentang pengaruh haruslah
dipandang sebagai konsep utama dalam sastra bandingan, karena hal tersebut menunjukan adanya dua entiti yang
berbeda dan karena itu dapat dibandingkan; karya dari mana pengaruh ini bermula
dan kepada siapa pengaruh itu ditujukan".
Suatu karya sastra ataupun genre
sastra yang dipengaruhi tentunya tidak seluruhnya sama dengan karya yang
mempengaruhinya. Ada kemungkinan beberapa unsur sastra yang dengan kondisi
setempat. Hal ini dapat kita lihat apabila kita mencoba untuk membandingkan
soneta Indonesia dengan, misalnya, soneta Eropa Barat dari sudut studi genre (genre study). Sebagai salah satu bentuk
tetap (fixed form) dari genre puisi,
soneta memiliki aturan-aturan tertentu. Namun, berbeda dengan bentuk soneta
yang telah dikenal secara umum, seperti bentuk Petrarch, Shakespeare, Spencer,
ataupun Perancis, karya soneta yang diciptakan para penyair Indonesia pada masa
lalu tidak memperhatikan jumlah suku kata pada setiap baris. Satu baris
kadang-kadang sangat panjang, misalnya sampai enam belas suku kata, sedangkan
pada baris lairmya mungkin sangat pendek.
Kata 'pengaruh' menunjukkan adanya sesuatu yang
berasal dari pemikiran orang lain yang diambil dan dipergunakan, secara sadar
ataupun tidak, oleh seorang lainnya. Oleh karena itu, kita dapat menyatakan
bahwa pengaruh itu ada apabila kita dapat membuktikan ada sesuatu unsur"
dari luar atau sesuatu yang berasal dari karya sastra atau pemikiran orang lain
pada karya sastra yang dipengaruhi itu, sesuatu yang kita ketahui tidak
terdapat pada tradisi sastra bangsanya dan pada perkembangan karya sastranya
sendiri. Pembuktian ini lebih menunjukkan keabsahannya apabila bernilai
historis, tidak hanya berdasarkan fakta testual. Oleh karena itu ada beberapa
hal yang mungkin dapat membantu kita dalam kajian mengenai pengaruh ini, yakni
: (1) Menjejaki perkembangan karir sang pengarang, (2) Menjejaki proses
penciptaan karya sastranya, (3) Mengetahui tradisi sastra dan nilai budaya
pengarang tersebut.
Ketiga hal di atas akan membantu kita untuk
mengetahui dengan jelas dan memberikan keyakinan kepada kita bahwa berbagai
persamaan yang kita jumpai dalam beberapa karya yang kita teliti memang bukan
karena kebetulan, melainkan karena ada unsur pengaruh mempengaruhi.
Pengaruh mempengaruhi dalam dunia kesusasteraan
merupakan suatu hal yang biasa dan umum terjadi. Yang dipengaruhi bukan hanya
para pengarang yang kurang terkenal, tetapi juga pengarang yang telah diakui
kebesarannya. Shakespeare sendiri, misalnya, pernah memanfaatkan
ungkapan-ungkapan penulis Perancis, Montaigne (lihat di 4.1.4). sering kesan
yang begitu mendalam datang dari satu karya sastra sehingga tidak dapat
dihindari pengaruh dan secara sadar atau tidak karya tersebut akan tercermin
dalam karya seorang pengarang lain yang pernah membaca karya yang mengesankan
tersebut. Karya yang terpeng; belum tentu rendah mutunya dan seperti kasus Shakespeare tersebut, karya itu mungkin saja menjadi
terkenal di belakang hari.
Dalam sejarah kesusasteraan, selain George Eliot
Shakespeare yang diketahui telah terpengaruh oleh Keller Montaigne, seorang
pengarang Inggris terkenal lainnya, J Milton, juga mengalami hal yang sama.
Karyanya yang monumental, Paradise Lost, telah dinyatakan bukan merupakan karya
yang seluruhnya miliknya sendiri karya pengarang tersebut mengambil bahan
cerita dari berbagai sumber. Meskipun para pengarang di atas mendapat pengaruh
dari para pengarang lainnya, namun mereka memiliki cara penyampaian masing-masing
sehingga apa yang mereka persembahkan merupakan karya-karya yang identik dengan
personalitas mereka. Dengan keunikan gaya penyampaian masing-masing, Para
Pengarang tersebut berhasil menciptakan kesan bahwa karya karya mereka adalah
benar-benar milik mereka sendiri. Oleh karena itu, kita dapat membenarkan apa
yang telah dikatakan oleh Shaw (dalam Weisstein, 1973: 31-32)
mengenai pengertian pengaruh yakni "Beriawanan
dengan peniruan, Pengaruh menunjukkan
bahwa pengarang yang dipengaruhi menghasilkan karya yang pada dasarnya adalah
miliknya sendiri".
Kajian pengaruh merupakan kajian yang paling rumit,
namun paling bermanfaat dalam sastra bandingan. Dalam kajian ini kita dapat
melihat unsur-unsur apa yang telah diambil, apa yang telah dirobah, dan apa pula
yang telah ditolak. Demikian pula bagaimana hubungannya dengan latar belakang
sosial politik karya karya yang dibandingkan itu. Namun, untuk menetapkan bahwa
seorang pengarang itu telah dipengaruhi oleh seorang pengarang lainnya,
kadang-kadang tidak cukup hanya menelaah karya karya sastra yang mempengaruhi
dan dipengaruhi itu saja.
Kajian pengaruh, menurut Guillen (1971: 38-39)
harus bermula dari kajian mengenai asal-usul suatu karya (genesis of a work) dan kajian ini harus berpegang pada pengetahuan
dan penafsiran dari komponen-komponen yang menyangkut asal usul karya tersebut.
Karena itu, untuk menetapkan kemungkinan adanya pengaruh dari suatu karya
terhadap karya lainnya, kajian ini tidak hanya dilakukan dengan membandingkan
kedua karya itu saja. Menetapkan suatu pengaruh berarti membuat penetapan
nilai, bukan mengukur fakta. Adalah penting untuk mengevaluasi fungsi dan
cakupan efek suatu karya terhadap suatu karya lainnya Suatu kajian pengaruh, apabila dilaksanakan dengan
baik, akan berisikan dua fase kegiatan yang berbeda. Langkah pertama, seperti
yang telah disebutkan di atas, merupakan penelaahan dan penafsiran fenomena genetik (asal usul), sedangkan
langkah yang kedua merupakan kajian yang bersifat tekstual dan komparatif,
namun kajian kedua ini berhubungan dengan parallelisme (persamaan-persamaan
berdasarkan teks). Para komparatis sering mengabaikan kajian langkah pertama
tersebut padahal kajian inilah yang dapat menyimpulkan adanya pengaruh dari
suatu karya terhadap suatu karya lainnya. Langkah yang kedua termasuk kajian
yang mengevaluasi relevansi atau fungsi genetik dari efek yang muncul. Hasil
kajian ini secara keseluruhan akan memperlihatkan bahwa fungsi genetik
menggambarkan dampak, sedangkan fungsi tekstual menggambarkan parallelisme.
Studi pengaruh ada dua metode yang perlu
diterapkan, yaitu:
(1) peneliti menekankan masalahnya dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau sastrawan yang mempengaruhi,
(2) peneliti memfokuskan pada masalah tema, genre, gaya dan gagasan saja.
Yang patut dicamkan, menurut Jost (Damono, 2005:10) telaah sumber tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti kesimpulan mengenai kualitas intelektual, kandungan emosi, dan hakikat estetik suatu karya. Dalam kajian pengaruh diperlukan data yang memberikan informasi, terutama, tentang pengarang yang dipengaruhi. Informasi ini misalnya, berkaitan dengan perjalanan ke luar negeri yang pernah dilakukannya, bahasa-bahasa yang dikuasainya, buku-buku yang pernah beredar di negerinya dan yang pernah dibacanya, serta surat menyurat yang pern; dilakukannya dengan pengarang asing. Semua informasi ini akan bermanfaat dalam menelaah fenomena genetik di atas dan biasanya diperoleh melalui biografi, surat menyurat, dan catatan harian dari pengarang yang bersangkutan.
(1) peneliti menekankan masalahnya dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau sastrawan yang mempengaruhi,
(2) peneliti memfokuskan pada masalah tema, genre, gaya dan gagasan saja.
Yang patut dicamkan, menurut Jost (Damono, 2005:10) telaah sumber tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti kesimpulan mengenai kualitas intelektual, kandungan emosi, dan hakikat estetik suatu karya. Dalam kajian pengaruh diperlukan data yang memberikan informasi, terutama, tentang pengarang yang dipengaruhi. Informasi ini misalnya, berkaitan dengan perjalanan ke luar negeri yang pernah dilakukannya, bahasa-bahasa yang dikuasainya, buku-buku yang pernah beredar di negerinya dan yang pernah dibacanya, serta surat menyurat yang pern; dilakukannya dengan pengarang asing. Semua informasi ini akan bermanfaat dalam menelaah fenomena genetik di atas dan biasanya diperoleh melalui biografi, surat menyurat, dan catatan harian dari pengarang yang bersangkutan.
Apa yang dibicarakan di atas hanya terbatas pada
kajian dua karya sastra saja. Kajian mengenai pengaruh ini mungk dapat
diperluas dengan melibatkan beberapa karya sastra dan beberapa . orang
pengarang atau karya-karya yang teimast dalam satu aliran. Namun, makin luas ruang
lingkup kajian tentu masin rumit kajian yang dilakukan karena menyangkut
banyaknya informasi yang diperlukan.
Pengaruh dapat bersifat langsung (direct influence) maupun tidak langsung
(indirect influence). Pada pengaruh
langsung, pengarang yang dipengaruhi mengambil sumbernya langsung dari pengarang aslinya (disebut transmitter) sedangkan pada pengaruh tidak langsung pengarang yang
dipengaruhi itu mengambil sumber karyanya dari seorang lain yang telah
dipengaruhi pula oleh pengarang aslinya, atau dengan kata lain dia mengambd
sumbeinya melalui seorang perantara yang biasa disebut dengan intermediary. Peranan seorang perantara ini menjadi penting karena perantara itu mungkin dapat memberikan
kejelasan mengenai pengambilan dan penyimpangan-penyimpangan pada karya-karya
yang dipengaruhi dari karya aslinya. Pengarang yang dipengaruhi biasa disebut receiver (penerima).
Pengaruh dapat pula datang dari seorang yang bukan
merupakan penulis karya-karya sastra, misalnya dari seorang pemikir sosial atau
filosof. Pengaruh ini biasanya tercermin dalam bentuk buah pikiran yang
kelihatan dalam isi ata pokok pembicaraan suatu karya; bukannya dalam genre
atau stilistika. Kalau demikian, konsep pengaruh itu dapat dapat secara:
(a) tiba-tiba, sebagai refleksi memori seseorang dan
(b) endapan pemikiran lama.
Kedua pengaruh yang mungkin berasal dari tokoh, buku penting, dan karya sastra lain, perlu dikemukakan. Studi pengaruh dalam karya sastra juga dapat menekankan beberapa hal, yaitu: (1) adakah peminjaman langsung, atau sekedar mengubah-ubah sedikit, (2) bagaimana pengaruh budaya asal, akar budaya, yang sudah inheren dalam diri pengarang, (3) adakah pengaruh negatif yang berupa penolakan pengarang terhadap ide lain, (4) penghayatan kreatif, yang memungkinkan pengarang tidak begitu jelas, apakah menterjemahkan atau menyadur. Doktrin penting sastra bandinga yaitu menemukan titik terang pada keempat itu, agar keterkaitan antar teks dapat dijelaskan secara proporsional.
(a) tiba-tiba, sebagai refleksi memori seseorang dan
(b) endapan pemikiran lama.
Kedua pengaruh yang mungkin berasal dari tokoh, buku penting, dan karya sastra lain, perlu dikemukakan. Studi pengaruh dalam karya sastra juga dapat menekankan beberapa hal, yaitu: (1) adakah peminjaman langsung, atau sekedar mengubah-ubah sedikit, (2) bagaimana pengaruh budaya asal, akar budaya, yang sudah inheren dalam diri pengarang, (3) adakah pengaruh negatif yang berupa penolakan pengarang terhadap ide lain, (4) penghayatan kreatif, yang memungkinkan pengarang tidak begitu jelas, apakah menterjemahkan atau menyadur. Doktrin penting sastra bandinga yaitu menemukan titik terang pada keempat itu, agar keterkaitan antar teks dapat dijelaskan secara proporsional.
0 komentar:
Posting Komentar