Pages

Selasa, 14 Mei 2019

SASTRA BANDINGAN 5. PEMICU PENGKAJIAN SASTRA BANDINGAN



PEMICU PENGKAJIAN SASTRA BANDINGAN

A. Sastra Bandingan dalam Konteks Postkolonial

Dunia postkolonial telah melahirkan fakta-fakta baru dalam sastra. Postkolonial sering menjadi pemicu utama hadirnya sastra bandingan. Dominasi penjajah, sering memunculkan protes kaum terjajah. Penakhlukkan kaum terjajah, jelas menjadi wacana postkolonial yang penting dalam sastra bandingan. Hal ini dapat dipahami melalui bandingan pola peresapan (infiltrasi) bangsa Eropa terhadap bangsa Afrika dan bangsa Amerika. Pergerakan ke pedalaman di benua Amerika Selatan dan Utara berlangsung lumayan cepat. Dalam hal ini, Gifford (1993) secara detail melukiskan bagaimana sepak terjang dunia postkolonial dalam kaitannya studi sastra bandingan.
Kalau menengok kolonialis Belanda di Indonesia, telah terpancar pada karya-karya di jaman Balai Pustaka. Tidak sedikit karya sastra Indonesia, terutama Jawa yang disalin oleh kolonialis Belanda, diboyong ke negaranya. Peristiwa tersebut juga terjadi pada negara-negara jajahan lain di seluruh dunia. Itulah sebabnya pergulatan sastra tidak akan lepas dari peristiwa sejarah dan politik suatu bangsa. Karya sastra menjadi saksi jaman.

Perdagangan budak yang menguntungkan membuktikan pola pergerakan ke arah barat dari Eropa dan Afrika menuju benua Amerika, dan secara perlahan-lahan mitos Heart of Darkness di Afrika menjadi sebuah tempat dari kegelapan dan ketakutan, dimana kegelapan hutan yang sangat banyak mengkombinasikan dengan kulit hitam dan gagasan semangat pemujaan dan kekuasaan yang mula-mula kejam. Heart of Darkness merinci bahwa mitos bangsa Eropa terhadap rahasia yang tidak terkenal dari Afrika Tengah, mitos yang diabadikan dalam cerita fiksi dan film sampai saat ini. Mitos-mitos demikian juga terjadi di Jawa. Kalau mau menengok bagaimana novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet dan Nrabas Beteng Amabarawa, tidak lain juga merupakan sebuah mitos dunia kolonial. Di Jawa banyak karya-karya perjuangan perlawanan pada penjajah Belanda. Pada umumnya karya-karya tersebut sengaja digubah untuk mendokumentasikan jaman.

Wole Soyinka, penulis terkenal dan Profesor sastra bandingan, mengatakan dalam bukunya Myth, Sastrae and the African World, usahanya pada awal tahun 1970-an untuk memberikan serangkaian perkuliahan tentang Sastra Afrika di Cambridge. Perkuliahannya diberikan di bawah pengawasan Jurusan Antropologi Sosial, karena Jurusan Sastra Inggris tidak percaya pada kekejaman apapun seperti `Sastra Afrika'. Penelitian terhadap kebudayaan Afrika telah dikelompokkan dengan cara khusus, dan objek penelitian tentang antropologi dan bukan tentang sastranya. Saya tidak menolak kajian sastra dan antropologi ini berjalan seiring, sebab keterkaitan keduanya memang amat erat. Selama lebih tujuh tahun saya belajar antropologi dan lebih 10 tahun belajar sastra, ternyata titik temua keduanya memang tidak perlu diragukan. Maka tidak perlu heran kalau Soyinka mengakui system kategorisasi ini, dan mencatat bahwa banyak universitas di Afrika yang memiliki masalah menemukan tempat untuk Sastra Afrika, universitas itu telah dilengkapi dengan model Eropa dan diatur oleh para ilmuwan Eropa yang sudah terlatih.

Kritik Soyinka terhadap marjinalisasi sastra Afrika tersebut penting. Dia memperhatikan penyimpangan antroplogis dari banyak hasil penelitian bangsa Eropa terhadap Afrika, sama halnya dengan Hulme yang memancing perhatian lainnya, dimana cara ini meninggalkan penganut sastra bandingan Eropa? Reaksi orang Afrika terhadap apa yang disebut Chinua Achebe sebagai `Kecaman Kolonialis', yang ditandai oleh kepercayaannya pada keunggulan hasil sastra dunia Hellenic dan Kristen-Judaeo, telah membimbing, berkali-kali, kepada sikap menonjolkan diri sendiri secara agresif dan kepada debat yang sengit di antara kritikus Afrika pada poin yang berbeda sepanjang jajaran perlawanan kepada model Eropa. Bahkan cara itu mengusulkan bahwa hanya orang Afrika yang bisa belajar sastra Afrika, janji yang, jika secara universal diterapkan, secara efektif akan melarang kritikus apapun untuk belajar teks tertulis diluar kebudayaan yang mereka miliki. Seperti Jahnheinz Jahn yang berkomentar, kritikus sastra Afrika sudah cenderung menjadi `rasis, nasionalis atau individualis'. Jadi pada satu pandangan ekstrim kita mungkin bisa menerima pandangan sastra Eropa yang menolak untuk mengenal sastra Afrika dan menyatakan penelitian di Afrika adalah murni penelitian antropologis, sedangkan dalam pandangan ekstrim lain kita mungkin bisa menerima pandangan sastra Afrika yang menyalahkan pengaruh model kesusasteraan Eropa apapunbeserta penolakan kolonialisme.

Meskipun polarisasi ini (dan dengan tidak menggembirakan, masih ada beberapa sarjana yang menjadi bagian dari salah satu hipotesis ekstrimis ini), bekerja bahwa pada saat ini sedang berkembang yang terlihat secara relatif pada kebudayaan post-kolonial dan produksi kesusasteraan polarisasi ini menawarkan jalan maju untuk bekas penjajah dan serupa penjajah. Ashcroft, dkk. Menyatakan bahwa teori kesusateraan post-kolonial sudah mulai untuk berhubungan dengan masalah perubahan waktu ke tempat, dengan perjuangan saat ini keluar dari masa lalu, dan seperti kebanyakan sastra post-colonial akhir-akhir ini, teori itu berusaha untuk membangun masa depan. Dunia post-kolonial adalah sesuatu dimana pertempuran budaya yang bersifat merusak berubah menjadi penerimaan perbedaan pada istilah yang sama. Antara pembuat teori kesusasteraan dan sejarawan kebudayaan mulai mengenali pertukaran budaya sebagai titik akhir dari sejarah manusia yang dengan jelas tidak ada akhirnya dari penaklukan dan pemusnahan. Kekuatan teori post-kolonial mungkin dengan baik terletak pada metodologi bandingan dan peranakannya yang tidak dapat dipisahkan dan pandangan penyatuan aliran dari dunia modern yang dikandungnya.

Kedatangan istilah `post-kolonial' pada suasana kritis secara pasti harus menjadi satu dari perkembangan yang paling signifikan dalam sastra bandingan pada abad 20. Pernah kami mengambil istilah, perubahan wujud geografis, dan pertimbangan lain muncul ke permukaan. Jika kita menganggap post-kolonialisme dalam istilah yang berdasarkan sejarah, kemudian perjuangan panjang penulis Amerika Selatan dan Utara pada abad 18 dan 19 untuk menciptakan sastra milik mereka sendiri dapat dibandingkan dengan perjuangan penulis kontemporer Amerika Latin dan Afrika untuk melakukan hal yang sama. Dan pertanyaan keseluruhan dari, membentuk apa sastra yang dimiliki seseorang juga masih bisa diperdebatkan. Apakah seorang Amerika? Tanya Crevecoeur pada tahun 1782, ketika masalah definisi setelah revolusi 1776 masih sangat penting, dan dua abad kemudian orang Meksiko, Carlos Fuentes, mengikuti orang Kuba, Alejo Carpentier, untuk mendeklarasikan bahwa hasil karya penulis Amerika adalah untuk menyucikan segala sesuatu yang selain itu tidak akan dikenali. Secara signifikan Fuentes dan Carpentier menyilangkan kebudayaan menurut biografi: Fuentes tumbuh sebagai anak laki-laki dari Diplomat Meksiko di Amerika Serikat, sedangkan Carpentier, sudah bertahun-tahun di Paris dan itu sangat mempengaruhi dia.

Tema pengusiran, dari keterlibatan dan ketidakterlibatan, merupakan penghubung umum antar penulis dari kebudayaan postkolonial. Secara sama, problematika kebahasaan dan identitas nasional menawarkan titik penting keharmonisan yang lainnya. Jadi, sebagai contoh, bersama dengan penolakan Standar Bahasa Inggris yang berdasar pada British (Inggris), dan proses yang sama dapat dilihat peristiwa bahasa Eropa yang lain di masyarakat post-kolonial, disamping pertimbangan kembali logat bahasa penduduk asli. Ini berarti bahwa ada kenekaragaman harapan batasan pemikiran seseorang menurut titik awal linguistik yang dimiliki pembaca; oleh karena itu bangsa Eropa yang membaca puisi karangan penulis Caribbean seperti Jean Binta Breeze atau novel karangan penulis Afrika seperti Amos Tutuola akan menghadapi kesulitan terhadap leksikon dan sintaksis yang tidak lazim, berlawanan dengan pembaca yang membagi pemahaman tanda linguistik ini dengan penulis.



Atas dasar pemikiran tersebut, berarti terjemahan sastra akan menghasil karya-karya baru yang unik. Paling tidak, melalui terjemahan akan muncul karya sastra: (1) karya-karya mimikri dari aneka sumber, yang kemungkinan besar lebih indah dari aslinya, (2) karya-karya hibrida, yang kemungkinan hanya disalin bahasanya. Yang kedua ini pun tetap melahirkan ide-ide, sebab terjemahan itu hakikatnya juga melakukan penafsiran. Bahasa sastra adalah bahasa simbol, yang memungkin seseorang menafsirkan lebih dari dua atau lebih terjemahan.

B. Cakupan Sastra Bandingan Postkolonial

Pemicu terkuat sastra bandingan adalah munculnya terjemahan. Karya terjemahan kadang-kadang ada yang sengaja, izin, dan terstruktur, dan ada pula yang berupa terjemahan halus (saduran). Bandingan bentuk dan isi pada sastra post-kolonial memberikan banyak kemungkinan. Sama pentingnya merupakan pertanyaan penghubung sejarah bandingan sastra post-kolonial, karena ketika sudah ditunjukkan, sejarah kebudayaan Eropa-lah yang selama ini sudah menetapkan modelnya. Jadi, periode kembar Renaissance dan Romantisme digunakan kritikus Eropa sebagai tonggak pengukuran, dan periodesasi menghubungkan transisi momen ini dan momen lain.
Menurut pemikiran Jost (1974), metode tradisional periodisasi ini mempunyai berbagai jenis dampak. Contohnya, jika mengambil kebudayaan Hellenic sebagai titik tertinggi peradaban bangsa Barat, dan Kerajaan Roma sebagai kelanjutan dari cita-cita Hellenic, kita akan mengakiri sebuah peiode yang panj ang dari beberapa abad yang mengikuti keruntuhan Kerajaan Roma yang diistilahkan sebagai `Zaman Kegelapan'. Periodesasi konvensasional bangsa Eropa melihat Kerajaan Roma sebagai fase penerangan, walaupun merupakan fase yang agak agresif, yang diikuti oleh penurunan yang kemudian menuju ke kegelapan dan anarkis, yang dipulihkan pada abad 12 oleh penyebaran system hidup biara (monasticisme) dan membangun universitas di seluruh Eropa (Zaman Pertengahan). Periode ini kemudian berlangsung selama berabad-abad, sampai dasar pikiranngnya zaman Renaissance pada abad ke 14 dan 15-an, tergantung dimana posisi Anda saat membahasnya.

Sangatlah istimewa bahwa perselisihan aneh sejarah kebudayaan harus berakhir dalam jangka waktu yang sangat lama. Seperti yang telah ditunjukkan di bab 3, kemuliaan monasticisme bangsa Irlandia hanya satu dari banyak perkembangan yang memberikan kebohongan terhadap mitos abad-abad kegelapan. Namun, sebagian besar peradaban secara signifikan, selama Zaman Kegelapan', mencapai puncaknya di bagian dunia lainnya, khususnya di bagian yang dekat Eropa, yaitu Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahwa ada lompatan tinggi pada masyarakat Eropa di bidang arsitektur, matematika, kesehatan, music, puisi, filosofi, dan lain-lain di abad 12-an tidak dapat disangkal, tetapi ada sesuatu yang kemudian disangkal dan dihapuskan yaitu pengaruh yang sangat besar dunia Arab pada proses perkembangan itu.

Lagi, pada puncak zaman Renaissance, tepat di titik itu disebut oleh bangsa Eropa sebagai satu dari peristiwa peradaban yang agung, pada tahun yang tepat saat Columbus menunjukkan pelayaran pertamanya menyeberangi Atlantik, Spanyol mengusir masyarakat Yahudi yang ada di negaranya dan juga mengusir bangsa Arab dengan menaklukkan Kerajaan Moorish di Granada, isyarat terakhir pada abad tersebut adalah konflik antara umat Kristiani dan non-Kristiani, selama itu hubungan untuk hal-hal yang saling menguntungkan dengan dunia Arab sama sekali tidak dipedulikan. Zaman Renaissance mungkin dikenal sebagai zaman kekayaan estetik yang luar biasa, tetapi zaman ini juga merupakan zaman dimana tidak ada toleransi untuk berpoliti dan beragama dan zaman permulaan perluasan kejahatan kolonial di luar Eropa.

Kemudian, sedikit kemagican bahwa seharusnya ada perlawanan seperti itu terhadap model periodesasi tradisional bangsa Eropa, ketika model itu memilki sedikit hubungan pada segala sesuatu yang terjadi di luar batas batasan geografi yang jelas atau didasarkan pada dasar pikiran yang sangat berbeda yang mengabaikan realita non-Eropa. Penganut sastra bandingan dari Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin bersatu dalam penyangkalan periodesasi kebudayaan model Eropa, dan mengganti model itu dengan model alternatif milik mereka sendiri. Pergerakan ini merupakan contoh lain dari berbagai pergerakan dimana ide kuno tentang keseluruhan sastra dan teori kesusasteraan sedang ditantang.
Post-kolonialisme sedikit berbeda dengan anti-kolonialisme. Reaksi menentang kolonialisme sudah memperlihatkan aksinya dengan berbagai cara, tetapi selalu menempatkan pada dasar pikiran perlawanan yang berpasangan. Dimana post-kolonialisme berbeda, adalah bahwa walaupun setelah menentang kekuasaan tertinggi kebudayaan kolonialisme, cara ini menghargai mayoritas hubungan antara menjajah dan terjajah. Dari fakta khusus dalam memajukan teori post-kolonial merupakan pertumbuhan sastra yang diproduksi secara bilingual (dua bahasa) atau multilingual (banyak bahasa) masyarakat dengan ras yang bercampur sejak tahun 1950-an rasional dapat ditentang oleh seorang penulis yang mencari sebuah sudut pandang baru. Dalam penghormatannya pada Borges setelah kematiannya pada tahun 1986, Octavio berkata:

"Orang-orang Eropa terkejut pada keuniversalan Borges, tapi tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa kosmopolitanisme ini memang dan hanya dapat menjadi sudut pandang orang-orang Amerika latin... Sebuah cara yang berbau non Eropa. Baik di dalam maupun di luar budaya Amerika, Amerika latin dapat melihat bangs barat secara total, dan tidak dengan visi provinsial yang parah dari orang-orang Prancis, orang-orang Jerman, orang-orang Inggris, ataupun orang-orang Italia."

Referensi Paz untuk provinsialisme Eropa menunjukan perbedaan Kavanagh antara paroki (berkenaan dengan gereja) dan provinsial dalam tulisantulisan di Irlandia, telah dibahas di bab 3. Paralel ini merupakan paralel yang baik, karena ini sesuai untuk memperbaiki anggapan bahwa Eropa adalah pusat, dengan siapa pun yang diluar provinsi-provinsi itu model kekaisaran kuno Roma yang telah diserap dengan mendalam oleh peradapan selanjutnya. Sehingga contohnya Ovid menulis dalam karyanya Tristia sebagai ratapan menentang nasibnya karena telah dijatuhi hukuman untuk diasingkan jauh dari pusat, diluar dari apa yang ia terima sebagai keuntungan di kekaisaran. Aspek dari tema pengangsingan itu, diusir di provinsi yang j auh dari tempat dimana semua mata memandang banyak penulis Eropa dengan wajar, tetapi di luar Eropa hal ini berubah secara signifikan. Ilmu pembanding dengan tema dan citra pengangsingan seperti yang digunakan oleh para penulis China, Eropa, dan Karibia contohnya, akan menghasilkan beberapa perbedaan yang menarik. Kavanagh menyatakan dengan cukup benar, bahwa perspektif provinsial selalu memandang ke tempat lain, melihat pusat yang diingkari, sementara pandangan paroki cenderung bersifat ke dalam dan sebagai akibatnya menjadi universal. Parokialismetak memiliki apa-apa untuk sebuah pusat yang ada di suatu tempat. Dimanapun hanya berhenti untuk menjadi sesuatu yang penting.

Perkembangan realita magic fiksi Amerika Latin dapat ditemukan asal usulnya pada banyak pandangan realita yang diwariskan oleh periode pre-Columbian dan colonial masa lalu. Makhluk dalam gambaran fiksi penjelajah bangsa Eropa ditindihkan pada mitos binatang dari kuil-kuil dewa pre-Columbian kuno; tindakan penguasa yang zalim dan politikus tidak jujur sudah dicampur dengan cerita orang suci dan orang alim dari tradisi Kristen Katholik; pengetahuan ilmiah dan impian yang tidak mungkin duduk berdampingan dalam sebuah ilmu. Novel karangan Garcia Marquez, Autumn of thr Patriarch, (1976) menggabungkan informasi historis tentang generasi dictator yang berbeda yang bertindak kejam yang ditulis sesuai imajinasinya, dan novel Roa Bastos yang berjudul I, the Supreme One (1974) juga menggabungkan fakta dan imajinasi dengan kekuatan yang mengerikan dan tidak masuk akal. Para penulis Amerika Latin seringkali menunjukkan kesulitan dalam menggambarkan barisan kata-kata yang jelas antara fakta dan imajinasi, dan sebenarnya tulisan mereka mendorong kita untuk memikirkan kembali terminologi itu. Apa yang dapat kita peroleh dari novel, contohnya novel karangan Luisa Valenzuela, The Lizard's Tale (1983), yang menggambarkan terror Argentina pada tahun 1970-an yang menggunakan teknik narasi surrealism, dimana penulis muncul sebagai seorang tokoh dalam bukunya? Dan cerita bagaimana bangsa Inggris menyelundupkan tanaman karet keluar dari Brazil untuk membangun perkebunan milik mereka yang sangat menguntungkan di Asia Tenggara, dengan cara itu mereka menghancurkan keuntungan yang besar dari petani karet di Amazon, bangsa Inggris bahkan telah membangun istana dan gedung opera di tanah yang dulunya bekas hutan yang telah dibersihkan oleh budak Indian. Cerita itu sangat fantastic, cerita itu lebih menjadi harapan dari cerita fiksi daripada harapan dari sejarah.

Percampuran budaya, yang terjadi secara brutal, sudah menghasilkan banyak kelompok masyarakat yang berbeda-beda di Afrika, Amerika Latin, Caribbean pada saat ini, dan bukti dari jaringan kompleks urutan cerita kebudayaan itu dapat ditemukan dalam sastra wilayah tersebut. Realita magic sudah muncul untuk digunakan kritikus bangsa Eropa untuk menggambarkan rencana hebat hasil tulisan dari bagian dunia lainnya, tidak hanya di Amerika Latin, tetapi hasil tulisan bangsa India, Turki, Ceko, Roma, atau Nigeriadimanapun novelis muncul untuk menolak batasan cara realita cerita fiksi.

Realita magic melibatkan pembaca dalam langkah perseptual antar system. Edward Brathwaite, seorang penulis berkebangsaan Caribbean, mengulangi ungkapan Carlos Fuentes tentang tugas penulis untuk memberikan nama pada dunia baru realita post-kolonial, dan dia melihat bahwa proses penamaan itu serupa dengan sebuah pencarian:
Di Caribbean, apakah itu ber-ras Afrika atau Amerindian, pengakuan hubungan ke-nenekmoyang-an dengan kebudayaan suku aborigin melibatkan seniman, pelaku sejarah, dan daerah pedalaman yang pada waktu yang sama terjadi pergerakan pengambilalihan ke masa sekarang dan masa depan. Melalui pergerakan pengambilalihan ini kita menjadi diri kita sendiri, benar-benar menjadi kreator diri kita sendiri, yang menemukan kata untuk maksud, gambaran untuk kata.

Pergerakan pengambilalihan memerlukan syarat-syarat terkait dengan sejarah yang meliputi penemuan suara, pemberian nama terhadap sesuatu, dan menunjukkan ke seluruh dunia apa yang terjadi sepanjang sejarah, dan di sini kita menemukan bahwa di samping perkembangan cerita narasi yang bisa diistilahkan sebagai `realita magic', ada sebuah tradisi yang kuat yaitu `cerita narasi relita', yang menggambarkan kesengitan yang amat besar terhadap colonial dan tentang peninggalan mereka yang ada saat ini. Contohnya Sastra Chicano dicemaskan dengan penggambaran kegawatan pekerja pertanian, petani, penduduk desa, dan kerusakan remaja di Chicano. Mencerminkan novel dari Chicano, Joseph Sommers menyatakan bahwa penelitian kebudayaan bandingan mungkin mempertimbangkan hasil karya seorang novelis besar seperti Tomas Rivera, disamping itu juga harus memperhatikan novelis lainnya seperti Robert Musil, J. D. Salinger, Richard Wright, Mario Vargas Llosa, atau Chinua Achebe. Karena Achebe dan Rivera menulis tentang dampak colonial terhadap masa sekarang, dengan demikian dalam waktu yang bersamaan mereka juga menjelaskan ketidakadilan social dan berusaha untuk memulihkan harga diri bangsa Chicano atau Afrika pada diri mereka sendiri. Dan seperti kebanyakan novelist Chicano, penggambaran realita sebagian besar novelis Afrika bisa dikatakan sebagai reaksi melawan tindakan romantisasi novelis berkebangsaan Amerika-Afrika atau Amerika-Meksiko dalam sastra colonial. Dengan penuh arti, sangat banyak novel realita post-kolonial menokohkan anak-anak dan remaja sebagai tokoh protagonist, sehingga kemajuan pembaca mengikuti perkembangan tokoh si anak melalui tahapan penemuan, seringkali melalui kekecewaan yang berputar turun.

Sastra bandingan post-kolonial juga merupakan perjalanan penemuan. Di masa ini, bukannya bangsa Eropa yang memulai perjalanan mencari kekayaan dan lahan baru untuk menaklukkan, namun dengan dilengkapi peta dan grafik sebagai pertolongan, perjalanan ini adalah satu menuju kesadaran diri sendiri, menuju pengakuan tanggung jawab, perasaan bersalah, keterlibatan dalam kejahatan, dan penipuan dalam kreasi dunia yang berkelak-kelok dari tulisan kontemporer. Bangsa Eropa tidak lagi memulai perjalanan dari pusat dunia, sebab pusat dan batas luar sudah didefinisikan ulang. Novel bahasa Inggris, yang akan tenggelam tanpa bekas, sudah dihidupkan kembali oleh vitalitas hasil tulisan novelis di Inggris yang tidak pernah ke Kerajaan Inggris Raya dan tidak tertarik untuk mengunjunginya. George Lamming menjelaskan apa yang terjadi:

Ada kecenderungan untuk berbicara tentang kolonialisme dan seolah-olah kolonialisme semata-mata adalah pengalaman buruk. Pemikiran semacam itu merupakan pemikiran yang sangat sempit. Ada dua benda dengan dua arah. Kolonialisme merupakan pengalaman buruk sekaligus pengalaman baik. Hanya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memahami hakikat keberanian itu.

Penelitian sastra bandingan pada tahun 1990-an harus bekerja dengan pengakuan kolonialisme dan semua dampaknya seperti ungkapan sebuah benda dengan dua arah.Pada artikel diatas disebutkan tentang sejarah pelayaran bangsa eropa dalam menemukan daerah baru yang memiliki kekayaan dan layak dijadikan tempat tinggal baru. Tujuan diadakannya penjelajahan ini adalah untuk mendapatkan kekayaan, kejayaan, dan pengaruh. Dalam melakukan penjelajahannya, bangsa Eropa berhasil menemukan banyak daerah asing yang mempunyai potensi untuk memenuhi ambisi bangsa eropa. Karena keberhasilannya inilah, bangsa Eropa merasa bahwa bangsa mereka adalah bangsa yang paling besar dan berkuasa. Karena anggapan inilah, bangsa Eropa memandang remeh bangsa lain. Bangsa Eropa berusaha menguasai seluruh daerah di dunia. Bangsa Eropa berusaha memusnahkan penduduk ash Amerika dengan melakukan pemusnahan besar besaran. Begitu juga dengan bangsa asli Afrika, yang terkenal dengan nama bangsa Negro, bangsa kulit hitam. Bangsa Eropa memperlakukan bangsa Afrika sangat kejam. Perlakuan kejam ini adalah dengan menjadikan bangsa kulit hitam sebagai budak dan diperlakukan sangat kasar. Hal ini membuat banyak tokoh bersimpati dengan bangsa Afrika, dengan adanya rasialisme ini.

Tindakan bangsa Eropa yang semena mena terhadap bangsa kulit hhitam di Afrika membuat bangsa Afrika merasa rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri. Bangsa kulit hitam merasa diinjak injak oleh bangsa Eropa, bangsa Afrika melakukan perlawanan terhadap bangsa Eropa. Kekejaman terhadap rasialisme bangsa Eropa ternyata merambat dalam bidang sastra. Di Afrika, dalam mempelajari sastra harus hati-hati, karena sastra Afrika berhubungan dengan antropologi bangsa Afrika itu sendiri. Sastra yang dipelajari di Afrika berhubungan dengan kekejaman rasial yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Dalam mempelajari sastra pada jaman post kolonialisme Eropa (bangsa barat) ini, masih terdapat berbagai batasan-batasan dalam menganalisa sastra.



Zaman kolonialisme yang sudah berhasil membawa pandangan baru dalam mempelajari sastra. Kini, setelah lepas dari kolonialisme, dalam mempelajari sastra dapat lebih luas dan lebih bebas. Kini tidak lagi merasa ketakukan dalam mempelajari sastra karena sudah tidak ada konflik rasialisme seperti yang terjadi pada bangsa kulit hitam di Afrika. Dengan bebasnya mempelajari sastra ini, pengetahuan tentang sastra dapat lebih di eksploitasi dan digali lagi agar dapat mengahsilkan karya dengan lebih maksimal.

Sastra bandingan post-kolonial juga merupakan perjalanan penemuan. Di masa ini, bukannya bangsa Eropa yang memulai perjalanan mencari kekayaan dan lahan baru untuk menaklukkan, namun dengan dilengkapi peta dan grafik sebagai pertolongan, perjalanan ini adalah satu menuju kesadaran diri sendiri, menuju pengakuan tanggung jawab, perasaan bersalah, keterlibatan dalam kejahatan, dan penipuan dalam kreasi dunia yang berkelak-kelok dari tulisan kontemporer. Bangsa Eropa tidak lagi memulai perjalanan dari pusat dunia, sebab pusat dan batas luar sudah didefinisikan ulang. Novel bahasa Inggris, yang akan tenggelam tanpa bekas, sudah dihidupkan kembali oleh vitalitas hasil tulisan novelis di Inggris yang tidak pernah ke Kerajaan Inggris Raya dan tidak tertarik untuk mengunjunginya. Pada dasrnya kolonialisme bukanlah pengalaman buruk namun hanya membutuhkan waktu yang lama untuk memahaminya. Dengan penuh arti, sangat banyak novel realita post-kolonial menokohkan anak-anak dan remaja sebagai tokoh protagonist, sehingga kemajuan pembaca mengikuti perkembangan tokoh si anak melalui tahapan penemuan, seringkali melalui kekecewaan yang berputar turun.

Pergerakan pengambilalihan memerlukan syarat-syarat terkait dengan sejarah yang meliputi penemuan suara, pemberian nama terhadap sesuatu, dan menunjukkan ke seluruh dunia apa yang terjadi sepanjang sejarah, dan di sini kita menemukan bahwa di samping perkembangan cerita narasi yang bisa diistilahkan sebagai `realita magic', ada sebuah tradisi yang kuat yaitu `cerita narasi relita', yang menggambarkan kesengitan yang amat besar terhadap kolonial dan tentang peninggalan mereka yang ada saat ini.

Sejarah tentang adanya sastra bandingan di dunia sangat beragam dan panjang. Sejarah munculnya sastra bandingan tidak terlepas dari adanya sejarah penjelajahan dunia. Penjelajahan yang diadakan oleh bangsa Eropa dalam usaha mencari daerah baru, membuka pengetahuan baru dalam berbgai bidang. Pengetahuan baru itu muncul dari berbagai konflik yang ada. Konflik yang dominan daalm artikel ini adalah konflik tentang adanya rasialisme yang terjadi pada bangsa kulit hitam di Afrika yang dilakukan oleh bangsa kulit putih Eropa. Perlakuan bangsa kulit putih dalam memperlakukan bangsa kulit hitam yang tidak berperikemanusiaan membuat banyak pihak merasa bersimpati pada bangsa kulit hitam. Dengan adaanya konflik ini, cerita-cerita tentang kisah hidup bangsa kulit hitam yang di jajah oleh bangsa Eropa berkembang dan menjadikan kisah ini sebagai awal mula sastra dunia.
Komentar kelompok kami tentang artikel ini adalah sejarah dunia merupakan asal mula muculnya sastra bandingan. Sehingga, keberadaan antara perstiwa yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Hal ini terbukti dari lahirnya sastra bandingan adalah tidak terlepas dari sejarah dunia. Begitu juga dengan konflik yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia menjadikan sastra sebagai sarana penghubung bagi peristiwa itu untuk disampaikan kepada orang lain. Perbedaaan sastra pada masa postkolonialisme dan sesudahnya merupakan gambaran tentang betapa susahnya mempelajari sastra pada saat post kolonialisme, dimana saat mempelajari sastra dibatasi. Sejarah sangat berpengaruh bagi kehidupan kita dalam berbagai bidang, sehingga, jangan meremehkan sejarah.

Menurut pendapat kami, pada teks ini banyak membahas mengenai penemuan sejarah ditemukannya berbagai benua yang ada di dunia, sejalan dengan ditemukannya banyak benua di dunia ditemukannya juga sejarah perkembangan sastra, khususnya sastra bandingan yang banyak dipelajari dan dikembangkan di Benua Eropa. Percampuran budaya, yang terjadi secara brutal,

C. Sastra Terjemahan dan Sastra Bandingan

Sungguh problematis ketika sastra bandingan harus melirik sastra terjemahan. Kalau memperhatikan pembelaan Jassin terhadap Chairil Anwar dan Hamka, yang dihujat oleh penulis sastra sastra bandingan manca negara, banyak hal yang perlu direnungkan. Tahun 1962, Hamka dituduh sebagai plagiat ketika menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Trisman, dkk, 2003:1-2). Novel ini dianggap memiliki kemiripan dengan karya seorang pengarang Mesir Mustahfa Luthfi Al Manfaluthi. Menurut Jassin, Hamka sekedar mengadaptasi karya pengarang Mesir itu. Demikian halnya Chairil Anwar, oleh Jassin dinyatakan hanya menyadur dan menterjemahkan karya sastrawan mancanegara.
Kasus demikian, mengindikasikan dua unsur utama sastra bandingan, yaitu: (a) membanding karya sastra antar negara, (b) merunut terjadinya plagiarisme, adaptasi, saduran, dan terjemahan. Dari kasus itu, tampaknya sastra terjemahan menjadi “penyelamat” dari hujatan atau tuduhan. Sastra terjemahan, seakan-akan dianggap legal, adapun yang lain justru dianggap kecurangan. Studi penterjemahan sastra dalam sastra bandingan mempunyai implikasi yang besar terhadap sastra bandingan pada masa yang akan datang. Studi penterjemahan tersebut sangat berkaitan dalam hal perkembangan perluasan sastra secara cepat. Munculnya istilah penggunaan "studi bandingan", muncul pada tahun 1970-an yang sampai sekarang sedemikian luasnya dimana banyak yang mempertimbangkan menjadi suatu mata pelajaran dalam kebenarannya sendiri.

Di dalam terminologi sederhana, negara-negara Eropa yang muncul pada awal abad ke sembilan belas, yang terlibat dalam perjuangan melawan AustroHungarian atau Dinasti Ottoman, begitu bergairah untuk menterjemahkan, dan mengapa terjemahan ke dalam Bahasa Inggris mulai berkurang ketika Kerajaan Britania memperluas genggamannya. Kemudian, ketika Bahasa Inggris menjadi bahasa dari diplomasi internasional pada abad ke duapuluh, ada sedikit yang harus diterjemahkan, sehingga adanya kemiskinan terjemahan abad ke duapuluh yang relatif ke dalam Bahasa Inggris.

Kita harus menaksir kembali peran studi terjemahan terhadap bandingan sastra, selagi bandingan sastra di Barat sepertinya mengalami kemunduran, bahkan waktu itu menjadi lebih remang-remang dan dengan bebas menggambarkan, maka studi terjemahan sedang mengalami proses kebalikan. Penting bagi linguistik untuk memikirkan kembali hubungannya dengan semiotik sehingga waktunya sedang mendekati bandingan sastra untuk memikirkan kembali hubungannya dengan studi terjemahan. Semiotik pada mulanya sebagai sub-kategori linguistik, dan linguistik pada hakekatnya suatu cabang disiplin yang lebih luas. Sastra bandingan telah mengklaim tema-tema sebagai sub bagian penting ketika studi terjemahan semakin kuat sebagai pokok mendasarkan inter-kultural studi dan menawarkan suatu metodologi, kedua-duanya dalam kaitan dengan pekerjaan deskriptif dan teoritis, maka bandingan sastra nampak lebih sedikit seperti suatu disiplin dan lebih seperti suatu cabang hal lain.

D. Tahapan dan Keharusan Terjemahan Sastra

Sastra bandingan mengalami kemunduran yang signifikan beberapa tahun ini, meskipun ia telah berkembang di bawah tatanan ilmu lainnya. Hubungan antara sastra bandingan dan pelajaran terjemahan menjadi sebuah masalah yang komplek. Terjemahan dianggap sebagai aktivitas yang menggunakan kreativitas dan kemampuan yang minim.



Abad ke-19 status terjemahan dianggap lebih rendah dari naskah/teks asli dan sastra bandingan. Kelompok bandingan dengan kuat bersaing melawan pemikiran terjemahan. Pada tahun 1970 kelompok pelajar malui untuk menawarkan pandangan yang berbeda pada pembelajran terjemahan. Evan Zohar memulai dengan merangkum pandangan yang berlaku tau yang sering digunakan pada terjemahan, sebelum dia mengajukan pendekatan yang sistematis. Kata-kata yang ditekankan oleh Evan Zohar adlah sebgai bagian dari tulisan ilmiah yang memprioritaskan keaslian dan memandang terjemahan sebagai salinan bermutu rendah.

Terjemahan adalah kekuatan utama untuk pengembangan budaya dunia. Di sini terjemahan berbeda dengan sastra bandingan. Hal yang membedakan keduanya adalah metodologinya serta hal-hal yang diperhatikan di dalamnya (objek studi). Studi terjemahan berkaitan dengan teks dan konteks, praktis dan teori, serta dengan suatu proses yang manipulative sehingga dapat berpengaruh pada perubahan budaya, sedangkan satra bandingan mempunyai lingkup dan metodologi yang berbeda dengan stusi terjemahan.

Cara yang ditempuh oleh studi terjemahan mulai untuk menaikan suatu perlawanan terhadap kekuasaan dari asli dan pengasingan sebagai akibat suatu posisi kepatuhan. Pada awalnya melalui pekerjaan Evan- Zohar dan teman-temannya, paling khusus Gideon Toury, pada teori polysystem. Pendekatan radikal dari Implikasi Evan yaitu polisistemik Zohar ke terjemahan dengan seketika jelas bersih. Terjemahan bisa diperlakukan sebagai suatu kekuatan yang membentuk keutamaan di dalam sejarah berkaitan kesusasteraan.Didalam suatu catatan pada 1976, Evan Zohar membantah kondisi-kondisi yang menentukan aktivitas terjemahan didalam suatu kultur. Ia mengidentifikasi tiga kasus utama, yaitu (a) ketika suatu sastra dalam suatu tahap awal pengembangan; (b) ketika suatu sastra merasa dirinya sendiri menjadi kelemahan; (c) ketika ada yang memutar poin-poin atau ruang hampa yang berkaitan dengan kesusasteraan.

Tymoczko menyatakan bahwa terjemahan suatu pokok yang memisahkan dalam pergeseran dan menunjuk ke luar unsur-unsur romans yang dapat diusut didalamnya. Dahulu terjemahan, dan romans itu muncul dari suatu multicultural konteks. Dengan memusatkan tidak hanya pada puitis tetapi juga pada rata-rata produksi, dengan jiplakan gerak yang berangsur-angsur ke arah pekerjaan authored menulis untuk pelindung. Pada jaman sekarang ini teks diterjemahkan ketika compile dari daftar penerbit menawarkan suatu yang baik menyangkut hipotesis dari sistem yang berkaitan dengan kesusasteraan yang mana merasa diri mereka sebagai tokoh utama.



Mancura menyarankan bahwa fungsi ekspropriatif merupakan hal yang penting dalam kebangkitan ceko yaitu dikondisikandengan teks-teks terpilih untuk terjemahan ia menafsirkan kembali kasus terjemahan paradise lost oleh Jungmann, yang diperdebatkan secara hangatdengan kritik selama berpuluh-puluh tahun dan berargumentasi bahwa terjemahan ini adalah sebuah usaha yang dilakukan secara sadar untuk membawa kedalam sebuah system kesusastraan yang diperbarui yang tidak diduga-duga, sebuah teks yang mewakili amalgam dari kebudayaan yang berbeda (Kristen, lewish, pagan) yang digabungkan dalam kebudayaan manusia dan itulah sebabnya bahwa karya Milton memiliki fungsi simbolis juga sebagai sebuah alat untuk menekankan universilatitas dari penduduk asli pan-slaus.

Jenis kesarjanaan ini, yang sering melibatkan revisi radikal dari sejarah kebudayaan dan kesusastraan telah dimungkinkan dengan kemajuan dalam studi terjemahan dan khususnya dengan teori multisistem. Sistem target dan peranan, dan statusnya dalam system tersebut membuat pemetaan sejarah teori dan paham kritik terjemahan. Dalam perkembangan sebuah system kasusastraan, dengan sebuah pandangan untuk membentuk apakah terjemahan memainkan peranan konservatif atau inovatif.

Secara signifikan, Lambert dan Van Gorp mencatat bahwa,"manfaat utama dari skema adalah memungkinkan kita untuk melewati ide tradisional yang berkaitan dengan " kesetiaan dan bahkan kualitas terjemahan yang utamanya berorientasi sumber dan tidak dapat dielakkan secara normatif. Dalam perkembangan studi terjemahan dapat dibedakan menjadi dua tahap yaitu: (1) secara kuat dipengaruhi oleh teori polisistem yang melibatkan karya yang tidak dikontekskan dalam linguistik ditantang dalam satu pihak. Teori polisistem beragumentasi bahwa sistem-sistem tersebut tidak pernah diposisiskan secara identik, dan pemahaman tersebut tentang superioritas atau inferioritas dari sebuah teks atau sebuah system kesusastraan selalu dalam permainan; (2) dari studi terjemahan bergerak di luar batas tantangan untuk wacana sebelumnya, dan secara prinsip dihubungkan dengan pemetaan, dengan pola meninggalkan jejak dari kegiatan terjemahan saat kesempatan yang diberikan dalam sekejap. Penekanan dalam fase ini masih didominasi pada sistem target, tetapi sebuah masalah besar dari penelitian historis yang penting mulai muncul. Saat ini ada yang mengusulkan bahwa Amerika Latin bisa dilihat sebagai suatu "penerjemah" Eropa, meskipun dalam penerjemah yang dipahami dalam perasaan yang diperdebatkan oleh Benjamin dan Derrida, yaitu sebagai suatu masa setelah kehidupan, suatu pertahanan diri, suatu keberlanjutan melalui renaisan (kebangkitan kembali), dan bukan sebagai suatu salinan/kopian.

Imitasi dan pengaruh dalam rasa tradisional pada kata tidak lagi memungkinkan. Antropolog tidak ingin mengkopi budaya Eropa, tetapi ingin menerimanya mentah-mentah yang mengambil keuntungan dari aspek-aspek positifnya, dengan menolak hal yang negatif dan menciptakan sesuatu budaya nasional yang asli yang akan menjadi sumber ekspresi artistik dari pada menjadi suatu wadah untuk bentuk-bentuk ekspresi budaya yang sudah terdapat dimana-mana. Secara signifikan, para penerjemah menghubungkan dengan perkembangan baru dalam teori penerjemahan yang dibahas sebelumnya, karena apa yang semuanya kita miliki pada umumnya merupakan suatu penolakan hierarki kekuatan yang mengistimewakan teks sumber dan memindahkan penerjemah menuju peran sekunder. Teri-teori tentang penerjemahan dan tulisan feminis seperti yang diungkapkan oleh Helene Cixous menyebutkan bahwa tulisan feminis terdapat pada dua kutub antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya penerjemahan dengan dasar dari kiasan "belles invideles" bahwa original itu adalah maskulin sedangkan teks sasaran adalah feminin dan penterjemahan itu berada di antara dua hal.

Beberapa karya penerjemahan feminis di Kanada telah berpusat pada ahli teori dan penerjemah yang lesbian. Kathy Mezey menggambarkan proses penerjemahan sebagai sebuah kumpulan tindakan membaca dan menulis dengan mengetahui bahwa seorang penerjemah itu adalah seorang pembaca dan penulis. Seorang penerjemah harus membaca dan menulis bnerulang kali. Menurut Barbara Godard, seorang sarjana penerjemah Kanada yang lain mengemukakan bahwa perbedaan dalam penerjemahan bagi kaum tradisional adalah sesuatu yang negatif, sedangkan bagi kaum feminis itu adalah hal positif yang merupakan faktor kunci dalam proses kognitif dan praksis kritis. Suzanne de Lotbiniere menyatakan bahwa praktek penerjemahan adalah sebuah aktivitas politis sebagai sebuah tindakan penemuan linguistik yang sering memperkaya teks asli dari pada merusaknya. Kelompok ahli teori penerjemahan Brazil dan Kanada memiliki tujuan politis sendiri ketika menerjemahkan. Hal ini ditujukan untuk menegaskan hak mereka sebagai orang Brazil dan untuk mebaca dan memiliki kembali sastra Eropa yang resmi. Sedangkan wanita Kanada terbentuk menjadi kaum Feminis.

Karya sastra diciptakan oleh seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah bagian dari masyarakat yang tak lepas dari kaidah pemikiran yang diperoleh dari budaya kolektifnya. Jadi untuk memahami karya sastra hendaklah mengerti mengenai latar belakang dari seorang penulis karya sastra. Dalam pernyataan diatas, adalah hal yang sangat mendasar untuk memahami hakekat belajar sastra. Jadi seorang sastrawan menciptakan sebuah karya sastra tidak lepas dari pengalaman hidupnya.

Dalam artikel di atas bisa kita pahami bahwa dahulu orang-orang eropa telah mengenal sastra. Banyak karya-karya yang diciptakan, namun dalam rangka menerjemahkan sebuah karya sastra, seorang dituntut untuk dapat mengikuti jejak pemikiran sang penulis. karya sastra sendiri diterjemahkan tanpa adanya daya kritis yang dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran lain. Menurut kami kegiatan menerjemahkan seperti ini adalah seperti layaknya orang mengopy sebuah naskah. Hasilnya sama persis, jika terdapat perbedaan hanya sedikit sekali. Sesungguhnya yang dapat kita pikirkan kembali yaitu dalam rangka menerjemahkan sebuah karya sastra kita dapat melahirkan sebuah karya sastra baru seperti yang dikatakan Madame De Gournay dalam artikel di atas. Karya yang baru itu adalah karya yang terdapat dalam imajinasi diri kita. Meski karya yang kita baca bukan hasil karya sastra kita, namun dalam rncinaknai kita dapat memunculkan gagasan baru, ide baru yang tidak secara eksplisit ditunjukan dalam karya sastra yang kita baca.
Pemikiran baru itu ada karena adanya sebuah pemahaman lain di dalam imajinasi kita. Setiap orang akan mempunyai interpretasi sendiri dalam mamaknai sebauah karya sastra. Jadi bisa di bilang bahwa ketika karya sastra itu muncul setiap orang berhak untuk memilikinya. Dalam arti memiliki makna atau maksud dari sebauh karya sastra. Kemudian cara-cara yang mungkin dapat dipakai dalam rangka mempermudah mempelajari dan memahami karya sastra yaitu dengan cara:

1.    Penerjemah juga harus dapat menyimpulkan apa tujuan penulisan teks tersebut. Ya, apakah untuk memberikan informasi, memengaruhi, sekadar hiburan, dan sebagainya.

2.     Penerjemah juga harus memahami kata-kata yang dipergunakan dalam menyatakan maksud penulis pada teks sumber. Sebab, kerap si penulis menggunakan banyak kombinasi acuan, diagram, statistik, clan lain-lainnya.

3.  Penerjemah juga harus dapat melihat tingkat kesukaran dari teks yang akan diterjemahkan. Dia juga harus dapat memperkirakan waktu yang dibutuhkannya untuk menerjemahkan.

4.  Perlu diingat bahwa seorang penerjemah bisa dipegang kata-katanya. Sebab, jika ia sudah menyanggupi untuk menerjemahkan teks sumber dalam tiga hari, jangan pernah minta waktu tambahan. Tentu, karena hal tersebut hanya akan menunjukkan bahwa si penerjemah itu tidak profesional.
5.  Memang, kegiatan terjemahan ternyata tak semudah yang diperkirakan. Cukup banyak hal yang harus diperhatikan. Dan, seorang penerjemah profesional harus terus berusaha menghasilkan terjemahan yang berkualitas baik.

6.   Perlu kesabaran dan keinginan tinggi untuk terus berlatih dan belajar. Ada baiknya bila penerjemah menyimpan daftar kata-kata yang mempunyai arti khusus dari teks yang sudah diterjemahkannya.

7.   Kiranya, semakin lama jam terbang penerjemah, semakin cepat ia dapat menghasilkan penerjemahan yang berkualitas baik. Ada kualitas, tentu ada harga. Dengan kualitas itulah, menjadi penerjemah merupakan alternatif pekerjaan yang cukup menjanjikan.

Dari aneka pemikiran sastra dan terjemahan Jos (1974) tersebut, dapat saya kemukakan bahwa sastra bandingan memang tidak dapat lepas dari sastra terjemahan. Sastra terjemahan sering menjadi penyokong terbesar hadirnya kajian sastra bandingan. Materi sastra bandingan sebagian besar lahir dari sastra terjemahan. Biarpun niat awal sastra terjemahan cenderung sebagai upaya desiminasi sastra, namun realitasnya justru menarik bagi pangkejian sastra bandingan. Apakah ada penampahan dan pengurangan ideologi antara sumber asli dan terjemahan, seluruhnya dapat dilacak.

0 komentar:

Posting Komentar