PEMICU PENGKAJIAN SASTRA BANDINGAN
Dunia postkolonial telah melahirkan fakta-fakta
baru dalam sastra. Postkolonial sering menjadi pemicu utama hadirnya sastra
bandingan. Dominasi penjajah, sering memunculkan protes kaum terjajah.
Penakhlukkan kaum terjajah, jelas menjadi wacana postkolonial yang penting
dalam sastra bandingan. Hal ini dapat dipahami melalui bandingan pola peresapan
(infiltrasi) bangsa Eropa terhadap
bangsa Afrika dan bangsa Amerika. Pergerakan ke pedalaman di benua Amerika
Selatan dan Utara berlangsung lumayan cepat. Dalam hal ini, Gifford (1993)
secara detail melukiskan bagaimana sepak terjang dunia postkolonial dalam
kaitannya studi sastra bandingan.
Kalau menengok kolonialis Belanda di Indonesia,
telah terpancar pada karya-karya di jaman Balai Pustaka. Tidak sedikit karya
sastra Indonesia, terutama Jawa yang disalin oleh kolonialis Belanda, diboyong
ke negaranya. Peristiwa tersebut juga terjadi pada negara-negara jajahan lain
di seluruh dunia. Itulah sebabnya pergulatan sastra tidak akan lepas dari
peristiwa sejarah dan politik suatu bangsa. Karya sastra menjadi saksi jaman.
Perdagangan budak yang menguntungkan membuktikan
pola pergerakan ke arah barat dari Eropa dan Afrika menuju benua Amerika, dan
secara perlahan-lahan mitos Heart of
Darkness di Afrika menjadi sebuah tempat dari kegelapan dan ketakutan,
dimana kegelapan hutan yang sangat banyak mengkombinasikan dengan kulit hitam
dan gagasan semangat pemujaan dan kekuasaan yang mula-mula kejam. Heart of Darkness merinci bahwa mitos
bangsa Eropa terhadap rahasia yang tidak terkenal dari Afrika Tengah, mitos
yang diabadikan dalam cerita fiksi dan film sampai saat ini. Mitos-mitos
demikian juga terjadi di Jawa. Kalau mau menengok bagaimana novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet dan Nrabas Beteng Amabarawa, tidak lain juga
merupakan sebuah mitos dunia kolonial. Di Jawa banyak karya-karya perjuangan
perlawanan pada penjajah Belanda. Pada umumnya karya-karya tersebut sengaja
digubah untuk mendokumentasikan jaman.
Wole Soyinka, penulis terkenal dan Profesor sastra
bandingan, mengatakan dalam bukunya Myth,
Sastrae and the African World, usahanya pada awal tahun 1970-an untuk
memberikan serangkaian perkuliahan
tentang Sastra Afrika di Cambridge. Perkuliahannya diberikan di bawah
pengawasan Jurusan Antropologi Sosial, karena Jurusan Sastra Inggris tidak
percaya pada kekejaman apapun seperti `Sastra Afrika'. Penelitian terhadap
kebudayaan Afrika telah dikelompokkan dengan cara khusus, dan objek penelitian
tentang antropologi dan bukan tentang sastranya. Saya tidak menolak kajian sastra dan antropologi ini berjalan
seiring, sebab keterkaitan keduanya memang amat erat. Selama lebih tujuh tahun
saya belajar antropologi dan lebih 10 tahun belajar sastra, ternyata titik
temua keduanya memang tidak perlu diragukan. Maka tidak perlu heran kalau
Soyinka mengakui system kategorisasi ini, dan mencatat bahwa banyak universitas
di Afrika yang memiliki masalah menemukan tempat untuk Sastra Afrika,
universitas itu telah dilengkapi dengan model Eropa dan diatur oleh para
ilmuwan Eropa yang sudah terlatih.
Kritik Soyinka terhadap marjinalisasi sastra Afrika
tersebut penting. Dia memperhatikan penyimpangan antroplogis dari banyak hasil
penelitian bangsa Eropa terhadap Afrika, sama halnya dengan Hulme yang
memancing perhatian lainnya, dimana cara ini meninggalkan penganut sastra
bandingan Eropa? Reaksi orang Afrika terhadap apa yang disebut Chinua Achebe
sebagai `Kecaman Kolonialis', yang ditandai oleh kepercayaannya pada keunggulan
hasil sastra dunia Hellenic dan Kristen-Judaeo, telah membimbing, berkali-kali,
kepada sikap menonjolkan diri sendiri secara agresif dan kepada debat yang
sengit di antara kritikus Afrika pada poin yang berbeda sepanjang jajaran
perlawanan kepada model Eropa. Bahkan cara itu mengusulkan bahwa hanya orang
Afrika yang bisa belajar sastra Afrika, janji yang, jika secara universal
diterapkan, secara efektif akan melarang kritikus apapun untuk belajar teks
tertulis diluar kebudayaan yang mereka miliki. Seperti Jahnheinz Jahn yang
berkomentar, kritikus sastra Afrika sudah cenderung menjadi `rasis, nasionalis
atau individualis'. Jadi pada satu pandangan ekstrim kita mungkin bisa menerima
pandangan sastra Eropa yang menolak untuk mengenal sastra Afrika dan menyatakan
penelitian di Afrika adalah murni penelitian antropologis, sedangkan dalam
pandangan ekstrim lain kita mungkin bisa menerima pandangan sastra Afrika yang
menyalahkan pengaruh model kesusasteraan Eropa apapunbeserta penolakan
kolonialisme.
Meskipun polarisasi ini (dan dengan tidak
menggembirakan, masih ada beberapa sarjana yang menjadi bagian dari salah satu
hipotesis ekstrimis ini), bekerja bahwa pada saat ini sedang berkembang yang
terlihat secara relatif pada kebudayaan post-kolonial dan produksi
kesusasteraan polarisasi ini menawarkan jalan maju untuk bekas penjajah dan
serupa penjajah. Ashcroft, dkk. Menyatakan bahwa teori kesusateraan
post-kolonial sudah mulai untuk berhubungan dengan masalah perubahan waktu ke tempat,
dengan perjuangan saat ini keluar dari masa lalu, dan seperti kebanyakan sastra
post-colonial akhir-akhir ini, teori itu berusaha untuk membangun masa depan.
Dunia post-kolonial adalah sesuatu dimana pertempuran budaya yang bersifat
merusak berubah menjadi penerimaan perbedaan pada istilah yang sama. Antara pembuat teori kesusasteraan dan sejarawan kebudayaan mulai mengenali
pertukaran budaya sebagai titik akhir dari sejarah manusia yang dengan jelas
tidak ada akhirnya dari penaklukan dan pemusnahan. Kekuatan teori post-kolonial
mungkin dengan baik terletak pada metodologi bandingan dan peranakannya yang
tidak dapat dipisahkan dan pandangan penyatuan aliran dari dunia modern yang
dikandungnya.
Kedatangan istilah `post-kolonial' pada suasana
kritis secara pasti harus menjadi satu dari perkembangan yang paling signifikan
dalam sastra bandingan pada abad 20. Pernah kami mengambil istilah, perubahan
wujud geografis, dan pertimbangan lain muncul ke permukaan. Jika kita
menganggap post-kolonialisme dalam istilah yang berdasarkan sejarah, kemudian
perjuangan panjang penulis Amerika Selatan dan Utara pada abad 18 dan 19 untuk
menciptakan sastra milik mereka sendiri dapat dibandingkan dengan perjuangan
penulis kontemporer Amerika Latin dan Afrika untuk melakukan hal yang sama. Dan
pertanyaan keseluruhan dari, membentuk apa sastra yang dimiliki seseorang juga
masih bisa diperdebatkan. Apakah seorang Amerika? Tanya Crevecoeur pada tahun
1782, ketika masalah definisi setelah revolusi 1776 masih sangat penting, dan dua
abad kemudian orang Meksiko, Carlos Fuentes, mengikuti orang Kuba, Alejo
Carpentier, untuk mendeklarasikan bahwa hasil karya penulis Amerika adalah
untuk menyucikan segala sesuatu yang selain itu tidak akan dikenali. Secara
signifikan Fuentes dan Carpentier menyilangkan kebudayaan menurut biografi:
Fuentes tumbuh sebagai anak laki-laki dari Diplomat Meksiko di Amerika Serikat,
sedangkan Carpentier, sudah bertahun-tahun di Paris dan itu sangat mempengaruhi
dia.
Tema pengusiran, dari keterlibatan dan ketidakterlibatan,
merupakan penghubung umum antar penulis dari kebudayaan postkolonial. Secara
sama, problematika kebahasaan dan identitas nasional menawarkan titik penting
keharmonisan yang lainnya. Jadi, sebagai contoh, bersama dengan penolakan
Standar Bahasa Inggris yang berdasar pada British (Inggris), dan proses yang
sama dapat dilihat peristiwa bahasa Eropa yang lain di masyarakat
post-kolonial, disamping pertimbangan kembali logat bahasa penduduk asli. Ini
berarti bahwa ada kenekaragaman harapan batasan pemikiran seseorang menurut
titik awal linguistik yang dimiliki pembaca; oleh karena itu bangsa Eropa yang
membaca puisi karangan penulis Caribbean seperti Jean Binta Breeze atau novel
karangan penulis Afrika seperti Amos Tutuola akan menghadapi kesulitan terhadap
leksikon dan sintaksis yang tidak lazim, berlawanan dengan pembaca yang membagi
pemahaman tanda linguistik ini dengan penulis.
Atas dasar pemikiran tersebut,
berarti terjemahan sastra akan menghasil karya-karya baru yang unik. Paling
tidak, melalui terjemahan akan muncul karya sastra: (1) karya-karya mimikri
dari aneka sumber, yang kemungkinan besar lebih indah dari aslinya, (2)
karya-karya hibrida, yang kemungkinan hanya disalin bahasanya. Yang kedua ini
pun tetap melahirkan ide-ide, sebab terjemahan itu hakikatnya juga melakukan
penafsiran. Bahasa sastra adalah bahasa simbol, yang memungkin seseorang
menafsirkan lebih dari dua atau lebih terjemahan.
B. Cakupan Sastra Bandingan
Postkolonial
Pemicu terkuat sastra bandingan adalah munculnya
terjemahan. Karya terjemahan kadang-kadang ada yang sengaja, izin, dan
terstruktur, dan ada pula yang berupa terjemahan halus (saduran). Bandingan
bentuk dan isi pada sastra post-kolonial memberikan banyak kemungkinan. Sama
pentingnya merupakan pertanyaan penghubung sejarah bandingan sastra
post-kolonial, karena ketika sudah ditunjukkan, sejarah kebudayaan Eropa-lah
yang selama ini sudah menetapkan modelnya. Jadi, periode kembar Renaissance dan
Romantisme digunakan kritikus Eropa sebagai tonggak pengukuran, dan periodesasi
menghubungkan transisi momen ini dan momen lain.
Menurut pemikiran Jost (1974), metode tradisional
periodisasi ini mempunyai berbagai jenis dampak. Contohnya, jika mengambil
kebudayaan Hellenic sebagai titik tertinggi peradaban bangsa Barat, dan
Kerajaan Roma sebagai kelanjutan dari cita-cita Hellenic, kita akan mengakiri
sebuah peiode yang panj ang dari beberapa abad yang mengikuti keruntuhan
Kerajaan Roma yang diistilahkan sebagai `Zaman Kegelapan'. Periodesasi
konvensasional bangsa Eropa melihat Kerajaan Roma sebagai fase penerangan,
walaupun merupakan fase yang agak agresif, yang diikuti oleh penurunan yang
kemudian menuju ke kegelapan dan anarkis, yang dipulihkan pada abad 12 oleh
penyebaran system hidup biara (monasticisme) dan membangun universitas di
seluruh Eropa (Zaman Pertengahan). Periode ini kemudian berlangsung selama
berabad-abad, sampai dasar pikiranngnya zaman Renaissance pada abad ke 14 dan
15-an, tergantung dimana posisi Anda saat membahasnya.
Sangatlah istimewa bahwa perselisihan aneh sejarah
kebudayaan harus berakhir dalam jangka waktu yang sangat lama. Seperti yang
telah ditunjukkan di bab 3, kemuliaan monasticisme bangsa Irlandia hanya satu
dari banyak perkembangan yang memberikan kebohongan terhadap mitos abad-abad
kegelapan. Namun, sebagian besar peradaban secara signifikan, selama Zaman Kegelapan', mencapai puncaknya di bagian dunia
lainnya, khususnya di bagian yang dekat Eropa, yaitu Timur Tengah dan Afrika
Utara. Bahwa ada lompatan tinggi pada masyarakat Eropa di bidang arsitektur,
matematika, kesehatan, music, puisi, filosofi, dan lain-lain di abad 12-an
tidak dapat disangkal, tetapi ada sesuatu yang kemudian disangkal dan
dihapuskan yaitu pengaruh yang sangat besar dunia Arab pada proses perkembangan
itu.
Lagi, pada puncak zaman Renaissance, tepat di titik
itu disebut oleh bangsa Eropa sebagai satu dari peristiwa peradaban yang agung,
pada tahun yang tepat saat Columbus menunjukkan pelayaran pertamanya
menyeberangi Atlantik, Spanyol mengusir masyarakat Yahudi yang ada di negaranya
dan juga mengusir bangsa Arab dengan menaklukkan Kerajaan Moorish di Granada,
isyarat terakhir pada abad tersebut adalah konflik antara umat Kristiani dan
non-Kristiani, selama itu hubungan untuk hal-hal yang saling menguntungkan
dengan dunia Arab sama sekali tidak dipedulikan. Zaman Renaissance mungkin
dikenal sebagai zaman kekayaan estetik yang luar biasa, tetapi zaman ini juga
merupakan zaman dimana tidak ada toleransi untuk berpoliti dan beragama dan
zaman permulaan perluasan kejahatan kolonial di luar Eropa.
Kemudian, sedikit kemagican bahwa seharusnya ada
perlawanan seperti itu terhadap model periodesasi tradisional bangsa Eropa,
ketika model itu memilki sedikit hubungan pada segala sesuatu yang terjadi di
luar batas batasan geografi yang jelas atau didasarkan pada dasar pikiran yang
sangat berbeda yang mengabaikan realita non-Eropa. Penganut sastra bandingan
dari Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin bersatu dalam penyangkalan
periodesasi kebudayaan model Eropa, dan mengganti model itu dengan model
alternatif milik mereka sendiri. Pergerakan ini merupakan contoh lain dari
berbagai pergerakan dimana ide kuno tentang keseluruhan sastra dan teori
kesusasteraan sedang ditantang.
Post-kolonialisme sedikit berbeda dengan
anti-kolonialisme. Reaksi menentang kolonialisme sudah memperlihatkan aksinya
dengan berbagai cara, tetapi selalu menempatkan pada dasar pikiran perlawanan
yang berpasangan. Dimana post-kolonialisme berbeda, adalah bahwa walaupun
setelah menentang kekuasaan tertinggi kebudayaan kolonialisme, cara ini
menghargai mayoritas hubungan antara menjajah dan terjajah. Dari fakta khusus
dalam memajukan teori post-kolonial merupakan pertumbuhan sastra yang
diproduksi secara bilingual (dua bahasa) atau multilingual (banyak bahasa)
masyarakat dengan ras yang bercampur sejak tahun 1950-an rasional dapat
ditentang oleh seorang penulis yang mencari sebuah sudut pandang baru. Dalam penghormatannya pada Borges setelah kematiannya pada tahun 1986,
Octavio berkata:
"Orang-orang Eropa terkejut pada keuniversalan
Borges, tapi tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa kosmopolitanisme ini
memang dan hanya dapat menjadi sudut pandang orang-orang Amerika latin...
Sebuah cara yang berbau non Eropa. Baik di dalam maupun di luar budaya Amerika,
Amerika latin dapat melihat bangs barat secara total, dan tidak dengan visi
provinsial yang parah dari orang-orang Prancis, orang-orang Jerman, orang-orang
Inggris, ataupun orang-orang Italia."
Referensi Paz untuk provinsialisme Eropa menunjukan
perbedaan Kavanagh antara paroki (berkenaan dengan gereja) dan provinsial dalam
tulisantulisan di Irlandia, telah dibahas di bab 3. Paralel ini merupakan
paralel yang baik, karena ini sesuai untuk memperbaiki anggapan bahwa Eropa
adalah pusat, dengan siapa pun yang diluar provinsi-provinsi itu model
kekaisaran kuno Roma yang telah diserap dengan mendalam oleh peradapan
selanjutnya. Sehingga contohnya Ovid menulis dalam karyanya Tristia sebagai
ratapan menentang nasibnya karena telah dijatuhi hukuman untuk diasingkan jauh
dari pusat, diluar dari apa yang ia terima sebagai keuntungan di kekaisaran.
Aspek dari tema pengangsingan itu, diusir di provinsi yang j auh dari tempat
dimana semua mata memandang banyak penulis Eropa dengan wajar, tetapi di luar
Eropa hal ini berubah secara signifikan. Ilmu pembanding dengan tema dan citra
pengangsingan seperti yang digunakan oleh para penulis China, Eropa, dan
Karibia contohnya, akan menghasilkan beberapa perbedaan yang menarik. Kavanagh
menyatakan dengan cukup benar, bahwa perspektif provinsial selalu memandang ke
tempat lain, melihat pusat yang diingkari, sementara pandangan paroki cenderung
bersifat ke dalam dan sebagai akibatnya menjadi universal. Parokialismetak
memiliki apa-apa untuk sebuah pusat yang ada di suatu tempat. Dimanapun hanya
berhenti untuk menjadi sesuatu yang penting.
Perkembangan realita magic fiksi Amerika Latin
dapat ditemukan asal usulnya pada banyak pandangan realita yang diwariskan oleh
periode pre-Columbian dan colonial masa lalu. Makhluk dalam gambaran fiksi
penjelajah bangsa Eropa ditindihkan pada mitos binatang dari kuil-kuil dewa
pre-Columbian kuno; tindakan penguasa yang zalim dan politikus tidak jujur
sudah dicampur dengan cerita orang suci dan orang alim dari tradisi Kristen
Katholik; pengetahuan ilmiah dan impian yang tidak mungkin duduk berdampingan
dalam sebuah ilmu. Novel karangan Garcia Marquez, Autumn of thr Patriarch,
(1976) menggabungkan informasi historis tentang generasi dictator yang berbeda yang bertindak kejam
yang ditulis sesuai imajinasinya, dan novel Roa Bastos yang berjudul I, the
Supreme One (1974) juga menggabungkan fakta dan imajinasi dengan kekuatan yang
mengerikan dan tidak masuk akal. Para penulis Amerika Latin seringkali
menunjukkan kesulitan dalam menggambarkan barisan kata-kata yang jelas antara
fakta dan imajinasi, dan sebenarnya tulisan mereka mendorong kita untuk
memikirkan kembali terminologi itu. Apa yang dapat kita peroleh dari novel,
contohnya novel karangan Luisa Valenzuela, The
Lizard's Tale (1983), yang menggambarkan terror Argentina pada tahun
1970-an yang menggunakan teknik narasi surrealism, dimana penulis muncul
sebagai seorang tokoh dalam bukunya? Dan cerita bagaimana bangsa Inggris
menyelundupkan tanaman karet keluar dari Brazil untuk membangun perkebunan
milik mereka yang sangat menguntungkan di Asia Tenggara, dengan cara itu mereka
menghancurkan keuntungan yang besar dari petani karet di Amazon, bangsa Inggris
bahkan telah membangun istana dan gedung opera di tanah yang dulunya bekas
hutan yang telah dibersihkan oleh budak Indian. Cerita itu sangat fantastic,
cerita itu lebih menjadi harapan dari cerita fiksi daripada harapan dari
sejarah.
Percampuran budaya, yang terjadi secara brutal,
sudah menghasilkan banyak kelompok masyarakat yang berbeda-beda di Afrika,
Amerika Latin, Caribbean pada saat ini, dan bukti dari jaringan kompleks urutan
cerita kebudayaan itu dapat ditemukan dalam sastra wilayah tersebut. Realita
magic sudah muncul untuk digunakan kritikus bangsa Eropa untuk menggambarkan
rencana hebat hasil tulisan dari bagian dunia lainnya, tidak hanya di Amerika
Latin, tetapi hasil tulisan bangsa India, Turki, Ceko, Roma, atau
Nigeriadimanapun novelis muncul untuk menolak batasan cara realita cerita
fiksi.
Realita magic melibatkan pembaca dalam langkah
perseptual antar system. Edward Brathwaite, seorang penulis berkebangsaan
Caribbean, mengulangi ungkapan Carlos Fuentes tentang tugas penulis untuk
memberikan nama pada dunia baru realita post-kolonial, dan dia melihat bahwa
proses penamaan itu serupa dengan sebuah pencarian:
Di Caribbean, apakah itu ber-ras Afrika atau
Amerindian, pengakuan hubungan ke-nenekmoyang-an dengan kebudayaan suku
aborigin melibatkan seniman, pelaku sejarah, dan daerah pedalaman yang pada
waktu yang sama terjadi pergerakan pengambilalihan ke masa sekarang dan masa
depan. Melalui pergerakan pengambilalihan ini kita menjadi diri kita sendiri, benar-benar menjadi kreator diri kita sendiri, yang menemukan kata untuk
maksud, gambaran untuk kata.
Pergerakan pengambilalihan memerlukan syarat-syarat
terkait dengan sejarah yang meliputi penemuan suara, pemberian nama terhadap
sesuatu, dan menunjukkan ke seluruh dunia apa yang terjadi sepanjang sejarah,
dan di sini kita menemukan bahwa di samping perkembangan cerita narasi yang
bisa diistilahkan sebagai `realita magic', ada sebuah tradisi yang kuat yaitu
`cerita narasi relita', yang menggambarkan kesengitan yang amat besar terhadap
colonial dan tentang peninggalan mereka yang ada saat ini. Contohnya Sastra
Chicano dicemaskan dengan penggambaran kegawatan pekerja pertanian, petani,
penduduk desa, dan kerusakan remaja di Chicano. Mencerminkan novel dari
Chicano, Joseph Sommers menyatakan bahwa penelitian kebudayaan bandingan
mungkin mempertimbangkan hasil karya seorang novelis besar seperti Tomas
Rivera, disamping itu juga harus memperhatikan novelis lainnya seperti Robert
Musil, J. D. Salinger, Richard Wright, Mario Vargas Llosa, atau Chinua Achebe.
Karena Achebe dan Rivera menulis tentang dampak colonial terhadap masa
sekarang, dengan demikian dalam waktu yang bersamaan mereka juga menjelaskan
ketidakadilan social dan berusaha untuk memulihkan harga diri bangsa Chicano
atau Afrika pada diri mereka sendiri. Dan seperti kebanyakan novelist Chicano,
penggambaran realita sebagian besar novelis Afrika bisa dikatakan sebagai
reaksi melawan tindakan romantisasi novelis berkebangsaan Amerika-Afrika atau
Amerika-Meksiko dalam sastra colonial. Dengan penuh arti, sangat banyak novel
realita post-kolonial menokohkan anak-anak dan remaja sebagai tokoh
protagonist, sehingga kemajuan pembaca mengikuti perkembangan tokoh si anak
melalui tahapan penemuan, seringkali melalui kekecewaan yang berputar turun.
Sastra bandingan post-kolonial juga merupakan
perjalanan penemuan. Di masa ini, bukannya bangsa Eropa yang memulai perjalanan
mencari kekayaan dan lahan baru untuk menaklukkan, namun dengan dilengkapi peta
dan grafik sebagai pertolongan, perjalanan ini adalah satu menuju kesadaran
diri sendiri, menuju pengakuan tanggung jawab, perasaan bersalah, keterlibatan
dalam kejahatan, dan penipuan dalam kreasi dunia yang berkelak-kelok dari
tulisan kontemporer. Bangsa Eropa tidak lagi memulai perjalanan dari pusat
dunia, sebab pusat dan batas luar sudah didefinisikan ulang. Novel bahasa
Inggris, yang akan tenggelam tanpa bekas, sudah dihidupkan kembali oleh
vitalitas hasil tulisan novelis di Inggris yang tidak pernah ke Kerajaan Inggris Raya dan tidak tertarik untuk mengunjunginya. George
Lamming menjelaskan apa yang terjadi:
Ada kecenderungan untuk berbicara tentang
kolonialisme dan seolah-olah kolonialisme semata-mata adalah pengalaman buruk.
Pemikiran semacam itu merupakan pemikiran yang sangat sempit. Ada dua benda
dengan dua arah. Kolonialisme merupakan pengalaman buruk sekaligus pengalaman
baik. Hanya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memahami hakikat
keberanian itu.
Penelitian sastra bandingan pada tahun 1990-an
harus bekerja dengan pengakuan kolonialisme dan semua dampaknya seperti
ungkapan sebuah benda dengan dua arah.Pada artikel diatas disebutkan tentang
sejarah pelayaran bangsa eropa dalam menemukan daerah baru yang memiliki
kekayaan dan layak dijadikan tempat tinggal baru. Tujuan diadakannya
penjelajahan ini adalah untuk mendapatkan kekayaan, kejayaan, dan pengaruh.
Dalam melakukan penjelajahannya, bangsa Eropa berhasil menemukan banyak daerah
asing yang mempunyai potensi untuk memenuhi ambisi bangsa eropa. Karena
keberhasilannya inilah, bangsa Eropa merasa bahwa bangsa mereka adalah bangsa
yang paling besar dan berkuasa. Karena anggapan inilah, bangsa Eropa memandang remeh
bangsa lain. Bangsa Eropa berusaha menguasai seluruh daerah di dunia. Bangsa
Eropa berusaha memusnahkan penduduk ash Amerika dengan melakukan pemusnahan
besar besaran. Begitu juga dengan bangsa asli Afrika, yang terkenal dengan nama
bangsa Negro, bangsa kulit hitam. Bangsa Eropa memperlakukan bangsa Afrika
sangat kejam. Perlakuan kejam ini adalah dengan menjadikan bangsa kulit hitam
sebagai budak dan diperlakukan sangat kasar. Hal ini membuat banyak tokoh
bersimpati dengan bangsa Afrika, dengan adanya rasialisme ini.
Tindakan bangsa Eropa yang semena mena terhadap
bangsa kulit hhitam di Afrika membuat bangsa Afrika merasa rendah diri dan
kehilangan rasa percaya diri. Bangsa kulit hitam merasa diinjak injak oleh
bangsa Eropa, bangsa Afrika melakukan perlawanan terhadap bangsa Eropa.
Kekejaman terhadap rasialisme bangsa Eropa ternyata merambat dalam bidang
sastra. Di Afrika, dalam mempelajari sastra harus hati-hati, karena sastra
Afrika berhubungan dengan antropologi bangsa Afrika itu sendiri. Sastra yang dipelajari
di Afrika berhubungan dengan kekejaman rasial yang dilakukan oleh bangsa Eropa.
Dalam mempelajari sastra pada jaman post kolonialisme Eropa (bangsa barat) ini,
masih terdapat berbagai batasan-batasan dalam menganalisa sastra.
Zaman kolonialisme yang sudah
berhasil membawa pandangan baru dalam mempelajari sastra. Kini, setelah lepas
dari kolonialisme, dalam mempelajari sastra dapat lebih luas dan lebih bebas.
Kini tidak lagi merasa ketakukan dalam mempelajari sastra karena sudah tidak
ada konflik rasialisme seperti yang terjadi pada bangsa kulit hitam di Afrika.
Dengan bebasnya mempelajari sastra ini, pengetahuan tentang sastra dapat lebih
di eksploitasi dan digali lagi agar dapat mengahsilkan karya dengan lebih
maksimal.
Sastra bandingan post-kolonial juga merupakan
perjalanan penemuan. Di masa ini, bukannya bangsa Eropa yang memulai perjalanan
mencari kekayaan dan lahan baru untuk menaklukkan, namun dengan dilengkapi peta
dan grafik sebagai pertolongan, perjalanan ini adalah satu menuju kesadaran
diri sendiri, menuju pengakuan tanggung jawab, perasaan bersalah, keterlibatan
dalam kejahatan, dan penipuan dalam kreasi dunia yang berkelak-kelok dari
tulisan kontemporer. Bangsa Eropa tidak lagi memulai perjalanan dari pusat
dunia, sebab pusat dan batas luar sudah didefinisikan ulang. Novel bahasa
Inggris, yang akan tenggelam tanpa bekas, sudah dihidupkan kembali oleh
vitalitas hasil tulisan novelis di Inggris yang tidak pernah ke Kerajaan
Inggris Raya dan tidak tertarik untuk mengunjunginya. Pada dasrnya kolonialisme
bukanlah pengalaman buruk namun hanya membutuhkan waktu yang lama untuk
memahaminya. Dengan penuh arti, sangat banyak novel realita post-kolonial
menokohkan anak-anak dan remaja sebagai tokoh protagonist, sehingga kemajuan
pembaca mengikuti perkembangan tokoh si anak melalui tahapan penemuan,
seringkali melalui kekecewaan yang berputar turun.
Pergerakan pengambilalihan memerlukan syarat-syarat
terkait dengan sejarah yang meliputi penemuan suara, pemberian nama terhadap
sesuatu, dan menunjukkan ke seluruh dunia apa yang terjadi sepanjang sejarah,
dan di sini kita menemukan bahwa di samping perkembangan cerita narasi yang
bisa diistilahkan sebagai `realita magic', ada sebuah tradisi yang kuat yaitu
`cerita narasi relita', yang menggambarkan kesengitan yang amat besar terhadap
kolonial dan tentang peninggalan mereka yang ada saat ini.
Sejarah tentang adanya sastra bandingan di dunia
sangat beragam dan panjang. Sejarah munculnya sastra bandingan tidak terlepas
dari adanya sejarah penjelajahan dunia. Penjelajahan yang diadakan oleh bangsa
Eropa dalam usaha mencari daerah baru, membuka pengetahuan baru dalam berbgai
bidang. Pengetahuan baru itu muncul dari berbagai konflik yang ada. Konflik
yang dominan daalm artikel ini adalah konflik tentang adanya rasialisme yang
terjadi pada bangsa kulit hitam di Afrika yang dilakukan oleh bangsa kulit
putih Eropa. Perlakuan bangsa kulit putih dalam memperlakukan bangsa kulit hitam yang tidak
berperikemanusiaan membuat banyak pihak merasa bersimpati pada bangsa kulit
hitam. Dengan adaanya konflik ini, cerita-cerita tentang kisah hidup bangsa
kulit hitam yang di jajah oleh bangsa Eropa berkembang dan menjadikan kisah ini
sebagai awal mula sastra dunia.
Komentar kelompok kami tentang artikel ini adalah
sejarah dunia merupakan asal mula muculnya sastra bandingan. Sehingga,
keberadaan antara perstiwa yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan.
Hal ini terbukti dari lahirnya sastra bandingan adalah tidak terlepas dari
sejarah dunia. Begitu juga dengan konflik yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di
dunia menjadikan sastra sebagai sarana penghubung bagi peristiwa itu untuk
disampaikan kepada orang lain. Perbedaaan sastra pada masa postkolonialisme dan
sesudahnya merupakan gambaran tentang betapa susahnya mempelajari sastra pada
saat post kolonialisme, dimana saat mempelajari sastra dibatasi. Sejarah sangat
berpengaruh bagi kehidupan kita dalam berbagai bidang, sehingga, jangan
meremehkan sejarah.
Menurut pendapat kami, pada teks ini banyak
membahas mengenai penemuan sejarah ditemukannya berbagai benua yang ada di
dunia, sejalan dengan ditemukannya banyak benua di dunia ditemukannya juga
sejarah perkembangan sastra, khususnya sastra bandingan yang banyak dipelajari
dan dikembangkan di Benua Eropa. Percampuran budaya, yang terjadi secara
brutal,
C. Sastra Terjemahan dan Sastra
Bandingan
Sungguh problematis ketika sastra bandingan harus
melirik sastra terjemahan. Kalau memperhatikan pembelaan Jassin terhadap
Chairil Anwar dan Hamka, yang dihujat oleh penulis sastra sastra bandingan
manca negara, banyak hal yang perlu direnungkan. Tahun 1962, Hamka dituduh
sebagai plagiat ketika menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Trisman,
dkk, 2003:1-2). Novel ini dianggap memiliki kemiripan dengan karya seorang
pengarang Mesir Mustahfa Luthfi Al Manfaluthi. Menurut Jassin, Hamka sekedar
mengadaptasi karya pengarang Mesir itu. Demikian halnya Chairil Anwar, oleh
Jassin dinyatakan hanya menyadur dan menterjemahkan karya sastrawan
mancanegara.
Kasus demikian, mengindikasikan dua unsur utama
sastra bandingan, yaitu: (a) membanding karya sastra antar negara, (b) merunut
terjadinya plagiarisme, adaptasi, saduran, dan terjemahan. Dari kasus itu,
tampaknya sastra terjemahan menjadi “penyelamat” dari hujatan atau tuduhan.
Sastra terjemahan, seakan-akan dianggap legal, adapun yang lain justru dianggap kecurangan. Studi penterjemahan sastra dalam sastra bandingan
mempunyai implikasi yang besar terhadap sastra bandingan pada masa yang akan
datang. Studi penterjemahan tersebut sangat berkaitan dalam hal perkembangan
perluasan sastra secara cepat. Munculnya istilah penggunaan "studi
bandingan", muncul pada tahun 1970-an yang sampai sekarang sedemikian
luasnya dimana banyak yang mempertimbangkan menjadi suatu mata pelajaran dalam kebenarannya
sendiri.
Di dalam terminologi sederhana, negara-negara Eropa
yang muncul pada awal abad ke sembilan belas, yang terlibat dalam perjuangan
melawan AustroHungarian atau Dinasti Ottoman, begitu bergairah untuk
menterjemahkan, dan mengapa terjemahan ke dalam Bahasa Inggris mulai berkurang
ketika Kerajaan Britania memperluas genggamannya. Kemudian, ketika Bahasa
Inggris menjadi bahasa dari diplomasi internasional pada abad ke duapuluh, ada
sedikit yang harus diterjemahkan, sehingga adanya kemiskinan terjemahan abad ke
duapuluh yang relatif ke dalam Bahasa Inggris.
Kita harus menaksir kembali peran studi terjemahan
terhadap bandingan sastra, selagi bandingan sastra di Barat sepertinya
mengalami kemunduran, bahkan waktu itu menjadi lebih remang-remang dan dengan
bebas menggambarkan, maka studi terjemahan sedang mengalami proses kebalikan.
Penting bagi linguistik untuk memikirkan kembali hubungannya dengan semiotik
sehingga waktunya sedang mendekati bandingan sastra untuk memikirkan kembali
hubungannya dengan studi terjemahan. Semiotik pada mulanya sebagai sub-kategori
linguistik, dan linguistik pada hakekatnya suatu cabang disiplin yang lebih
luas. Sastra bandingan telah mengklaim tema-tema sebagai sub bagian penting
ketika studi terjemahan semakin kuat sebagai pokok mendasarkan inter-kultural
studi dan menawarkan suatu metodologi, kedua-duanya dalam kaitan dengan
pekerjaan deskriptif dan teoritis, maka bandingan sastra nampak lebih sedikit
seperti suatu disiplin dan lebih seperti suatu cabang hal lain.
D. Tahapan dan Keharusan
Terjemahan Sastra
Sastra bandingan mengalami kemunduran yang
signifikan beberapa tahun ini, meskipun ia telah berkembang di bawah tatanan
ilmu lainnya. Hubungan antara sastra bandingan dan pelajaran terjemahan menjadi
sebuah masalah yang komplek. Terjemahan dianggap sebagai aktivitas yang
menggunakan kreativitas dan kemampuan yang minim.
Abad ke-19 status terjemahan
dianggap lebih rendah dari naskah/teks asli dan sastra bandingan. Kelompok
bandingan dengan kuat bersaing melawan pemikiran terjemahan. Pada tahun 1970
kelompok pelajar malui untuk menawarkan pandangan yang berbeda pada pembelajran
terjemahan. Evan Zohar memulai dengan merangkum pandangan yang berlaku tau yang
sering digunakan pada terjemahan, sebelum dia mengajukan pendekatan yang
sistematis. Kata-kata yang ditekankan oleh Evan Zohar adlah sebgai bagian dari
tulisan ilmiah yang memprioritaskan keaslian dan memandang terjemahan sebagai
salinan bermutu rendah.
Terjemahan adalah kekuatan utama untuk pengembangan
budaya dunia. Di sini terjemahan berbeda dengan sastra bandingan. Hal yang
membedakan keduanya adalah metodologinya serta hal-hal yang diperhatikan di
dalamnya (objek studi). Studi terjemahan berkaitan dengan teks dan konteks,
praktis dan teori, serta dengan suatu proses yang manipulative sehingga dapat
berpengaruh pada perubahan budaya, sedangkan satra bandingan mempunyai lingkup
dan metodologi yang berbeda dengan stusi terjemahan.
Cara yang ditempuh oleh studi terjemahan mulai
untuk menaikan suatu perlawanan terhadap kekuasaan dari asli dan pengasingan
sebagai akibat suatu posisi kepatuhan. Pada awalnya melalui pekerjaan Evan-
Zohar dan teman-temannya, paling khusus Gideon Toury, pada teori polysystem.
Pendekatan radikal dari Implikasi Evan yaitu polisistemik Zohar ke terjemahan
dengan seketika jelas bersih. Terjemahan bisa diperlakukan sebagai suatu
kekuatan yang membentuk keutamaan di dalam sejarah berkaitan
kesusasteraan.Didalam suatu catatan pada 1976, Evan Zohar membantah
kondisi-kondisi yang menentukan aktivitas terjemahan didalam suatu kultur. Ia
mengidentifikasi tiga kasus utama, yaitu (a) ketika suatu sastra dalam suatu
tahap awal pengembangan; (b) ketika suatu sastra merasa dirinya sendiri menjadi
kelemahan; (c) ketika ada yang memutar poin-poin atau ruang hampa yang
berkaitan dengan kesusasteraan.
Tymoczko menyatakan bahwa terjemahan suatu pokok
yang memisahkan dalam pergeseran dan menunjuk ke luar unsur-unsur romans yang
dapat diusut didalamnya. Dahulu terjemahan, dan romans itu muncul dari suatu
multicultural konteks. Dengan memusatkan tidak hanya pada puitis tetapi juga
pada rata-rata produksi, dengan jiplakan gerak yang berangsur-angsur ke arah
pekerjaan authored menulis untuk pelindung. Pada jaman sekarang ini teks
diterjemahkan ketika compile dari
daftar penerbit menawarkan suatu yang baik menyangkut hipotesis dari sistem
yang berkaitan dengan kesusasteraan yang mana merasa diri mereka sebagai tokoh
utama.
Mancura menyarankan bahwa fungsi
ekspropriatif merupakan hal yang penting dalam kebangkitan ceko yaitu dikondisikandengan
teks-teks terpilih untuk terjemahan ia menafsirkan kembali kasus terjemahan paradise lost oleh Jungmann, yang
diperdebatkan secara hangatdengan kritik selama berpuluh-puluh tahun dan
berargumentasi bahwa terjemahan ini adalah sebuah usaha yang dilakukan secara
sadar untuk membawa kedalam sebuah system kesusastraan yang diperbarui yang
tidak diduga-duga, sebuah teks yang mewakili amalgam dari kebudayaan yang
berbeda (Kristen, lewish, pagan) yang digabungkan dalam kebudayaan manusia dan
itulah sebabnya bahwa karya Milton memiliki fungsi simbolis juga sebagai sebuah
alat untuk menekankan universilatitas dari penduduk asli pan-slaus.
Jenis kesarjanaan ini, yang sering melibatkan
revisi radikal dari sejarah kebudayaan dan kesusastraan telah dimungkinkan
dengan kemajuan dalam studi terjemahan dan khususnya dengan teori multisistem.
Sistem target dan peranan, dan statusnya dalam system tersebut membuat pemetaan
sejarah teori dan paham kritik terjemahan. Dalam perkembangan sebuah system
kasusastraan, dengan sebuah pandangan untuk membentuk apakah terjemahan
memainkan peranan konservatif atau inovatif.
Secara signifikan, Lambert dan Van Gorp mencatat
bahwa,"manfaat utama dari skema adalah memungkinkan kita untuk melewati
ide tradisional yang berkaitan dengan " kesetiaan dan bahkan kualitas
terjemahan yang utamanya berorientasi sumber dan tidak dapat dielakkan secara
normatif. Dalam perkembangan studi terjemahan dapat dibedakan menjadi dua tahap
yaitu: (1) secara kuat dipengaruhi oleh teori polisistem yang melibatkan karya
yang tidak dikontekskan dalam linguistik ditantang dalam satu pihak. Teori
polisistem beragumentasi bahwa sistem-sistem tersebut tidak pernah diposisiskan
secara identik, dan pemahaman tersebut tentang superioritas atau inferioritas dari
sebuah teks atau sebuah system kesusastraan selalu dalam permainan; (2) dari
studi terjemahan bergerak di luar batas tantangan untuk wacana sebelumnya, dan
secara prinsip dihubungkan dengan pemetaan, dengan pola meninggalkan jejak dari
kegiatan terjemahan saat kesempatan yang diberikan dalam sekejap. Penekanan
dalam fase ini masih didominasi pada sistem target, tetapi sebuah masalah besar
dari penelitian historis yang penting mulai muncul. Saat ini ada yang
mengusulkan bahwa Amerika Latin bisa dilihat sebagai suatu
"penerjemah" Eropa, meskipun dalam penerjemah yang dipahami dalam
perasaan yang diperdebatkan oleh Benjamin dan Derrida, yaitu sebagai suatu masa
setelah kehidupan, suatu pertahanan diri, suatu keberlanjutan melalui renaisan (kebangkitan kembali),
dan bukan sebagai suatu salinan/kopian.
Imitasi dan pengaruh dalam rasa tradisional pada
kata tidak lagi memungkinkan. Antropolog tidak ingin mengkopi budaya Eropa,
tetapi ingin menerimanya mentah-mentah yang mengambil keuntungan dari
aspek-aspek positifnya, dengan menolak hal yang negatif dan menciptakan sesuatu
budaya nasional yang asli yang akan menjadi sumber ekspresi artistik dari pada
menjadi suatu wadah untuk bentuk-bentuk ekspresi budaya yang sudah terdapat
dimana-mana. Secara signifikan, para penerjemah menghubungkan dengan
perkembangan baru dalam teori penerjemahan yang dibahas sebelumnya, karena apa
yang semuanya kita miliki pada umumnya merupakan suatu penolakan hierarki
kekuatan yang mengistimewakan teks sumber dan memindahkan penerjemah menuju
peran sekunder. Teri-teori tentang penerjemahan dan tulisan feminis seperti
yang diungkapkan oleh Helene Cixous menyebutkan bahwa tulisan feminis terdapat
pada dua kutub antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya penerjemahan
dengan dasar dari kiasan "belles
invideles" bahwa original itu adalah maskulin sedangkan teks sasaran
adalah feminin dan penterjemahan itu berada di antara dua hal.
Beberapa karya penerjemahan feminis di Kanada telah
berpusat pada ahli teori dan penerjemah yang lesbian. Kathy Mezey menggambarkan
proses penerjemahan sebagai sebuah kumpulan tindakan membaca dan menulis dengan
mengetahui bahwa seorang penerjemah itu adalah seorang pembaca dan penulis.
Seorang penerjemah harus membaca dan menulis bnerulang kali. Menurut Barbara Godard,
seorang sarjana penerjemah Kanada yang lain mengemukakan bahwa perbedaan dalam
penerjemahan bagi kaum tradisional adalah sesuatu yang negatif, sedangkan bagi
kaum feminis itu adalah hal positif yang merupakan faktor kunci dalam proses
kognitif dan praksis kritis. Suzanne de Lotbiniere menyatakan bahwa praktek
penerjemahan adalah sebuah aktivitas politis sebagai sebuah tindakan penemuan
linguistik yang sering memperkaya teks asli dari pada merusaknya. Kelompok ahli
teori penerjemahan Brazil dan Kanada memiliki tujuan politis sendiri ketika
menerjemahkan. Hal ini ditujukan untuk menegaskan hak mereka sebagai orang
Brazil dan untuk mebaca dan memiliki kembali sastra Eropa yang resmi. Sedangkan
wanita Kanada terbentuk menjadi kaum Feminis.
Karya sastra diciptakan oleh seorang sastrawan
untuk dinikmati, dipahami kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu
sendiri adalah bagian dari masyarakat yang tak lepas dari kaidah pemikiran yang
diperoleh dari budaya kolektifnya. Jadi untuk memahami karya sastra hendaklah mengerti mengenai latar belakang dari seorang penulis
karya sastra. Dalam pernyataan diatas, adalah hal yang sangat mendasar untuk
memahami hakekat belajar sastra. Jadi seorang sastrawan menciptakan sebuah
karya sastra tidak lepas dari pengalaman hidupnya.
Dalam artikel di atas bisa kita pahami bahwa dahulu
orang-orang eropa telah mengenal sastra. Banyak karya-karya yang diciptakan,
namun dalam rangka menerjemahkan sebuah karya sastra, seorang dituntut untuk
dapat mengikuti jejak pemikiran sang penulis. karya sastra sendiri
diterjemahkan tanpa adanya daya kritis yang dapat mengembangkan
pemikiran-pemikiran lain. Menurut kami kegiatan menerjemahkan seperti ini
adalah seperti layaknya orang mengopy sebuah naskah. Hasilnya sama persis, jika
terdapat perbedaan hanya sedikit sekali. Sesungguhnya yang dapat kita pikirkan
kembali yaitu dalam rangka menerjemahkan sebuah karya sastra kita dapat
melahirkan sebuah karya sastra baru seperti yang dikatakan Madame De Gournay
dalam artikel di atas. Karya yang baru itu adalah karya yang terdapat dalam
imajinasi diri kita. Meski karya yang kita baca bukan hasil karya sastra kita,
namun dalam rncinaknai kita dapat memunculkan gagasan baru, ide baru yang tidak
secara eksplisit ditunjukan dalam karya sastra yang kita baca.
Pemikiran baru itu ada karena adanya sebuah
pemahaman lain di dalam imajinasi kita. Setiap orang akan mempunyai
interpretasi sendiri dalam mamaknai sebauah karya sastra. Jadi bisa di bilang
bahwa ketika karya sastra itu muncul setiap orang berhak untuk memilikinya.
Dalam arti memiliki makna atau maksud dari sebauh karya sastra. Kemudian
cara-cara yang mungkin dapat dipakai dalam rangka mempermudah mempelajari dan
memahami karya sastra yaitu dengan cara:
1.
Penerjemah
juga harus dapat menyimpulkan apa tujuan penulisan teks tersebut. Ya, apakah
untuk memberikan informasi, memengaruhi, sekadar hiburan, dan sebagainya.
2.
Penerjemah
juga harus memahami kata-kata yang dipergunakan dalam menyatakan maksud penulis
pada teks sumber. Sebab, kerap si penulis menggunakan banyak kombinasi acuan,
diagram, statistik, clan lain-lainnya.
3. Penerjemah juga harus dapat
melihat tingkat kesukaran dari teks yang akan diterjemahkan. Dia juga harus
dapat memperkirakan waktu yang dibutuhkannya untuk menerjemahkan.
4. Perlu diingat bahwa seorang
penerjemah bisa dipegang kata-katanya. Sebab, jika ia sudah menyanggupi untuk
menerjemahkan teks sumber dalam tiga hari, jangan pernah minta waktu tambahan.
Tentu, karena hal tersebut hanya akan menunjukkan bahwa si penerjemah itu tidak
profesional.
5. Memang, kegiatan terjemahan
ternyata tak semudah yang diperkirakan. Cukup banyak hal yang harus
diperhatikan. Dan, seorang penerjemah profesional harus terus berusaha
menghasilkan terjemahan yang berkualitas baik.
6.
Perlu
kesabaran dan keinginan tinggi untuk terus berlatih dan belajar. Ada baiknya
bila penerjemah menyimpan daftar kata-kata yang mempunyai arti khusus dari teks
yang sudah diterjemahkannya.
7.
Kiranya,
semakin lama jam terbang penerjemah, semakin cepat ia dapat menghasilkan
penerjemahan yang berkualitas baik. Ada kualitas, tentu ada harga. Dengan
kualitas itulah, menjadi penerjemah merupakan alternatif pekerjaan yang cukup
menjanjikan.
Dari aneka pemikiran sastra dan terjemahan Jos
(1974) tersebut, dapat saya kemukakan bahwa sastra bandingan memang tidak dapat
lepas dari sastra terjemahan. Sastra terjemahan sering menjadi penyokong
terbesar hadirnya kajian sastra bandingan. Materi sastra bandingan sebagian
besar lahir dari sastra terjemahan. Biarpun niat awal sastra terjemahan cenderung
sebagai upaya desiminasi sastra, namun realitasnya justru menarik bagi
pangkejian sastra bandingan. Apakah ada penampahan dan pengurangan ideologi
antara sumber asli dan terjemahan, seluruhnya dapat dilacak.
0 komentar:
Posting Komentar