Pages

Selasa, 14 Mei 2019

SASTRA BANDINGAN 6. CAKUPAN KAJIAN SASTRA BANDINGAN



CAKUPAN KAJIAN SASTRA BANDINGAN


A. Melacak Hipogram

1. Pengertian Hipogram

Dalam buku Ensikplopedi Sastra (1995), dijelaskan bahwa hipogram terkait dengan anagram dan paragram dan paling mudah dipahami dalam kaitannya dengan ini. Sebuah anagram adalah proses transposisi huruf dari sebuah kata untuk membuat kata baru atau string kata (misalnya, memberikan firman-Nya: 'kucing'; ana = gram: 'bertindak). "Anagram" juga dapat merujuk kepada kata sehingga diturunkan dari sebuah tindakan ('act’). Secara teori sastra anagram berhutang popularitas baru-baru ini untuk Ferdinand de Saussure tentang anagram (publikasi yang diterbitkan secara anumerta oleh 'Jean Starobinski) di mana ia menunjukkan bagaimana, dalam serangkaian puisi Latin, suara mematuhi prinsip yang sama sebagai anagram, sejak suara atau huruf dari nama yang tepat dapat ditemukan tersebar secara acak atau seluruh puisi.

Paragram adalah nama yang diberikan untuk distribusi (tipe anagrammatic dijelaskan oleh anagram Saussure (paragram) adalah dipandang sebagai jaringan yang menyediakan struktur teks. Struktur ini tidak biasa, bukannya linier, maka paragrammatir. Artinya, paragram suara pertama, atau kelompok suara, tidak mengarah kepada kedua kemudian ketiga, sebagai teks yang terbentang dari awal sampai akhir. Sebaliknya, unsur-unsur anagrammatic harus terdaftar di seluruh teks terhubung dalam jaringan linier non unsur ini paragrammatic hidup berdampingan dalam ruang dan waktu meskipun ada perintah sebelum ditetapkan. Gagasan sangat suatu perintah tetap (linear atau sebaliknya) tidak relevan, karena anagram yang merusak ketertiban oleh memisahkan dan mengisolasi elemen konstituen, menempatkannya dalam suatu pengaturan diagram, satu di mana semua elemen yang ada dalam hubungan langsung dengan kedua kata kunci, dan satu sama lain.
Henri Meschohnic memberikan definisi tentang aktivitas menciptakan paragram (paragrammatism) sangat berguna, karena menggambarkan peran sentral yang asli "kata tema." Baginya paragramma adalah 'organisasi prosodis teks oleh difraksi lengkap atau sebagian bersuara atau tertulis elemen dari tema kata dalam konteks dan tekstual di luar urutan unsur-unsur dalam waktu. Julia Kristeva melihat paragrammatism adalah struktur baru, mirip dinamis untuk persepsi dialogis Mikhail Bakhtin tentang teks sastra menjelaskan bahwa dialogism memungkinkan terjadinya kontradiksi untuk hidup berdampingan dalam sebuah teks, untuk itu mereka sebagai suara-suara dalam dialog satu sama lain dalam sistem yang dinamis dan sentrifugal. Para pengkaji teks berhadapan dengan struktur gramatik yang memungkinkan aspek kontradiktif untuk datang ke depan, sehingga meningkatkan polifoni-teks itu.

Jauh Starobinski, hipogram itu adalah kata lain untuk paragram atau gram Saussurean. Saussure mendefinisikannya demikian: "hipogram yang menyoroti nama atau kata dengan cerdik ulangi suku katanya, sehingga memberikan mode, keberadaan, menambahkan, karena itu, ke bentuk aslinya kata itu." Selanjutnya, hipogram mengimplikasikan supremasi bentuk, karena struktur hipogram yang ditimbulkan oleh kata-kata yang tertanam dalam kalimat dan oleh organisasi dari kalimat-kalimat. Riffaterre mendefinisikan hipogram sebagai teks pra-struktur budayanya, generator dari teks puitis. Hal itu menunjukkan dimana satu fungsi puitis. Sebagai contoh, Riffaterre melihat hubungan 'bunga' dan 'jurang’ mengacu pada bunga di tepi jurang sebagai hipogram dalam teks berikut: "ini bunga padang rumput yang tumbuh damai ... dalam jantung kota Paris, antara dua jalan, di tengah-tengah orang yang lewat, toko-toko, taksi dan omnibus ... bunga ini bidang samping batu-batu besar membuka sebuah jurang lamunan (Victor Hugo Choscs absensi). Wakil dalam dirinya tidak jurang, seperti dalam Beberapa orang tua, tapi aliran alami, untuk dilihat semua orang. " (Emile Zola, La Curie). Ciri khas dari hipogram tertentu adalah berlawanan dan menghubungkan oksimoron kembali mereka untuk setara. Jadi, dalam contoh Hugo's, tentang 'jurang' tidak negatif (gelap, neraka, seperti, jahat), namun positif; di sini menunjukkan lamunan tak terbatas.

Penggunaan penulis sadar atau tidak sadar dari sebuah hipogram menghasilkan matriks atau kata kunci, yang pada gilirannya menghasilkan model (aktualisasi utama) dan serangkaian varian. Matrik, model, dan teks adalah varian dari struktur yang pada saat mendatang, disebut hipogram. Ketika ia akhirnya memecahkan teka-teki; semuanya menunjuk ke satu fokus simbolis, satu matriks pemersatu, yang mengacu pada generator tekstual disebut hipogram. Sejak hipogram ini dianggap sebagai struktur pemersatu yang lebih dalam daripada tingkat yang berbeda manifestasi tekstual.

2. Kasus Penemuan Hipogram

Titik terpenting sastra bandingan tidak lain adalah menemukan hipogram. Hipogram dapat diartikan sebagai “embrio” karya sastra, yang dapat meneteaskan sekian versi teks. Hipogram merupakan inti dari teks yang dapat mewarnai teks-teks lain. Tugas sastra bandingan adalah menemukan hipogram, hingga dua karya sastra atau lebih dapat dipastikan berasal dari hipogram yang sama.
Kalau kita menengok karya besar berjudul Serat Tripama tulisan KGPAA. Mangkunagara IV, yang mengisahkan kepahlawan Karna, ini jelas bukan karya murni. Maksudnya, karya tersebut kemungkinan berasal dari sebuah hipogram. Karna paling tidak tokoh yang dapat ditemukan pada karya berjudul Serat Baratayuda. Karya ini pun kemungkinan besar bersumber dari Serat Mahabarata. Terlebih lagi ketika Bakdi Soemanto membuat cerpen berjudul Karna ataupun Moch. Nursyahid P membuat geguritan Wengi Ing Pinggir Bengawan, yang mengisahkan kelahiran Karna. Karya-karya tersebut dapat dilacak hipogramnya.

Semakin sering karya sastra menjadi hipogram, semakin legitimated. Hipogram ibarat sebuah akar sastra. Hipogram adalah unsur yang mirip dalam dua karya atau lebih. Hipogram pula yang menjadi sasaran lacak sastra bandingan. Pada saat kajian sastra bandingan mampu menemukan hipogram karya sastra, berarti telah mencapai esensi, Ketika upaya menemukan hipogram, tidak boleh melupakan aspek kesejarahan karya sastra. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebuah karya sastra haruslah tak melupakan unsur kesejarahannya, bahkan mungkin dalam bandingan dan konfrontasinya dengan unsur kesejarahan itu.

Dalam membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra yang lain, jika menggunakan teori intertekstualitas, kita harus memahami makna hipogram. Yang dimaksud dengan hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya)" (lihat Hutomo, 1987: 22). Menurut Michail Riffateree, hipogram itu dapat berupa ekspansi, yakni perluasan atau pengembangan hipogram; konversi, berupa pemutarbalikan hipogram atau metriknya (ibid, 1987:22). Ada lagi jenis hipogram lain, yakni modifikasi dan ekspresi dari suatu karya. Yang pertama berkaitan dengan tataran linguistik (manipulasi kata dan kalimat) dan kesusasteraan (manipulasi tokoh dan plot cerita). Yang kedua, dapat berupa intisari unsur atau episode dari hipogram. Dalam salah satu bagian disertasi Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban (1987) karya Hutomo dinyatakan bahwa teori intertekstualitas dipergunakan untuk mengkaji tradisi lisan (sastra lisan) dan hasilnya adalah 'cerita Sarahwulan mengandung hiprogram legenda Sunan Kalijaga (salah seorang wali terkenal di Jawa)'. Pelacakan hipogram ini membutuhkan memori pemahaman luas dari sebuah cipta sastra. Pemahaman yang sepotong-sepotong, tidak akan menguntungkan bagi orang yang melakukan bandingan.

Hipogram merupakan karya yang dijadikan dasar bagi penulisan karya sastra lain sesudahnya (Riffaterre, 1980: 23). Hipogram adalah “induk semang” yang melahirkan karya berikutnya. Hanya saja “induk” tersebut belum tentu lebih hebat dari sastra yang lahir selanjutnya. Istilah hipogram barangkali dapat diindonesiakan menjadi dasar pijakan imajinatif walau mungkin tak tampak secara eksplisit bagi penciptaan karya yang kemudian itu. Hipogram kadang-kadang hanya berupa setitik ide saja, tidak begitu jelas. Maka tugas ahli sastra bandingan menemukan titik-titik kecil itu.

Wujud hipogram mungkin berupa penerusan dan pemerkuatan tradisi, penyimpangan dan pemberontakan tradisi, atau pemutarbalikan esensi dan amanat karya sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan (myth of concern), sedang penyimpangan tradisi atau konvensi sebagai mitos pembebasan (myth of freedom). Kedua unsur tersebut sebenamya merupakan suatu hal yang "wajib" hadir dalam penulisan karya sastra karena merupakan hal yang esensial, yaitu sesuai dengan pandangan bahwa karya sastra berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, tradisi dan pembaharuan, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan. Semakin ceroboh seorang sastrawan dalam bermain dengan hipogram, biasanya memudahkan dalam sastra bandingan menemukannya. Pada saat ahli sastra bandingan mendapatkan karya yang ceroboh tersebut, akan melahirkan komentar dan bahasan bahwa karya yang sedang dihadapi cenderung ke arah saduran.
Dalam artikel panjang, Nurgiyantoro (1991:45-50) mencoba melacak sebuah hipogram dengan model sastra bandingan yang disebut interteks. Dengan mengutip ahli-ahli seperti Riffaterre dan Teeuw, dia menyatakan persetujuannya bahwa setiap karya sastra selalu lahir dari karya sebelumnya. Karya sebelumnya itu yang menjadi hipogram. Adanya karya yang menjadi hipogram bagi karya yang ditulis sesudahnya berarti terjadi mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan ini yang menjadi perhatian utama pengkajian sastra bandingan. Selain itu, sastra bandingan juga perlu melacak, mengapa sastrawan begitu bebas dalam menyadap hipogram. Kelenturan seorang sastrawan bermain imajinansi, perlu mendapat sorotan pula dalam sastra bandingan. Melalui pengontrasan sebuah karya dengan karya-karya lain yang menjadi hipogramnya, sesuai dengan pandangan sastra bandingan, makna karya tersebut dapat digali dan diungkap secara lebih penuh. Karya berikutnya mungkin sekali akan mendekati atau sebaliknya menjauhi hipogramnya.
Kaitan sastra bandingan yang berwujud hipogram antara karya satu dengan yang lain tersebut, mungkin disadari mungkin juga tak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya, menolak tradisi, atau bahkan mengingkari sama sekali konvensi yang berlaku sebelumnya. Pendombrakan konvensi seringkali menjadi perhatian khusus bagi sastra bandingan. Pada saat Suryanto Sastroatmodjo banyak menulis puisi dengan gaya R Ng Ranggawarsita, tampak halus. Ketika Poer Adhie Prawoto membuat puisi berbahasa Jawa berjudul Aku lan Dheweke, kelihatan terpengaruh gaya Sutardji Calzoum Bachri.

Kita lihat Goenawan Moehammad juga terpengaruh puisi Asmaradana berbahasa Jawa. Begitu pula Subagio Sastrowardoyo, yang dengan runtut menggubah sajak Asmaradana. Belakangan Seno Gumiro Adjidarmo juga menciptakan karya yang bernuansa Kalatidha, yang berhipogram pada karya jaman edan R Ng Ranggawarsita. Triyanto Triwikrama menciptakan cerpen Masuk Ke Telingaku Ayah, tampaknya juga sebuah imajinasi kreatif dari hipogram Serat Dewa Ruci. Chairil Anwar menawarkan wawasan estetikanya sendiri yang ternyata mendapat sambutan di kalangan masyarakat luas misalnya banyak penyair muda sesudahnya yang mengaku "berguru" pada puisi-puisinya, sehingga kemudian menjadi konvensi. Akhirnya, pada tahun 70-an, muncul penyair Sutarji Calzoum Bachri yang menghipogram puisi-puisi Chairil Anwar, juga dengan menolak wawasan estetikanya yang telah mentradisi, yaitu dengan kredonya yang bertekad ingin membebaskan kata dari belenggu makna dan tata bahasa.

Apa pun wujudnya, sesungguhnya sastrawan atau pengarang cenderung ingin menolak hipogram. Pengarang ingin bebas dan selalu dianggap karyanya yang paling orisinal. Setiap pengarang ingin bebas dari jeratan estetik, terlebih kalau dikatakan mengekor, tampak ada yang alergi. Dalam kaitannya dengan hipogram tersebut, Julia Kristiva (Culler, 1977:139), mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Bahkan menurut hemat saya, teks sastra berikutnya kadang terstruktur, tidak sekedar mosaik yang tanpa tujuan. Bayangkan ketika karya besar Serat Centhini karya Pakubuwana V ada nukilan jaman gemblung, berikut lahir pula karya jaman edan R Ng Ranggawarsita. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berlandaskan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitas sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya.

Unsur-unsur ambilan sebuah karya dari hipogramnya yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, ideologi, dan lain-lain dapat menghasilkan sebuah karya yang baru, bahkan mungkin sangat baru, sehingga karenanya orang mungkin tidak mengenali atau bahkan melupakan hipogramnya (Riffaterre, 1980: 165). Hipogram, memang, tidak mungkin bersifat komplit terdapat dalam sebuah karya, melainkan hanya bersifat parsial yang berupa tanda-tanda teks atau pengaktualisasian unsur-unsur tertentu ke dalam bentuk-bentuk tertentu. Pengambilan bentuk-bentuk itu, atau derivasi bentuk-bentuk dari karya yang dihipogram itu, dapat hanya berupa varian leksikal, varian ortografis, varian tekstual, denotasi atau konotasi, pilihan paradigmatis kata-kata, atau pemakaian bentuk sinonim.

Pengambilan unsur-unsur tertentu dari karya yang menjadi hipogramnya, tidak selalu berupa pengambilan unsur leksikal, kata, sintagma, atau wawasan dan konsep-konsep yang mirip, melainkan dapat pula berupa sifat kontradiksinya (Teeuw, 1983: 64). Pengambilan yang pertama bersifat meneruskan konvensi, sedangkan yang kedua bersifat me-nyimpanginya. Kedua hal itu, penerimaan dan penyimpangan, peniruan dan pembaharuan, sekali lagi, merupakan suatu hal yang prinsip dalam karya sastra. Dalam penulisan karya sastra, orang membutuhkan konvensi, aturan, namun sekaligus hal itu akan disimpanginya. Levin (Teeuw, 1984:101) bahkan mengatakan bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Menulis sebuah sajak, atau karya sastra pada umumnya, pengarang tidak mungkin tunduk seratus persen pada konvensi. Pengarang yang notabene memiliki, daya kreativitas tinggi selalu memberontak pada segala sesuatu yang telah mentradisi dan ingin menciptakan yang baru, yang asli.
Namun, pemberontak, pembaruan yang ekstrem, yang sama sekali meninggalkan konvensi yang ada, hanya berakibat karya yang dihasilkan kurang dapat dipahami masyarakat, tidak komunikatif. Penyimpangan memang "harus" dilakukan, namun hal itu hendaknya masih dalam batas-batas tertentu. Artinya, masih ada unsur konvensi di dalamnya, sebab hal itu berarti masih ada celah yang dapat dimanfaatkan masyarakat pembaca yang memang telah berada dalam konvensi dan tradisi tertentu. Penyimpangan dan pembaharuan baru dan hanya mungkin efektif jika dilaksanakan atas dasar konvensi yang disimpanginya (Teeuw, 1984: 102). Penyimpangan dianggap sebagai sebuah kreativitas baik disengaja maupun tidak. Penyimpangan adalah ide baru yang dapat mengecoh studi sastra bandingan.

Prinsip sastra bandingan yang utama adalah prinsip untuk memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya tersebut diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. Masalah sastra bandingan lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna yang penuh dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogram sebuah karya.

Mungkin saja sebuah karya mengambil hipogram lebih dari satu karya sastra sebelumnya. Sebab, seperti dikemukakan di atas, sebuah karya yang jadi mungkin saja "hanya" berupa mosaik kutipan dari karya-karya lain, Namun, tentu saja, hal itu pasti diolah kembali oleh pengarang sesuai dengan wawasan dan pandangan estetikanya, Untuk mengetahui secara pasti unsur-unsur tertentu sebuah karya yang menghipogram pada karya sebelumnya, diperlukan analisis unsur-unsur karya itu, baik yang dihipogram maupun yang menghipogram.

B. Memburu Afininitas, Tradisi, dan Pengaruh

Sadar atau tidak, sastra bandingan memang tidak lepas dari kritik teks. Kritik tersebut hendak menemukan kembali keaslian teks yang dianggap memiliki jalur keturunan. Memang dalam sastra keturunan sastra berikutnya juga dapat dinyatakan sebagai sebuah genetika ide. Genetika yang dipinjam dari ilmu biologi sebenarnya senada dengan istilah trah. Karya yang berasal dari genetika yang sama, berarti satu trah, itulah karya yang se-induk.

Pada umumnya, jika kita melihat praktek sastra bandingan, baik di negara Barat maupun di negara Timur, studi sastra bandingan itu melandaskan diri pada afininitas, tradisi dan pe-ngaruh. Kata afinitas itu berasal dari bahasa Latin ad (artinya, dekat) dan finis (artinya, batas). Dalam ilmu antropologi kata afinitas diberi makna 'hubungan kekerabatan yang terwujud karena adanya perkawinan'; dalam ilmu bahasa diartikan 'unsur-unsur sama pada dua atau beberapa bahasa karena bahasa-bahasa itu diturunkan dari suatu bahasa leluhur yang sama'; dan dalam ilmu biologi mengandung makna hubungan antara jenis-jenis atau kelompok-kelompok lebih tinggi yang didasarkan kemiripan dalam seluruh rencana strukturnya dan mengacu ke kesamaan asal-usulnya'.

Makna kekerabatan, kesamaan unsur dan hubungan antar jenis, dalam ilmu sastra bandingan, adalah keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalaman) karya sastra, misalnya, unsur struktur, gaya, tema (ide), mood (suasana yang terkandung dalam karya sastra), dan lain-lain, yang dijadikan bahan penulisan karya sastra. Misalnya, sewaktu penyair Goenawan Mohamad mencipta sajak dongeng Sebelum Tidur" dan "Asmaradana", secara tidak langsung, ia menggunakan bahan dari cerita Anglingdarma dan Damarwulan yang berasal dari sastra Jawa lama (lihat buku Asmaradana, kumpulan sajak Goenawan Mohamad,1992). Bahan mentah sastra yang menjajdi pijakan kreativitas karya berikutnya dianggap lebih asli, Namun demikian, estetika karya yang lahir berikutnya belum tentu kalah indah dan berbobot.

Unsur tradisi, yaitu unsur yang berkaitan dengan kesejarahan penciptaan karya sastra. Apa yang dilakukan oleh Goenawan Mohamad dalam menulis kedua sajaknya di atas dapat pula ditempatkan ke dalam tradisi. Artinya, secara kronologis, kedua sajak Goenawan Mohamad ini umurnya lebih muda daripada cerita Anglingdarma dan Damarwulan. Bahkan kisah Damarwulan itu juga sempat memunculkan geguritan Jawa berjudul Nonton Minak Jingga Edan, yang saya tulis sendiri. Kisah Arya Penangsang, juga pernah melahirkan karya geguritan Balada Arya Penangsang karya Poer Adhie Prawoto. Bahkan Suripan Sadi Hutomo pun pernah memunculkan geguritan Balada Kleting Kuning, sebagai relfeksi tradisi kisah sastra lisan Raden Panji. Pengarang hakikatnya sulit lepas dari tradisi. Tradisi pula yang membesarkan nama pengarang.

Memasuki hal yang demikian ini orang lalu sampai pada masalah pengaruh. Istilah pengaruh, sebenarnya, tidak sama dengan istilah menjiplak, plagiat, dan epigon. Istilah-istilah ini sarat dengan nada negatif, dan tak jarang, orang menggunakanya untuk menjatuhkan nama seseorang. Oleh karena itu pada tahun 1962 pengarang Hamka menjadi korban fitnahan politik berhubung romannya Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Di samping istilah-istilah yang bernilai negatif itu, masih ada istilah lain yang perlu diketahui, yakni istilah adaptasi, saduran, terjemahan dan transformasi. Istilah-istilah ini bernilai positif.

Sastra, sebenarnya, tidak lahir dari kekosongan. Begitulah kata kunci sastra bandingan, yang juga diamini oleh dedengkot sastra bandingan Corstius (1968:178) Dia membahasa konsep pengaruh secara panjang lebar, yang intinya pengarang tidak mungkin “nol besar” imajinasinya. Yang dilahirkan adalah sebuah ide, yang mungkin terpengaruh oleh karya sebelumnya. Pengarang dalam mencipta karangan tentu dipengaruhi oleh alam sekitar (masyarakat, kebudayaan, bahasa, dan karya-karya sebelumnya). Oleh karena itu, pengaruh itu tidak bernilai negatif, sepanjang pengaruh itu dapat dicernakan dalam karya sastra. Di samping itu kita harus menyadari pula bahwa apa yang dinamakan literary relationship', sebagaimana dikatakan oleh Claudio Guillen, bukanlah pengaruh. Dengan begitu benarlah yang dikatakan oleh Budi Darma bahwa "Olenka yang saya tulis juga berbeda dengan Olenka yang ditulis.

oleh Chekhov".  Nama Olenka adalah nama sesungguhnya dari tokoh Olga Semyonovna dalam cerita pendek . "The Darling" karya Anton P. Chekhov. Dalam menulis novel Olenka pengarang Budi parma tidak menyadarinya bahwa ia telah menggunakan nama Olenka dari cerita pendek Anton P. Chekhov untuk judul novelnya. Bahkan kalau saya perhatikan cerpen Dananrto berjudul Abracadabra pun sebenarnya mirip sekali dengan tipografi puisi AA Cummings. Hal semacam ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara karya sastra satu dengan yang lain. Soal pengaruh, bagi Haskel Block, merupakan hal yang penting dan ia dapat disamakan dengan metodologi studi sastra bandingan sendiri, sebab ia menyangkut sumber-sumber ins-pirasi pengarang, hubungan antar pengarang, dan lain-lain. Untuk melaksanakan studi pengaruh, barangkali, ada baiknya jika kita menyempatkan diri memahami teori intertekstualitas. Sebagaimana pernah dikatakan di muka bahwa sastra lahir bukan: dari 'kekosongan' maka benarlah jika dikatakan bahwa karya sastra (sebagai teks) ia 'menyimpan berbagai teks di dalamnya" , atau, "merupakan serapan atau hasil transformasi dari teks lain". Karya sastra merupakan “barisan teks” lain, yang langsung maupun tidak ikut memperindah estetika. Selain pembaca menjadi lebih mudah mengingat, sastrawan juga mudah terangkat namanya.

Dengan demikian antara afinitas, tradisi, dan pengaruh sulit dilepaskan. Ketiganya terlilit halus dalam cipta sastra. Ketiganya banyak menggoda ahli sastra bandingan. Justru ada tiga unsur itu, pekerjaan sastra bandingan semakin riuh dan unik. Hanya ahli yang menyadari pentingnya menelusuri jejak afinitas atau genetika teks, baru akan menemukan tradisi sastra di suatu jaman. Tradisi teks itu ternyata cenderung terpengaruh satu sama lain. Mungkin sekali pengarang terpengaruh oleh satu atau lebih karya sebelumnya, sehingga membutuhkan kecermatan dalam studi sastra bandingan.

Tradisi kadang-kadang beruntun, dari jaman ke jaman tidak berubah. Misalnya tradisi sastra wulang, telah menjadi afinitas dan konsep pengaruh dari karya-karya sastra bergenre tembang lainnya di tanah air. Tradisi sastra lisan dengan lagu nina bobok, telah menjadi afinitas dan pengaruh lahirnya karya-karya sastra lain, terutama dongeng-dongeng sebelum tidur. Dalam konteks sastra lisan ini amat rentan pengaruh satu dengan yang lain, sebab setiap pendengaran pengarang sering berbeda. Hal ini memungkinkan aneka ragam karya yang unik, sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur sering berubah menjadi sekar gambuh ping catur kang kacatur solah kang kalantur. Berbagai perubahan teks itu sering memunculkan makna yang berbeda-beda.

Jadi memburu afinitas, tradisi, dan pengaruh amat memungkinkan hasil sastra bandingan semakin berbobot. Melalui tiga hal itu persinggungan antar karya sastra akan nampak. Semakin banyak memuat tiga unsur itu memandai bahwa karya sastra yang dibandingkan semakin unik dan menarik. Apabila persentuhan karya sastra semakin banyak muncul, maka godaan bagi pengkaji untuk menentukan langkah strategis. Keberhasilan seorang pengkaji melacak tiga hal itu semakin mendorong pula seorang pengkaji untuk melakukan pendalaman. Ketiganya saling terkait membentuk suatu elemen sastra yang unik.

C. Kajian Konsep Pengaruh

Titik perhatian utama dalam kajian sastra bandingan adalah untuk melihat adanya hubungan atau keterkaitan baik antara karya sastra dengan karya sastra maupun antara karya sastra dengan disiplin ilmu pengetahuan, agama/kepercayaar ataupun karya-karya seni. Namun, pengertian kata hubungan atau kaitan di sini tidak berarti harus memiliki data historis. Hubungan atau kaitan ini dapat hanya bersifat tekstual yakni adanya persamaan-persamaan dari dua karya sastr; atau lebih yang semata mata berdasarkan teks karya-karya tersebut, atau bersifat historis-faktual, yakni hubungan yan; terjadi berdasarkan kenyataaan yang bersifat historis misalnya ada bukti-bukti bahwa seorang penulis memilik hubungan, baik melalui surat menyurat maupun kontal langsung, dengan seorang penulis lainnya, ataupun i~ diketahui telah membaca karya sastra yang mempe ngaruhinya. Oleh karena itu, secara garis besar, kajian sastra bandingan memiliki dua bentuk kajian, yakni : (a) Kajian Kesamaan (affinity), dan (b) Kajian Pengaruh (influence).
Kedua bentuk kajian tersebut masing-masing memiliki manfaat tersendiri. Pada kajian kesamanan, meskipun tidak dijumpai adanya pengaruh mempengaruhi dalam karya-karya sastra yang dibahas, namun adanya persamaan-persamaan yang terdapat dalam. karya karya yang berbeda latar belakang kebudayaannya itu mungkin akan . m,enimbulkan dorongan kepada si penelaah untuk melakukan kajian lebih lanjut, yakni untuk mengetahui mengapa muncul persamaan-persamaan tersebut. Apakah ada latar belakang buah pikiran filsafat, agama, lingkungan hidup yang bersamaan sehingga tercipta karya-karya sastra yang memiliki berbagai persamaan pula.
Kajian pengaruh memiliki berbagai manfaat pula, antara lain kita mungkin mengetahui bagaimana suatu unsur sastra atau buah pikiran diserap oleh pengarang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda serta mengapa ada penyimpangan-penyimpangan dari bentuk aslinya. Sudah tentu kajian pengaruh ini lebih rumit karena membuktikan adanya pengaruh sebaiknya berdasarkan data historis-faktual.

Memang sering ada anggapan bahwa persamaan-persamaan yang dijumpai pada karya-karya sastra atau buah pikiran yang ditelaah tidak menunjukkan adanya pengaruh, mempengaruhi (hubungan historis-faktual), melainkan terjadi secara kebetulan. Karena itu kaitan yang ada hanya bersifat tekstual. Kesamaan ini menurut Aldridge (1969 : 3) adalah, "Persamaan-persamaan dalam stilistika, struktur, suasana, atau buah pikiran di antara dua karya yang tidak memiliki kaitan". Menurut pandangan saya, apa pun yang muncul sebagai persamaan, bahkan ideologi pun tetap merupakan pengaruh. Maka pengaruh dalam karya sastra dapat saya bedakan menjadi dua: (a) pengaruh besar (langsung) dan (b) pengaruh kecil (tak langsung). Kedua pengaruh itu, tetap merupakan unsur varian yang menarik dicermati.

Sebenarnya kajian kesamaan tidak hanya terbatas pada dua karya sastra saja, mungkin jumlahnya lebih, dan tidak hanya menyangkut antara karya sastra, melainkan juga antara karya sastsa dengan bidang-bidang lain. Studi kesamaan tidak selalu harus sampai pada jawaban terhadap pertanyaan, 'Mengapa ada persamaan-persamaan? Sering bentuk kajian ini dilakukan dengan hanya membandingkan dua sajak saja, misalnya, dan mencari persamaan-persaman pada kedua sajak tersebut tanpa melakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab adanya persamaan-persamaan tersebut. Kajian seperti ini tentu jauh lebih sederhana dan mudah, namun ada kritik terhadap bentuk kajian ini karena dianggap terlalu bergantung pada subjektivisme penelaahnya (Aldridge, 1969 : 5). Sesungguhnya tidak selalu demikian, asalkan penguasaan teori analisis lebih mapan, persamaan-persamaan itu tetap dapat dirunut sebab-musababnya.

Contoh studi kesamaan yang berhasil menjejaki lata belakang munculnya persaman-persamaan dari dua karya yang tidak memiliki hubungan sama sekali adalah kajian yang dilakukan oleh Calvin S Brown (dalam Jost, 1974 : 39). Brown melihat adanya persamaan-persamaan antara saga kaum Viking dari Eropa Utara dengan saga kaum Polynesia dan Lautan Teduh. Berbagai persamaan tersebut sudah pasti bukan sebagai akibat adanya pengaruh mempengaruhi antara kedua suku bangsa tersebut. Tidak mungkin kaum Viking pada kurun waktu abad ke 8-13 telah mengenal dan berhubungan dengan kaum polynesia demikian pula sebaliknya, Oleh karena itu berbagai persamaan yang ada hanya terjadi secara kebetulan. Mereka memiliki persamaan-peramaan dalam cara hidup dan lingkungan, yakni sebagai pelaut yang berani, hidup di dekat pantai, dan suka mengembara, sehingga mereka menciptakan saga-saga yang bersamaan pula.

Studi kesamaan sering pula disebut dengan pengaruh palsu (false influence). Munculnya istilah ini disebabkan para kritikus yang pada mulanya beranggapan bahwa karya-karya yang mereka bandingkan memiliki kaitan satu sama lainnya, yakni ada unsur pengaruh mempengaruhi, ternyata mendapatkan kenyataan bahwa karya-karya tersebut tidak memiliki kaitan sama sekali. Pengaruh palsu ini pernah digambarkan oleh Van Tieghem (dalam Weisstein, 1973 : 38-39) dengan memberikan dua contoh. Contoh yang pertama adalah mengenai hubungan antara Hendrik Ibsen, penulis karya drama Norwegia, dengan George Sand (Inggris). Menurut Jules Lemaitre pada tahun 1895), Hendrik Ibsen udak menunjukkan keaslian dalam karya karyanya karena buah pikirannya tentang gambaran moral dan sosial dapat dijumpai dalam karya-karya George Sand. Namun anggapan ini dibantah oleh Georg Brandes, seorang kritikus Denmark. Brendes menyatakan secara pasti bahwa Hendrik Ibsen tidak pernah membaca karya-karya George Sand. Oleh karena itu tidak ada unsur pengaruh mempengaruhi dalam kasus ini. Demikian pula dalam kasus Alphonse Daudet, penulis Perancis, dengan Charles Dickens, penulis Inggris. Karya Daudet, La Petite Che dianggap sebagai peniruan karya Charles Dickens. Namun, Daudet menyangkal pernah membaca karya-karya Charles Dickens. Terlepas dari benar atau tidaknya sangkalan yang dikemukakan oleh Georg Brandes dan Alphonse Daudet di atas, kita harus mengakui bahwa sesing terjadi persamaan-persamaan dalam karya-karya sastra disebabkan oleh faktor kebetulan.

Dalam bukunya Introduction to the Comparative study of Literature, Jan Brandt Corstius menggambarkan hasil pengamatan Maja Goth tentang karya karya kaum Surrealist dan Frans Kafka. Dia melihat banyaknya persamaan dalam karya-karya mereka sehingga pada mulanya beranggapan ada unsur Pengaruh mempengaruhi di antara mereka. Namun setelah ditelitinya lebih lanjut, ternyata bahwa persamaan- persamaan tersebut hanyalah disebabkan oleh 'semangat jaman' itu. Semangat jaman kadang-kadang mengecoh dalam sastra bandingan. Oleh sebab itu, komparatis perlu hati-hati menyikapi konsep pengaruh.

Dari dua bentuk kajian tersebut, kesamaan dan pengaruh, kelihatan bahwa kajian pengaruh lebih rumit da luas dari pada kajian kesamaan, namun merupakan bentuk kajian yang penting. Hal ini dikatakan oleh Ulrich Weisstein (1973 : 29) sebagaimana diungkapkannya bahwa, 'Pendapat tentang pengaruh haruslah dipandang sebagai konsep utama dalam sastra bandingan, karena hal tersebut menunjukan adanya dua entiti yang berbeda dan karena itu dapat dibandingkan; karya dari mana pengaruh ini bermula dan kepada siapa pengaruh itu ditujukan".

Suatu karya sastra ataupun genre sastra yang dipengaruhi tentunya tidak seluruhnya sama dengan karya yang mempengaruhinya. Ada kemungkinan beberapa unsur sastra yang dengan kondisi setempat. Hal ini dapat kita lihat apabila kita mencoba untuk membandingkan soneta Indonesia dengan, misalnya, soneta Eropa Barat dari sudut studi genre (genre study). Sebagai salah satu bentuk tetap (fixed form) dari genre puisi, soneta memiliki aturan-aturan tertentu. Namun, berbeda dengan bentuk soneta yang telah dikenal secara umum, seperti bentuk Petrarch, Shakespeare, Spencer, ataupun Perancis, karya soneta yang diciptakan para penyair Indonesia pada masa lalu tidak memperhatikan jumlah suku kata pada setiap baris. Satu baris kadang-kadang sangat panjang, misalnya sampai enam belas suku kata, sedangkan pada baris lairmya mungkin sangat pendek.

Kata 'pengaruh' menunjukkan adanya sesuatu yang berasal dari pemikiran orang lain yang diambil dan dipergunakan, secara sadar ataupun tidak, oleh seorang lainnya. Oleh karena itu, kita dapat menyatakan bahwa pengaruh itu ada apabila kita dapat membuktikan ada sesuatu unsur" dari luar atau sesuatu yang berasal dari karya sastra atau pemikiran orang lain pada karya sastra yang dipengaruhi itu, sesuatu yang kita ketahui tidak terdapat pada tradisi sastra bangsanya dan pada perkembangan karya sastranya sendiri. Pembuktian ini lebih menunjukkan keabsahannya apabila bernilai historis, tidak hanya berdasarkan fakta testual. Oleh karena itu ada beberapa hal yang mungkin dapat membantu kita dalam kajian mengenai pengaruh ini, yakni : (1) Menjejaki perkembangan karir sang pengarang, (2) Menjejaki proses penciptaan karya sastranya, (3) Mengetahui tradisi sastra dan nilai budaya pengarang tersebut.

Ketiga hal di atas akan membantu kita untuk mengetahui dengan jelas dan memberikan keyakinan kepada kita bahwa berbagai persamaan yang kita jumpai dalam beberapa karya yang kita teliti memang bukan karena kebetulan, melainkan karena ada unsur pengaruh mempengaruhi.
Pengaruh mempengaruhi dalam dunia kesusasteraan merupakan suatu hal yang biasa dan umum terjadi. Yang dipengaruhi bukan hanya para pengarang yang kurang terkenal, tetapi juga pengarang yang telah diakui kebesarannya. Shakespeare sendiri, misalnya, pernah memanfaatkan ungkapan-ungkapan penulis Perancis, Montaigne (lihat di 4.1.4). sering kesan yang begitu mendalam datang dari satu karya sastra sehingga tidak dapat dihindari pengaruh dan secara sadar atau tidak karya tersebut akan tercermin dalam karya seorang pengarang lain yang pernah membaca karya yang mengesankan tersebut. Karya yang terpeng; belum tentu rendah mutunya dan seperti kasus Shakespeare tersebut, karya itu mungkin saja menjadi terkenal di belakang hari.

Dalam sejarah kesusasteraan, selain George Eliot Shakespeare yang diketahui telah terpengaruh oleh Keller Montaigne, seorang pengarang Inggris terkenal lainnya, J Milton, juga mengalami hal yang sama. Karyanya yang monumental, Paradise Lost, telah dinyatakan bukan merupakan karya yang seluruhnya miliknya sendiri karya pengarang tersebut mengambil bahan cerita dari berbagai sumber. Meskipun para pengarang di atas mendapat pengaruh dari para pengarang lainnya, namun mereka memiliki cara penyampaian masing-masing sehingga apa yang mereka persembahkan merupakan karya-karya yang identik dengan personalitas mereka. Dengan keunikan gaya penyampaian masing-masing, Para Pengarang tersebut berhasil menciptakan kesan bahwa karya karya mereka adalah benar-benar milik mereka sendiri. Oleh karena itu, kita dapat membenarkan apa yang telah dikatakan oleh Shaw (dalam Weisstein, 1973:   31-32) mengenai pengertian pengaruh yakni "Beriawanan dengan peniruan, Pengaruh menunjukkan bahwa pengarang yang dipengaruhi menghasilkan karya yang pada dasarnya adalah miliknya sendiri".

Kajian pengaruh merupakan kajian yang paling rumit, namun paling bermanfaat dalam sastra bandingan. Dalam kajian ini kita dapat melihat unsur-unsur apa yang telah diambil, apa yang telah dirobah, dan apa pula yang telah ditolak. Demikian pula bagaimana hubungannya dengan latar belakang sosial politik karya karya yang dibandingkan itu. Namun, untuk menetapkan bahwa seorang pengarang itu telah dipengaruhi oleh seorang pengarang lainnya, kadang-kadang tidak cukup hanya menelaah karya karya sastra yang mempengaruhi dan dipengaruhi itu saja.

Kajian pengaruh, menurut Guillen (1971: 38-39) harus bermula dari kajian mengenai asal-usul suatu karya (genesis of a work) dan kajian ini harus berpegang pada pengetahuan dan penafsiran dari komponen-komponen yang menyangkut asal usul karya tersebut. Karena itu, untuk menetapkan kemungkinan adanya pengaruh dari suatu karya terhadap karya lainnya, kajian ini tidak hanya dilakukan dengan membandingkan kedua karya itu saja. Menetapkan suatu pengaruh berarti membuat penetapan nilai, bukan mengukur fakta. Adalah penting untuk mengevaluasi fungsi dan cakupan efek suatu karya terhadap suatu karya lainnya Suatu kajian pengaruh, apabila dilaksanakan dengan baik, akan berisikan dua fase kegiatan yang berbeda. Langkah pertama, seperti yang telah disebutkan di atas, merupakan penelaahan dan penafsiran fenomena genetik (asal usul), sedangkan langkah yang kedua merupakan kajian yang bersifat tekstual dan komparatif, namun kajian kedua ini berhubungan dengan parallelisme (persamaan-persamaan berdasarkan teks). Para komparatis sering mengabaikan kajian langkah pertama tersebut padahal kajian inilah yang dapat menyimpulkan adanya pengaruh dari suatu karya terhadap suatu karya lainnya. Langkah yang kedua termasuk kajian yang mengevaluasi relevansi atau fungsi genetik dari efek yang muncul. Hasil kajian ini secara keseluruhan akan memperlihatkan bahwa fungsi genetik menggambarkan dampak, sedangkan fungsi tekstual menggambarkan parallelisme.
Studi pengaruh ada dua metode yang perlu diterapkan, yaitu: 
(1) peneliti menekankan masalahnya dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau sastrawan yang mempengaruhi,
(2)     peneliti memfokuskan pada masalah tema, genre, gaya dan gagasan saja. 
Yang patut dicamkan, menurut Jost (Damono, 2005:10) telaah sumber tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti kesimpulan mengenai kualitas intelektual, kandungan emosi, dan hakikat estetik suatu karya. Dalam kajian pengaruh diperlukan data yang memberikan informasi, terutama, tentang pengarang yang dipengaruhi. Informasi ini misalnya, berkaitan dengan perjalanan ke luar negeri yang pernah dilakukannya, bahasa-bahasa yang dikuasainya, buku-buku yang pernah beredar di negerinya dan yang pernah dibacanya, serta surat menyurat yang pern; dilakukannya dengan pengarang asing. Semua informasi ini akan bermanfaat dalam menelaah fenomena genetik di atas dan biasanya diperoleh melalui biografi, surat menyurat, dan catatan harian dari pengarang yang bersangkutan.

Apa yang dibicarakan di atas hanya terbatas pada kajian dua karya sastra saja. Kajian mengenai pengaruh ini mungk dapat diperluas dengan melibatkan beberapa karya sastra dan beberapa . orang pengarang atau karya-karya yang teimast dalam satu aliran. Namun, makin luas ruang lingkup kajian tentu masin rumit kajian yang dilakukan karena menyangkut banyaknya informasi yang diperlukan.
Pengaruh dapat bersifat langsung (direct influence) maupun tidak langsung (indirect influence). Pada pengaruh langsung, pengarang yang dipengaruhi mengambil sumbernya langsung dari pengarang aslinya (disebut transmitter) sedangkan pada pengaruh tidak langsung pengarang yang dipengaruhi itu mengambil sumber karyanya dari seorang lain yang telah dipengaruhi pula oleh pengarang aslinya, atau dengan kata lain dia mengambd sumbeinya melalui seorang perantara yang biasa disebut dengan intermediary. Peranan seorang perantara ini menjadi penting karena perantara itu mungkin dapat memberikan kejelasan mengenai pengambilan dan penyimpangan-penyimpangan pada karya-karya yang dipengaruhi dari karya aslinya. Pengarang yang dipengaruhi biasa disebut receiver (penerima).

Pengaruh dapat pula datang dari seorang yang bukan merupakan penulis karya-karya sastra, misalnya dari seorang pemikir sosial atau filosof. Pengaruh ini biasanya tercermin dalam bentuk buah pikiran yang kelihatan dalam isi ata pokok pembicaraan suatu karya; bukannya dalam genre atau stilistika. Kalau demikian, konsep pengaruh itu dapat dapat secara:
(a)     tiba-tiba, sebagai refleksi memori seseorang dan 
(b) endapan pemikiran lama. 
Kedua pengaruh yang mungkin berasal dari tokoh, buku penting, dan karya sastra lain, perlu dikemukakan. Studi pengaruh dalam karya sastra juga dapat menekankan beberapa hal, yaitu: (1) adakah peminjaman langsung, atau sekedar mengubah-ubah sedikit, (2) bagaimana pengaruh budaya asal, akar budaya, yang sudah inheren dalam diri pengarang, (3) adakah pengaruh negatif yang berupa penolakan pengarang terhadap ide lain, (4) penghayatan kreatif, yang memungkinkan pengarang tidak begitu jelas, apakah menterjemahkan atau menyadur. Doktrin penting sastra bandinga yaitu menemukan titik terang pada keempat itu, agar keterkaitan antar teks dapat dijelaskan secara proporsional.

0 komentar:

Posting Komentar