SASTRA BANDINGAN: ANTARA SASTRA DAN NON SASTRA
A. Sastra Bandingan dan
Antropologi
1. Titik Temu Sastra dan
Antropologi
Bandingan dalam konteks sastra dan non sastra juga
termasuk bagian dari sastra bandingan. Biarpun ada yang berpendapat hal ini
bukan sastra bandingan, melainkan seni bandingan, silahkan saja. Seni bandingan
tetap wilayah sastra bandingan. Yang paling penting, dalam proses termaksud ada
upaya membanding antara sastra dengan aspek non sastra. Hal ini sebagai bukti
bahwa sastra itu karya yang memuat sekian hal, sehingga layak dibandingkan.
Bidang-bidang lain yang dekat
dengan sastra cukup banyak. Bidang-bidang tersebut biasanya termuat dalam
konteks sastra, antara lain antropologi, sosial, psikologi, agama, filsafat,
agama, kepercayaan, sejarah, seni, dan politik. Sastra bandingan semacam ini
merupakan kajian yang lebih luas karena menyangkut bidang-bidang di luar dunia
kesusasteraan. Banyaknya karya sastra yang berisikan teori maupun merefleksikan
masalah-masalah yang terdapat dalam bidang-bidang tersebut, merupakan suatu hal
yang biasa dalam dunia kesusasteraan. Sastra memang buah karya yang kaya
terhadap dunia. Sastra mewadahi seluruh hal tentang kebutuhan hidup manusia
baik di dunia maupun akhirat.
Sadar atau tidak, memang ada para penulis yang
memang dengan sengaja memasukkan buah pikiran dari berbagai bidang, misalnya
teori psikologi dan buah pikiran filsafat, tetapi ada pula yang tanpa sengaja
telah memasukkan buah pikiran tersebut ke dalam karya-karya sastra mereka.
Seorang Danarto pernah bilang, katanya ketika berekspresi kadang-kadang tak
sadar, gila, maka bukan tidak mungkin kalau seluruh ada dalam karyanya.
Tegasnya berbagai hal itu tentu ada keterkaitanya dengan masalah hidup manusia.
Namun, baik persoalan hidup yang disengaja maupun tidak, para penelaah sastra
bandingan akan membicarakan hubungan ini begitu mereka melihat bahwa dalam
suatu karya terdapat hubungan yang dimaksud. Peneliti sastra bandingan akan
meneropong aneka kemungkinan yang terdapat dalam sastra. Betapapun absurd dan
imajinatif karya yang dihadapi, tentu ada relevansinya dengan bidang-bidang
kehidupan manusia.
Perlu diketahui, aspek kehidupan di luar sastra itu
tidak lain juga merupakan kebutuhan hidup manusia hanya dengan ekspresi berbeda.
Bidang-bidang lain non sastra yang senada dengan sastra yaitu seni, keduanya
banyak bermain dengan imajinasi dan atau fantasi. Keduanya sering terdapat
titik temu. Keduanya juga merupakan wajah ekspresif hidup. Bahkan karya di luar
sastra yang tanpa imajinasi, seperti agama, psikologi, sosiologi, politik,
lingkuan hidup, dan lain-lain pun tetap berkaitan erat dengan sastra.
Asumsi yang dibangun oleh pengkaji sastra bandingan
dengan non sastra, sastra itu adalah ekspresi dan refleksi kehidupan. Sastra
adalah ranah kehidupan itu sendiri. Sastra adalah bagian penting dari hidup dan
kehidupan yang mau tidak mau akan berhubungan dengan seluruh aktivitas hidup.
Sastra yang terkesan fantastis, berada di luar kehidupan, misalnya kisah di
luar angkasa pun tetap terkait dengan hidup itu sendiri. Sastra yang berkisah
tentang surga pun, biarpun tetap imajinatif, dapat dikaitkan dengan hidup
manusia.
Sastra bandingan dengan ilmu
lain, terutama antropologi sastra, masih relatif baru. Sastra dan antropologi
adalah dua ilmu yang bersebelahan, tapi tidak berseberangan. Sastra adalah
imajinasi dunia manusia, yang banyak membeberkan ekspresi hidup secara
fantastis. Sastra menggarap kehidupan sesuai paham dunia mungkin. Hal yang tak
mungkin dalam antropologi, dalam sastra menjadi mungkin. Hal-hal yang kecil,
mungkin tak diperhatikan oleh antropolog, akan dibidik oleh pengarang.
Pada suatu saat, antropolog pun seperti seorang
pengarang. Karya etnografi yang dihasilkan, kadang-kadang sekedar imajinasi,
dan bukan tidak mungkin kalau lebih indah dari warna aslinya. Apalagi etnografi
antropolog yang sengaja ditulis dengan gaya posmo dan penafsiran, tentu sering
berupa karya seperti halnya sastra. Permainan tafsir sering menyebabkan
etnografi menjadi seperti karya imajinatif. Biarpun data-datanya jelas, namun
hasil tafsir seorang antropolog kadang-kadang melebihi batas-batas imajinatif.
Dalam proses demikian, bukan tidak mungkin kalau
karya etnografi tidak jauh berbeda dengan sebuah novel. Etnografi yang ditulis
menggunakan perenungan dan dibahasakan secara lentur serta cair, membuka
peluang terjadinya fantasi. Akibatnya ada titik temu antara antropologi dengan
sastra. Sebaliknya, tidak sedikit karya sastra yang sengaja atau tidak
melukiskan kehidupan etnografi tokoh. Novel Para
Priyayi karya Umar Kayam dan Donyane
Wong Culika dan Astirin Mbalela karya Suparta Brata adalah gambaran etnografi
sekelompok manusia. Kehidupan priyayi
dan kehidupan seni, dilukiskan dalam novel tersebut. Melalui karya yang
bernuansa etnografi, berarti seorang antropolog pun dapat belajar dari sastra.
Melalui kepiawaian seorang pengarang Suparta Brata,
yang membuat novel Astirin Mbalela, tergambar pula bagaimana
pola-pola kehidupan seseorang di masyarakat. Berbagai tradisi sering pula muncul dalam novel-novel lain, seperti Kumandhanging Katresnan karya Any
Asmara, Mendhung Kesaput Angin karya AG Suharti, dan sebagainya, adalah potret
sebuah bangsa. Berbagai akar tradisi Jawa yang dilukiskan dalam novel tersebut,
tidak lain merupakan sebuah etnografi. Begitu pula ketika kita mencermati
sastra drama wayang kulit dalam lakon Dewi
Sri, kalau dilihat dari kacamata Levi-Strauss, jelas merupakan refleksi
kehidupan antropologi estetis.
Pada kasus-kasus sastra di atas, pengkaji sastra
bandingan dapat melakukan penelusuran lebih intensif terhadap karya sastra dan
antropologi. Sastra dengan sendirinya akan menyediakan bahan etnografi yang
amat berharga, yang di dalamnya setiap orang dapat memahami kehidupan lebih dalam. Sastra menjadi bahan imajinatif, kapan dan di mana saja
orang hidup secara sosiokultural. Dalam kaitan ini, sastra bandingan akan
melihat seberapa jauh keterkaitan antara sastra dan antropologi.
2. Sastra Antropologi dan
Antropologi Sastra
Secara kebetulan saya memiliki basic sastra, baru menelusuri antropologi. Berkat keilmuan dasar
itu, ternyata memasuki wilayah antropologi justru menemukan “hutan sastra” yang
penuh makna. Jagad antropologi dan sastra ternyata seperti hutan simbol yang
tidak pernah terbakar. Hutan itu rimbun daunnya, sarat makna.
Sejak saat itu, saya terus menemukan keunikan,
bahwa ada istilah sastra antropologi dan antropologi sastra. Keduanya merupakan
studi interdisipliner yang penuh tantangan. Mungkin anda tidak yakin bahwa
jagad antropologi itu sebenarnya banyak yang mirip sastra. Tidak sedikit
tulisan etnografi yang bernilai sastrawi. Sebaliknya, saya baru menyadari bahwa
banyak pula sastra yang memuat endapan antropologis.
Yang dimaksud dengan `sastra antropologi' di sini
menurut Ahimsa-Putra (2008) bukanlah kajian sastra tentang antropologi ataupun
teks antropologi (etnografi), tetapi karya sastra yang dihasilkan oleh para
ahli antropologi sebagai penulis etnografi. Sebagaimana telah kita lihat,
dengan munculnya posmodernisme dalam antropologi maka batas antara etnografi sebagai
deskripsi tentang suatu kebudayaan yang dianggap `objektif' dan `berjarak',
dengan suatu karya sastra yang bersifat imajinatif dan `tanpa jarak', tidak
lagi'dapat di-pertahankan. Dilihat melalui kacamata kajian sastra, ternyata
pelbagai etnografi dalam antropologi juga memiliki genre tertentu, dan etnografi ternyata juga bukan sebuah karya yang
bisa ditulis oleh setiap orang dengan teknik yang sama. Bagaimanapun, sebuah
etnografi ternyata juga tidak bisa lepas dari kepribadian, kesukaan, dan,
pengalaman pribadi penulisnya. Selain itu, sebuah etnografi ternyata juga bukan
sebuah karya yang hanya memaparkan apa yang ada `di luar sana', yang tidak
mengandung imajinasi penulisnya sarna sekali.
Sudut pandang seperti ini
ternyata mempunyai implikasi yang sangat penting terhadap aktivitas dan
identitas seorang antropolog. Seorang ahli antropologi yang telah melakukan
penelitian, dan kemudian menulis sebuah etnografi mengenai masyarakat dan
kebudayaan yang ditelitinya dengan sendirinya adalah juga seorang `pengarang',
bukan hanya penulis.
Tentu saja kepengarangan ini
masih belum sebebas yang dimiliki oleh seorang penulis karya sastra. Namun hal
ini tidak mengurangi kadar kepengarangannya, sebab walaupun seorang pengarang
tampaknya memiliki kebebasan sepenuhnya, namun analisis atas karya-karya sastra
tertentu menunjukkan bahwa hal ini lebih bersifat ilusi ketimbang `kenyataan
yang sebenarnya'. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi yang menyajikan
suatu kebudayaan dalam bentuk suatu karya tulis dengan teknik atau cara
tertentu, pada dasarnya adalah juga seorang sastrawan.
Seorang ahli antropologi dengan demikian bukan
hanya seorang ilmuwan atau pengamat, penafsir dan penjelas pelbagai fenomena
sosial budaya, tetapi dia adalah juga seorang seniman, seorang sastrawan. Sama
seperti seorang sastrawan, karya-karya seorang ahli antropologi juga dapat
sangat berpengaruh terhadap pelbagai pandangan yang dianut oleh warga
masyarakatnya. Seorang antropolog yang menyadari betul posisinya sebagai
seorang penulis kebudayaan, seorang pengarang, yang mampu mempengaruhi
pandangan masyarakat lewat tulisan-tulisannya, akan dengan sadar memanfaatkan
potensi politis yang ada dalam etnografinya sebaik mungkin. jika ini dilakukan
maka seorang ahli antropologi akan mampu memberikan sumbangan yang lebih
`berarti' terhadap masyarakat-masyarakat yang `tertindas', yang
`terpinggirkan', yang umumnya kurang memiliki kesempatan untuk menyuarakan apa
yang ada dalam hati mereka, dan seandainya toh kesempatan ini diberikan,
suara-suara mereka tidak akan selalu didengarkan.
Sementara itu, ada pertanyaan lain yang tak kalah
mengusiknya: disiplin ilmu apa yang menggenggam keabsahan dalam mengkaji
sastra? Ketika disiplin ilmu kini mengalami banyak konvergensi, klaim
spesialisasi ilmu nyaris menjadi omong kosong. Batas-batas ilmu pengetahuan,
yang dulu banyak dikukuhi para ilmuwan, mulai mengalami keruntuhan. Akibatnya,
beragam disiplin ilmu tumpah ruah dalam kancah kajian sastra. Lagipula, kini
perkembangan ilmu sosial acapkali disebut-sebut memasuki `era bahasa' (linguistic turn). Akibat dari semua itu,
saya memandang sekat-sekat keilmuan itu hanya penting pada situasi tertentu
saja. Pada suasana lain, justru kolaborasi dalam keilmuan banyak yang menunggu.
Kajian gabungan antara antropologi sastra dan
sastra antropologi, ternyata sulit diabaikan. Kehadiran sastra antropologi
sering menarik para ahli antropologi. Sebaliknya munculnya antropologi sastra
juga memiliki daya pikat bagi ahli sastra. Kedua hal itu sebenarnya berpeluang merebut hati para komparatis. Sastra bandingan
menjadi alternatif pemahaman kedua masalah tersebut.
B. Tradisi Lisan: Sebuah Pintu
Masuk
Tradisi lisan termasuk bidang yang unik. Saya
katakan unik, sebab di dalamnya memuat ragam seni dan sastra yang sekaligus
memenuhi fungsi estetis. Wilayah tradisi lisan memuat aneka ragam, antara lain
seni, tradisi, dan sastra yang saling kait-mengkait satu sama lain. Pudentia
MPSS (2008:5) dalam pengantar buku Metodologi
Kajian Tradisi Lisan menyatakan bahwa tradisi lisan adalah segala wacana
yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara. Pernyataan ini meluputi
aneka ragam tradisi, seperti pantun, mendongeng, wayang jemblung, ludruk, dan
sebagainya. Keragaman tradisi lisan sebenarnya juga memuat sastra lisan, yang
rentan perubahan.
Sastra lisan adalah bagian tradisi lisan yang
sering berubah-ubah. Perubahan sebagai akibat salah ucap atau memang disengaja
diucapkan keliru (dipelesetkan). Semua kekeliruan itu ternyata dapat menjadi “pintu
masuk” jalur sastra bandingan. Berkat penuh dengan aneka perubahan sastra lisan
menarik dibandingkan satu sama lain. Bahkan antara sastra lisan dan tradisi
tulis, juga boleh dibandingkan. Di kalangan peneliti sastra dikenal istilah
`sastra lisan', yang tampaknya muncul dari perjumpaan para peneliti ini dengan
pelbagai cerita rakyat atau mitos yang masih hidup dalam masyarakat, yang juga
mengandung nilai `sastra', nilai keindahan tertentu, namun tidak dituliskan.
Jika para peneliti berpegang secara ketat pada definisi `sastra' sebagai sebuah
karya tulis dengan pola tertentu yang mengandung keindahan-keindahan tertentu
pula.
Apalagi kalau sastra lisan tersebut dipertunjukkan,
jelas melalui garapan yang berubah-ubah, melewati sanggit, carangan, dan tafsir sutradara atau dalang. Pertunjukan
sastra dan tradisi lisan sering banyak perubahan, hingga melahirkan varian teks
dan konteks. Dari sini maka tantangan sastra bandingan adalah menemukan aneka
perubahan itu sehingga terlihat variannya. Oleh karena itu, pelbagai cerita
yang menarik dan jelas-jelas memiliki keindahan tersebut menjadi berada di luar
definisi mereka, dan karenanya sering luput dari perhatian komparatis. Untuk
dapat menempatkan pelbagai cerita dan mitos ini di bawah lingkup objek material
kajian sastra bandingan diperlukan konsep-konsep baru yang dapat memenuhi
kebutuhan tersebut, dan istilah `sastra lisan' (oral literature) adalah salah satu di antaranya, yang penuh dengan percabangan. Cabang-cabang itu merupakan kreasi unik
yang menyedot para komparatis. Di sini pengertian `sastra' tentunya telah
meluas, mencakup tidak hanya segala sesuatu yang tertulis, tetapi juga yang
tidak tertulis namun memiliki keindahan sebagaimana yang ada dalam karya yang
tertulis.
Sebagai peneliti yang langsung terjun dalam
masyarakat dan hidup bersama warga masyarakat yang diteliti, para ahli
antropologi boleh dikatakan merupakan peneliti yang paling mungkin menemukan
pelbagai bentuk tradisi lisan dan sastra lisan yang hidup dalam masyarakat yang
ditelitinya. Mereka memiliki kesempatan paling besar untuk dapat merekam sastra
lisan yang masih hidup, dan melihat sendiri bagaimana sastra lisan ini `hidup',
berfungsi dan diberi makna. Sastra lisan tersebut bisa dirunut migrasi dan atau
difusinya, agar dapat ditemukan proses estetika yang saling mempengaruhi satu
sama lain. Jika peneliti jeli terhadap aneka tradisi lisan, misalkan saja kisah
Nyi Rara Kidul, tentu segera tergelitik melakukan bandingan dengan ketoprak
misalnya. Apabila peneliti tertarik menelusuri kisah dewi Sri, sebagai dewa
kesuburan, akan segera tergiring untuk membandingkan dengan Babad Tanah Jawa, begitu seterusnya.
Namun sebagai sumber informasi tentang kebudayaan
masyarakat pencipta tradisi lisan, para komparatis perlu memperlakukannya
dengan agak hati-hati. Ini disebabkan karena sebuah tradisi lisan pada dasarnya
juga hasil dari imajinasi, sehingga informasi tentang ke-budayaan yang ada di
dalamnya tidak harus dipercaya seratus persen sebagai informasi yang akurat.
Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat diperlakukan sebagai data kebudayaan
lewat cara dan perspektif tertentu. Yang lebih penting para pengkaji, perlu
menelusur, merekam, dan memahami silang perbedaan tradisi lisan satu dengan
yang lain.
Jagad tradisi lisan kadang-kadang masih dianggap
wilayah non sastra. Terlebih lagi kalau tradisi lisan tersebut terbalut dengan
aneka tradisi ritual, sering orang lupa bahwa di dalamnya ada karya sastra.
Tradisi lisan yang terjadi dalam karawitan (gamelan Jawa) pun relatif banyak.
Dengan kemampuan kreatif seorang sinden, sering menyuarakan tradisi lisan yang
penuh dengan perubahan. Akibatnya sastra karawitan baku diubah dengan keinginan
sinden agar lebih kontekstual. Dalam suasana demikian, berarti perubahan di
sana sini harus terjadi. Perubahan, entah yang disebut inovasi atau ada unsur
ketidaksengajaan jelas memberi peluang studi sastra bandingan.
Tradisi lisan adalah karya seni,
sastra, dan budaya yang berbaur. Tradisi lisan adalah karya yang amat rentan
alihwahana, artinya perubahan di sana sini, yang sampai kini dianggap legal.
Ketoprak, misalnya sering menggarap karya-karya sastra lain. Kisah Sampek Ing Tai, Romeo dan Juliet, Oedipus, Hamlet, Putri Tirtagangga, Abunawas,
sering mewarnai dunia ketoprak kita.
Penonton tidak pernah protes, bahwa yang ditonton itu sebuah olahan kreatif,
biarpun tidak dinyatakan terus terang. Oleh karena itu, sastra bandingan perlu
menjelaskan terjadinya alihwahana itu.
C. Sastra dan Agama/Kepercayaan.
Kaitan antara kesusasteraan dengan
agama/kepercayaan telah sangat lama terjadi. Banyak para penganut
agama/kepercayaan yang memanfaatkan tradisi sastra sebagai bagian ekspresi
batin. Tidak sedikit mereka yang berdoa, melantunkan puji-pujian menggunakan
karya sastra. Namun, kapan bermulanya kaitan tersebut tidak ada yang dapat
memastikannya. Naskah tertulis tertua yang diketahui berasal dari Mesir purba
mengenai pertunjukan drama yang disebut dengan drama Abydos (Kasim, 1996),
jelas terkait dengan kepercayaan masyarakat waktu itu. Dari naskah yang tidak
lengkap ini diketahui bahwa pertunjukan drama itu dimaksudkan untuk memuja dewa
Osiris dan dilaksanakan di kota Abydos, suatu kota di selatan Mesir yang
terkenal sebagai tempat pemakaman raja-raja Mesir zaman dahulu. Naskah dan
pertunjukan dramanya diperkirakan terjadi sekitar tahun 2000 SM.
Biarpun saya tidak sedang ingin merunut sejarah
awal mula agama dan sastra itu ada, tetapi hubungan keduanya tampak jelas.
Entah sejak prasejarah ataukah sejak manusia hendak mencari tahu siapa yang
harus disembah dan dipuja, sastra religius telah berkembang luas. Pada tahun
1871 suatu ekspedisi arkeolog mengadakan ekskavasi di lembah Mesopotamia dan
berhasil mendapatkan peninggalan kebudayaan tersebut berupa kota, kuil, dan
naskah-naskah bangsa tersebut yang diperltirakan berusia sekitar 4000 SM. Di
antara naskah tersebut yang terkenal adalah Epik Gilgamesh. Karya yang
berbentuk prosa liris ini bercerita tentang Gilgamesh, seorang raja, yang
beribukan seorang dewi dan berayahkan seorang manusia biasa. Dia seorang yang
sangat energik, namun memerintahkan rakyatnya dengan keras sehingga rakyatnya
meminta pertolongan dewa dewa. Kisah Gilgemesh ini berintikan kepercayaan
rakyat Sumeria pada masa dahulu.
Namun apabila drama Abydos dan
epik Gilgamesh da diperkirakan usianya, masih banyak karya yang anonim dan
berbentuk lisan yang tidak diketahui usianya. Tradisi mite dan puisi. umpamanya
sering berkaitan dengan upacara ritual keagamaan. Permohonan dan pemujaan
sering berkai dengan Yang Maha Kuasa dan diungkapkan melalui puisi. Dapat
dikatakan bahwa kesusasteraan pada mulanya bers keagamaan. Mitologi Jawa
misalnya, telah mengenal ragam sastra religi. Legenda-legenda Jawa, jelas
banyak yang terkait dengan religiusitasnya. Religiusitas orang Pantai Selatan
dan Gunung Merapi, jelas terkait dengan keyakinan mereka. Itulah sebabnya
antara keyakinan dan sastra sebenarnya dapat dirunut dan dibandingkan.
Dalam sejarah pertunjukan drama selanjutnya, kita
mengetahui bahwa tragedi berasal dari pemujaan terhai dewa Dionysus, dewa
anggar dan kesuburan yang kemudian dilaksanakan sekali setahun yang dikenal
dengan festival Dionysus. Dalam perkembangan selanjutnya, pertunju] drama
dimaksudkan sebagai sarana pengajaran moral i kepercayaan dalam masyarakat
Yunani klasik kar masyarakat pada zaman itu belum mengenal kitab tertentu
sebagai pedoman dan tuntunan hidup mereka. Kaitan antara pertunjukan tragedi
Yunani klasik dengan kehidupan spiritual masyarakat dinyatakan dalam kutipan di
bawah ini.
"Karena
tragedi tak dapat dilepaskan dari agama ditujukan sebagai pengajaran bagi
masyarakat, dramc dipandang sebagai figur yang penting dalam kehidupan
masyarakat".
Di Inggris, sekitar abad ke 7 karya-karya sastra,
terul: puisi, banyak ditulis oleh para paderi. Salah seorang y terkenal
Caedmon, paderi dari Northumbria, dan puis biasa disebut "Hymne
Caedmon". Isi dari puisi ini tenlu bersifat keagamaan, memuja Tuhan yang
bersifat baqa telah menciptakan segala keajaiban, sorga, bumi, dan sekitarnya
Pada masa masa selanjutnya, menjelang selama Abad Pertengahan (Medieval)
pengaruh agama sangat kuat terhadap kehidupan masyarakat. Pertunjukan-pertunjukan
drama yang dikenal dengan nama Mysteri dan Miracle Play, mula mula ddaksanakan
oleh inst gereja untuk memperteguh iman para anggota masyarakat.
Kisah kisah yang diangkat untuk pementasan tersebut
tentu saja berasal dari kisah-kisah yang bersuasana keagamaan. Selanjutnya ada
pementasan yang disebut dengan Morality
Play yang dilaksanakan oleh masyarakat umum, namun juga memiliki nafas
keagamaan. Dante (Durante) Alighieri (1265-1321) dengan karya besarnya Divina
Commedia (The Diviae Comedy, mulai ditulis tahun 1307 selesai tahun 1321) merupakan karya
yang sarat dengan pesan pesan keagamaan.
Selama dan sesudah masa Renesans, dominasi
unsur-unsur keagamaan mulai berkurang dan karya-karya yang bersifat sekuler
semakin bermunculan. Namun, itu tidak berarti karya karya sastra bebas sama
sekali dari warna dan nafas keagama,an. John Milton, penyair Inggris
(1608-1674) menciptakan Paradise Lost
(1667) dan Paradise Regained (1674) yang merupakan karya-karya Yang berintikan
ajaran agama. Seorang penyair yang unik adalah T. S. Eliot yang menggabungkan
unsur-unsur ajaran Kristen, Budha, dan mite dalam sajaknya panjangnya The Waste Land. Di samping itu, menurut
Vimala Rao dari Universitas Lucktnow, India (dalam Comparative Literature Studies, vol XVIII, no 2, Juni 1981), T.S.
Eliot juga d.ipengaruhi oleh ajaran aga;ma Hindu. Berikut ini ringkasan artikel
Vimala Rao yang berjudul 'T. S. Eliot's
The Cocktail Party and The Bhagavad-gita" yang memperlihatkan adanya
kaitan antara karya drama T.S. Eliot
tersebut dengan Kitab Suci agama Hindu.
Vimala Rao menyatakan bahwa sangat sedikit kritikus
yang pernah menelaah kaitan antara karya karya T. S. Eliot dengan filsafat
agama India, baik Budhisme maupun Hinduisme. Apabila pun ada hanya merupakan
komentar-komentar singkat dan tidak mendalam. Eliot mengagumi Bhagavadgita yang
dipandang sebagai puisi terbesar setelah Divine Comedy: Menurut Vimala Rao,
Eliot menggunakan karya tersebut sebagai sumber inspirasinya untuk sajaknya
"Four Quartets", terutama untuk bagian 'The Dry Salvages". Demikian juga pada sajaknya ya kurang
terkenal To the Indians Who Died in South
Africa. Eliot mengindentifikasikan peperangan di Afrika dengan mitologis
peperangan Kurukhsetra dalam Gita dan menjadi Krishna bagi serdadu India,
memberi nasehat agar berjua dalam peperangan walaupun sebenarnya bukan peperang
mereka, karena mereka harus memahami pengertian yang sebenarnya tentang
kewajiban berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran sejati. Kebenaran sejati itulah
yang harus meresapi dan dilaksanakan dalam misi mereka di Afrika.
Konsep-konsep filsafat India kelihatannya membekas
dalam pikiran Eliot sebagaimana dapat dilihat pada salah satu ungkapan penting
dalam The Cocktail Party, yakni
"Lakuk penyelamatan dirimu dengan penuh keteguhan", yang diulas dalam
drama tersebut. Kalimat ini merupakan perintah Buda kepada para pengikutnya
ketika akan meninggal dun Namun, disamping referensi dari agama Budha tersebut,
keliru apabila membatasi diri menelaah karya tersebut dari sudut Budhisme
semata mata. Karya drama tersebut ak memberikan makna yang lebih mendalam apabila k tempatkan dalam konteks Brahma atau Hinduisme,
terutai apabila kita kaitkan dengan Bhagavad Gita.
Seorang kritikus, Howarth, berbuat kesilapan deng
mengkaji The Cocktail Party hanya
dari sudut panda Budhisme. Dia sendiri mengakui bahwa adanya perubahan radikali
dalam karya The Cocktail Party yang
menekankan pada humanitas, karena karya-karya sebelum karya drama tersebut
Eliot setuju dengan pemisahan asketik. Namun, hal itu tiada memberi arti, kata
Budha, karena merupakan sumber dosa yang tidak dapat dihindari dan akibatnya
memperpanjang masa kemalangan jiwa inkarnasi. Dalam The Cocktail Party Eliot sendiri memihak pada kehidupan berumah
tangga dan juga pengobanan suhada. Apabila The
Cocktail Party ditelaah dari
tradisi Bhagavad-Gita, bukannya dari tradisi ajaran Budha, akan terlihat bahwa Eliot tidaklah memperkenalkan
konsepsi baru dan asli itu yang dapat menjawab kontradiksi itu. Eliot
mencampuradukkan latar belakang ajaran Budha dan Brahma dalam karya drama itu,
Namun dia sendiri sebenarnya cenderung ke arah ajaran Brahma.
Pengetahuan dan kesadaran tentang hakikat dunia
membuat seseorang berpartisipasi dalam kehidupan ini tanpa keterikatan.
Penahanan diri secara total yang merupakan satu-satunya jalan untuk menuju
nirwana menurut Budha, tidaklah penting, Karena itu, dalam tradisi
Bhagavad-Gita berpartisipasi dalam kehidupan dengan sikap semestinya merupakan
tugas yang penting bagi manusia. Pandangan yang sama dapat dilihat dalam The Cocktail Party.
Dari sudut pandangan ini The Cocktail Party dapat dipandang sebagai suatu epitome dari
situasi yang digambarkan dalam Bhagavad - Gita, bahwa kehidupan adalah masalah
pemilihan, masalah keterlibatan melalui tindakan dan sikap yang semestinya.
Pola percakapan antara Reilly dengan pasiennya menyerupai pola percakapan
antara Krishna dengan Arjuna dalam Gita. Arjuna sedang berada dalam
persimpangan jalan pengalaman hidupnya yang membuatnya ragu-ragu. Dia berusaha
mencari jawaban jawaban pertanyaannya. Sementara itu, Krishna menempatkan
intelektual diatas tindakan, namun masih meminta Arjuna untuk bertindak. Ketika
Arjuna menyatakan bahwa perkataan Krishna bertentangan satu sama lain, Krishna
menjawab bahwa ada dua cara untuk mendapatkan penerangan. Bahwa mereka yang
kontemplatif, ialah jalan pengetahuan, bagi yang aktif adalah jalan tindakan
yang tidak berdasarkan kepentingan diri sendiri. Kata-kata Krishna tersebut san
dengan kata-kata Reilly ketika dia bercerita kepada Cel tentang dua jalan, yang
dengan jalan itu individu-individu dapat mencapai keselamatan. Kedua jalan itu berbeda dan sesuai untuk
individu-individu menurut pembawaan merek Jalan Edward dan Lavinia tidak akan
sesuai untuk Celi karena itu Reilly menganjurkan kepada Celia jalan pengetahuan
dan kepercayaan.
Gambaran Eliot demikian sungguh memukau. Yang lebih
penting lagi, melalui ekspresi dia, tergambar betapa erat kaitan antara sastra
dan keyakinan seseorang. Kepercayaan sering menjadi tumpuan penyair dan
dramawan. Begitu pula dramawan sering emmanfaatkan doa-doa, dikemas secara
literer. Dalam kondisi spiritual demikian, menandai bahwa sastra bandingan yang
merujuk pada kepercayaan dan sastra memang selayaknya dilakukan. Misalkan saja
dalam khasanah sastra Jawa, kita dapat membandingkan antara kepercayaan kejawen
dengan karya sastra Serat Wirid Hidayat
Jati karya R. Ng. Ranggawarsita. Keterkaitan keduanya, mungkin sekali
menjadi percabangan dan atau pokok peribadatan.
D. Sastra dan Psikologi.
Dalam artikelnya Edel (Stallkenecht (1990:89-91)
telah menguraikan keterkaitan sastra dan psikologi. Dua hal ini perlu
dibandingkan, sebab memang ada kemiripan dalam ranah tertentu. Ssatra sebagai
cetusan jiwa, tentu saja tidak berlebihan bila dikaitkan dengan ekspresi
kejiwaan. Bahkan menurut dia, sastra dan psikologi - khususnya psikoanalisis
pada abad ini diletakkan dalam satu tingkungan dengan beberapa persamaan.
Kedua-duanya mengkaji motivasi dan gerak laku manusia yang diperbolehkan
mencipta mitos dan menggunakan simbol. Kedua-duanya juga mengkaji soal-soal
subjektivitas kemanusiaan. Dengan masuknya psikoanalisis dalam psikologi,
kajian sastra mula berkiblat kepada ilmu dan hasil kajian semakin subur, begitu
juga halnya dengan kritikan sastra dan penulisan biografi yang cnemanfaatkan
alat psikologi dan psikoanalisis.
Perhatian manusia terhadap emosi dan kajiannya
telah dilakukan sejak Aristoteles. Penyair-penyair gerakan Romantik telah
mendalami tradisi ini melalui puisi-puisi yang mereka hasilkan. Antara
tokoh-tokoh awal yang penting ialah Rousseau yang menulis tentang pengalaman
awalnya. Goethe menulis tentang kepercayaannya. Blake melansir pula tentang
mitologi diri dan simbolnya. Adapun Coleridge dengan hal tanggapan manusia,
kesemuanya melakukan satu eksplorasi psikologi. Dalam pengenalan Comedic Humnirre, Balzac menyebut
tentang "fenomena otak dan saraf yang masih belum diterakan dalam psikologi", di negara ini Hawthorne juga menginsafi hal yang sama.
Novelis ini percaya bahwa psikologi dapat mengurangi mimpi-mimpi indah berada
pada satu sistem.
Kelayakan sastra bandingan dengan psikologi bukan
suatu kebetulan. Sebab hadirnya ilmu psikologi sastra telah membukan jalan ke
arah ini. Bahkan dalam sastra bandingan ini juga ada baiknya menelusuri
psikologi pengarang satu dengan yang lain melalui teks. Jika tahun-tahun
berikutnya, tulisan-tulisan Freud tidak pada masalah sastra tapi lebih kepada
hal kedalaman atau kejiwaan yang lain dengan interpretasi terhadap simbol
kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam sastra, jelas menarik bagi sastra
bandingan. Psychoanalytische Sludien an Werken der Dichtung und Kunsl, 1924, pula
penting untuk kajian kritikan dan bidografi,
termasuk kajian terhadap sebuah novel kecil oleh Wilhelm Jensett, Gradiva;
juga terdapat sebuah esei mengenai Leorhardo da Vinci semasa kecilnya dan
Dostoevsky. Pada Freud, seni adalah "perantaraan penolakan realiti dan
fantasi, pcncapaian terhadap sesuatu". Beliau juga memperluaskan konsep
katharsis. Walau bagaimanapun psikoanalisis, tidak dapat menerangkan hal-hal
tersirat di sebalik penciptaan kreatif.
Pandangan Freud terhadap proses kreatif amat cocok
terhadap perkembangan psikologi ego menuhjukkah bagaimana penulis merakamkan
ketidakpuasan rasa dalam dirinya, dan Ernst Kris mengkonsepkannya sebagai
"penurunan fungsi ego", yang menuju ke tahap kreativiti dan mengenal
pasti diri. Seni tidak semeseinya hasil neurosis, seperti pandangan Freud, tapi
hanya ungkapan penulis atau seniman itu saja. Esei-esei Freud berfungsi sebagai
pengubat 'penyakit neurosis' yang sering dilemparkan terhadap seniman. Pendekatan
terapeutik ini terus menjadi jambatan antara sastra dan psikologi.
Sejak awal tahun 1910 pula, dalam Dichtung und
Neurose karya Wilhem Stekel mula menerapkan teori Freud, Wilhelm meletakkan
seniman atau penulis itu sendiri di meja terapi, psikoanalisis gunaan.
Tokoh-tokoh awal terdiri dari C. G. Jung, Otto Rank, Franz Alexander, Ernest
Jones, Hans Sachs, Oskar Pfister, Ernst Kris, Erich Fromm; Phyllis Greenacre
dan Erik Erikson. Di Amerika pula V. W. Brooks, Joseph W. Krutch dan Ludwig
Lewisohn menggunakan idea Freud hinggalah kepada peringkat kemudian seperti
Edmund Vilsoh Kenneth Burke, Frederick C. Crews dan Lionel Trilling
menggrrnakan konsep psikoanalisis dalam kritikan. Leon Edel menyatukan sastra
dan psikologi dalam tulisan biografi sastranya.
Pengaruh langsung yang paling awal tcrhadap sastcra
tcrdapat pada gerakan surrealis'. Pengasasnya, Andre Breton terpengaruh olch
Freud selepas Perang Dunia Pertama. Selepas menemuramah Freud di Vienna, bcliau berhenti dari pengajian
pcrubatannya, beralih kepada pencarian seni bawah scdar ini. Dia memberi nama surrealisnre sebagai konsep penyatuan
antara mimpi dengan realiti yang kemudiannya, dia mempcrcayainya scbagai
"kebenaran mutlak". Scjarawan sastra telah mcmberi dcfinisi
surrealismc schagai pencrokaan terhadap sistem bawah sedar yang
"hcrsubjcktivili mutlak". Bahasa adalah hak pencipta sepcrti juga
warna kepada pciukis, dan yang ditafsir adalah simbol-sirnbol. Dunia luar
sering dinafikan. Dunia individu yang jadi tumpuan. Sebcnarnya Freud menentang
pcnggunaan teori ini dalam sastra, kcrana yang di bawah sedar itu biasanya
hanya terjadi pada "bahan-bahan mcniah sahaja; scdangkan pencipta sangat
arif lerhadap apa yang dikerjakan serta keseronokan hasilnya dengan
pembaca-pembacanya".
Hal yang sama dengan unsur bawah sadar Freud di
dalam seni disebut juga sebagai kesadaran dalam, sering digunakan dalam karya
sastra sebagai "urutan bawah sadar" atau "monolog dalam".
Personaliti ciptaan begini dapat dirasakan, malah dialami sendiri, oleh pembaca
kelika menalap karya surrealisme. Novel surrealisme melakukan perubahan amat
banyak dalam teknik naratif. Masa jadi "psikologikal" karena
pengalaman pembaca dipusatkan pada masa itu saja sedangkan pcrlakuan serta
pemikirannya tidak statik. Bahan-bahan dikemukakan tanpa orutan atau susunan
kronologi novel yang lazim dilakukan; data yang diberikan tidak tersusun dan
timbul secara di bawah sadar melalui pancaindera, ingatan dan hubung-kait.
Peranan pengarang yang serba tahu telah terhapus sendirinya. Pergerakan dan perubahan
mental dan emosi watak amat perlu diikuti sekiranya pembaca tidak mau
"hilang" di tengah penghayatannya.
Di sini psikologi dan kritikan bcrgabung pada
kajian estetik. Seolah-olah kita kembali ke zaman permulaan kesusasteraan,
Karya Homer sendiri terdapat beberapa hal yang dapat memukau pembacanya. Dari
tulisan Proust kita dapat mencliti pcnerangan bagaimana sebuat novel dapat
memukau pembacanya supaya terus membaca dan merasa terlibat bersama.Ada dua
perdekatan yang menonjol dalam kritik sastra : (a) kajian mengenai unsur-unsur
psikologi dalam karya sastra itu sendiri, tanpa. mengaitkan dengan sejarah atau
asal usul karya itu; (b) kajian pola-pola mitos dan arketip yang mungkin ada
dalam suatu karya.
Kalau dicermati, motivasi dan tingkah laku para pelaku
dalam karya Shakespeare Hamlet merupakan perhatian utama kajian Ernest Jones
dalam Hamlet and Oedipus. Berdasarkan
buah pikiran Freud, Jones menyimpulkan bahwa penundaaan membalas dendam
terhadap pembunuh ayahnya oleh Hamlet disebabkan fantasi pribadinya (keinginan untuk
membunuh ayahnya karena dianggap sebagai saingan dalam mendapatkan kasih sayang
ibunya). Karena di alam bawah sadarnya dia telah lama ingin menyingkirkan
ayahnya - sebagaimana digambarkan Oedipus kompleks - Hamlet mengindentifikasikan
dirinya dengan pamannya (Claudius) yang telah lama membunuh ayahnya dan
mengawini ibunya. Karena itu apabila dia membunuh pamannya berarti dia membunuh
dirinya sendiri. Akibatnya, Hamlet terus diliputi keraguan.
Maud Bodkin merupakan kritikus yang penting ya
menerapkan teori Jung tentang mite dan arketaip dalam buku Maud Bodkin, Archetypal Pattern in Poetry telah
memberikan pengaruh yang besar sejak terbit tah 1934. Hipotesisnya adalah bahwa
pola-pola arketaip atau imaji-imaji "hadir dalam pengalaman yang dikomunikasikan
melalui puisi dan dapat dijumpai dengan analisis reflektif'. Dia membandingkan
pola-pola ini dengan poia pola budaya yang dikaji oleh antropologi. Pola pola
ini, menurut pengamatannya, dal digambarkan sebagai pengatur
kecenderungan-kecenderungan emosional yang sebagian ditentukan oleh pengalaman
ras atau komunitas yang dalam sejarahr menimbulkan tema. Di antara arketip atau
pola-pola yang dikajinya adalah "sorga-Hades-Kelahiran kemba atau
arketaip-arketaip setan, hero, dewa-dewa atau berbagai bentuk imaji tentang wanita
dalam foklor dan sastra. Selain dasar pembahasannya diambil dari teori Jung,
Maud Bodkin juga mengambil bahan dari karya James Frazer, Golden Bough, dan
berbagai kaji mitologi lainnya.
Banyak kajian sastra pada periode sebelum Freud
yang dilakukan untuk menjejaki sumber-sumber karya, baik bersifat biografis
maupun kesastraan, dari suatu karya sastra.Buku-buku yang telah dibaca penulis
tertentu dan kejadian-kejadian yang menimpa kehidupannya ditelaah untuk
mendapatkan gambaran bagaimana semua itu memuat pengaruh terhadap karya karya
yang mereka ciptakan. Sejak kemunculan psikoanalisis, kajian telah beipindah
dari cara kuno tersebut ke alam sadar dan telah menerapkan kajian yang lebih
sistematis mengenai proses imajinatif, yakni dasar dari fantasi-fantasi sang
seni.man dan pola pola yang tersirat dalam karya-karyanya. Apabila
sumber-sumber kesastraan telah diperoleh dan metode-metode psikoanalisis
diterapkan penelaah berusaha untuk menentukan bagaimana sumbersumber tersebut
mencair bersama-sama dalam alam sadar kreatif untuk menciptakan karya seni
baru.
Kajian yang dibicarakan di atas mengenai
"Proses kreatif' menerapkan karya biografi yang ditulis oleh penulisnya
sendiri. Ada biografi para penulis yang ditulis oleh para ahli psikoanalisis,
misalnya Marie Bonaparte tentang Edgar Alian Poe dan Phylis Greenacre mengenal Jonathan Swift, Karya mereka lebih bersifat klinikal dari pada
kajian sastra yang menitik beratkan pada kesimpulan tentang cara kerja alam
bawah sadar berdasarkan tulisan-tulisan dan bukti biografis. Penulis biografi
yang berorientasi pada psikologi mampu menangkap hal terkecil yang kelihatannya
tidak berarti, yang pada masa lalu hal ini selalu disingkirkan, untuk
dipergunakan agar personalitinya kelihatan lebih jelas. Berbeda dengan para
pendahulunya, penulis biografi masa kini memanfaatkan hal-hal yang bersifat
kontradiktif dan ambiguous dalam pokok pembicaraannya, sedangkan para penulis
biografi masa lalu menghindari hal yang demikian sehingga membuat figurnya lebih
konsisten - yakni kurang ambivalent - dari pada keadaan sebenarnya. Satu contoh
yang unik dari biografi berdasarkan psycoanalisis adalah karya Ernest Jonest.
Karya ini disebut unik karena subjek pembicaraannya adalah pendiri psikonalisis
itu sendiri, yakni sigmun Freud. Karya ini penting baik sebagai sebuah biografi
maupun sebagai penjelasan kehidupan pribadi Freud dan kaitannya dengan
kelahiran dan sejarah aliran psikoanalisis.
Walaupun terus muncul kesadaran bahwa psikoanalisis
dapat memberi kejelasan tentang tingkah laku dan proses mental manusia, namun
secara umum dapat dikatalcan hubungan antara disiplin ini dengan disiplin
kajian sastra masih kabur. Ada keberatan dari para sastrawan dan pakar sastra
terhadap kegiatan "mempsikologikan" karya karya 'sastra, suatu
perasaan kuat bahwa persepsi manusia terhadap jiwa telah begitu mendalam dalam
karya-karya para penulis ternama sehingga tidak memerlukan bantuan lain,
terutama dari eksplorasi ilmiah yang berorientasi psikologi. Di samping itu,
penggunaan perlambangan oleh para pengikut Freud dengan cara yang pasti dan
kaku telah banyak dikritik Kebanyakan mahasiswa sastra mengetahui bahu
lambang-lambang itu sering bersifat universal, lambar tersebut juga sering
memiliki makna-makna assosiatif khusus terhadap individu.
Teori kekhawatiran dari Otto Rank sebagai akibat
trauma kelahiran, hanya kecil artinya bagi kajian sastra, dan "kompleks
inferioritas (rendah diri)" dari aliran Alfred Adler lebih banyak
kaitannya dengan masalah-masalah terapi dari memberikan dasar penelaahan bagi
pakar sastra kecuali pandangan Adler tentang perjuangan untuk kekuasaan.
Sebagaimana dikatakan di atas, pandangan Freud banyak memberikan bahan untuk
kajian sastra karena orientasinya terhadap religi dan mistik serta "alam
bawah sadar kolektif mereka yang berisikan "memori-memori rahasia”.
Menurut pandangan beberapa pakar, aliran Amerika dari Harry Stack Sullivan
lebih bermanfaat karena memandang individu sebagai produk dari “hubungan interpersonal" dengan pola kehidupan pada masa kecil, dan khususnya
bukan hubungan seksual dengan figur tertentu, yang memainkan peranan penting
dalam pembentukan personaliti individ Karena novel sebagian besar berkaitan
dengan hubunga hubungan interpersonal, aliran ini lebih banyak menawarkan
kemungkinan bagi para mahasiswa sastra. Pendekata pendekatan Karen Horney dan
Eric Fromm yang mengambil pemikiran sosiologis dan antropologis dalam membentuk
teori-teori mereka, juga berharga untuk diterapkan. Mereka menekankan pada
masalah-masalah kultural dari kehidupan seorang individu, bukannya penekanan
nah biologis seperti Freud.
Kecenderungan membicarakan masalah-masalah kejiwaan
dalam karya karya sastra semakin menonjol pada abad ke 20 ini. Franz Kafka
dengan Metamorphosesnya, Thomas Mann dalam karyanya Death in Venice, Sadegh Hedayat (novelis Iran) dengan novelnya The Blind Owl, serta Tennessee Williams dalam karya dramanya A Streetcar Named Desire, merupakan para pengarang sastra yang
dikenal selalu membicarakan masalah masalah kejiwaan para pelakunya Sebelum kejatuhan
komunisme, para penulis yang disebut dengan sosialis realisme selalu menerapkan
ideologi tersebut dalam karya-karya sastra mereka.
Salah satu kajian mengenai kaitan antara
kesusasteraan dengan psikologi dapat dilihat dalam artikel yang ditulis oleh
Leon Edel yarig berjudul "Literature
and Psychology" (dalam Stallnech, Newton P. dan Frenz, Horst, 1961).
Leon Edel mengemukakan bahwa hanyalah mulai dari aliran romantik para pengarang
sastra yang kreatif yang menyadari adanya kemampuan bagai mimpi bawah sadar.
Goethe percaya bahwa fiksinya harus diperkaya dengan pikiran dalam (inner thought) manusia Coleridge
mengamati mimpi siang dan mimpi malam, dan Rousseau berusaha menemukan kembali
dan mengamati pengalaman masa lalunya, yang kesemuanya memperlihatkan
keterlibatan mereka terhadap ek psikologis. Hawthorne berkeyakinan bahwa
psikologi akan merumuskan dunia mimpi menjadi suatu Karya-karya pengarang lain,
seperti Dostoevsky, Stri Ibsen, dan Henry James, juga memperlihatkan imajinasi
mendalam dari para pengarang tersebut dan memotivasi bawah sadar. Namun, hanya
sejak 1900-an terbitnya karya Sigmund Freud, Interpretation of Dream para penelaah dan mahasiswa sastra
menyadari persamaan antara karya bagai - mimpi sang penyakit kreativitas
aktualnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, karya-karya mengenai
psikoanalisis dapat mengungkapkan n masalah yang menyangkut dengan kemampuan
piki alam bawah sadar, konsep pemuasaan ke masalah-masalah neorosis dan sifat asosiatif lambang i yang semuanya
dapat diterapkan untuk kajian kesus Untuk kritik sastra dan biografi tulisannya
yang lebih adalah tentang hakikat seni dan seniman yang me kumpulan tulisannya
tahun 1921 yang Psyhoanalytische Studies an Werken der Dichtu Kunst. Karya ini
berisikan kajian psikoanalisis terhad karya Wilhelm Jensen, Gradiva, esainya
tentang Leor Vinci, serta kajiannya mengenai "Dostoevsky and p; Freud
menganggap seni sebagai "bidang yang menjembatani antara realitas yang
ingin ditolak dengan dunia fantasi ingin dipenuhi". Dia berpendapat bahwa
isi suatu karya seorang seniman, seperti yang tergambar dalam mimpi dapat
mengungkapkan, diluar kesadarannya, apa keinginanl penciptanya. Namun, dia
mengakui bahwa psikoanalis dapat menjelaskan asal usul bakat sang seniman dan
bahwa ada misteri-misteri dalam kemampuan berkreasi dan yang untuk ini
psikoanalisis hanya mampu mengemukakan dugaan tanpa adanya suatu jawaban yang
ilmiah.
Pada petmulaan tahun 1920 Wilhelm Stel dalam
karyanya Dichtung und Neurose
menerapkan buah pikiran imajinatif: Akibatnya, karya Italo Svevo, La Conscience di Zeno, merupakan
penerapan psikoanalisis yang alami oleh protagonisnya. Karya Thomas Mann juga
berasal dari teori Freud penulis Jerman terkenal ini mengakui jasa Freud dalam
esainya "Freud and the Future" yang terbit tahun 1936 di mana dia
membicarakan buah pikiran dan tema karya-karyanya yang didasarkan pada
psikoanalisis. Ada tiga bidang yang merupakan sumbangan psikoanalisis kepada
kajian sastra, yakni: (1) Kritik sastra, (2) Kajian mengenai proses kreatif
dalam kesusasteraan, (3) Penulisan biografi.
Dari sejumlah alasan di atas, sastra bandingan
cukup strategis memasuki dunia kejiwaan. Bandingan antara psikologi dan sastra
menjadi semakin jelas arahnya. Psikologi telah menunjukkan bahwa dalam
kesusasteraan kita dapat menjumpai contoh-contoh yang jelas dari imajinatif
yang memberikan gambaran tentang psikologi pikir ian cara kerja alam bawah
sadar. Pada satu sisi kesusasteraan masih menyerap dan mempelajari psikologi,
khusunya konsep-konsep psikoanalisis. Masalahnya bagi kesusasteraan sebagian
adalah masalah terminologi, yakni istilah-istilah teknis psikoanalisis
diadaptasi secara salah untuk keperluan kritik sastra. Para pengguna
psikoanalisis yang paling berhasil adalah para penulis biografi dan kritikus
yang telah menemukan cara menerjemahkan istilah-istilah yang khusus kedalam
kosa kata yang lebih dikenal dari disiplin mereka sendiri.
Kasim (1996:103-118) menjelaskan bahwa sejak zaman
dahulu, yakni pada masa keemasan peradaban Yunani klasik, para pemikir telah
menguasai berbagai bidang ilmu. Socrates, sebelum menjalani hukuman mati,
menulis puisi ketika dia masih berada di penjara. Dia sendiri dikenal sebagai
seorang ahli filsafat. Muridnya, Plato (423-347 SM), memiliki bidang
pengetahuan yang lebih luas. Dalam berbagai karangannya antara lain Re Symposium, Hippias Minor, Stetesman, Ion, dan Law membicarakan berbagai bidang pengetahuan, mulai politik,
filsafat, kepercayaan, hukum, dan
kesusasteraan. Demikian pula murid Plato, Aristoteles (384-322 SM) kelihatannya
mengikuti jejak gurunya, juga membicarakan berbagai bidang pengetahuan dalam
karya-karyanya, Poetics, Politics,
Ethics, Rhetorics, Metaphysics, dan Parva
Naturalis.
Kaitan antara mite dengan kesusasteraan telah
diperlajari para ahli. Ada yang berpendapat bahwa karya; berasal dari mite,
namun ada pula yang memandang kesusasteraan dan mite tumbuh dan berk
berdampingan. Kita mengetahui bahwa Oedipus Rex bi karya asli ciptaan
Sophocles. Kisah Oedipus itu merupakan mite rakyat Yunani klasik yang kemudiar
kembali oleh Sophocles dalam bentuk karya drama. Mulai dari pemikiran Plato
sampai Socrates (Skilleas, 2001:1) tampak keduanya sebagai sentral pemikir
filosofi dunia. Keduanya juga pemberi ilham terkaya bagi perkembangan sastra.
Maka merunut keterkaitan sastra dan filsafat tidak akan lepas dari keduanya.
Sekitar abad pertengahan (Middle Ages), buah Plato
dihidupkan kembali oleh kaum Neo-Platonist. Karena itu buah pikiran Plato
banyak dijumpai pada kesusasteraan Inggris dan Italy. Karya Edmund Spenser
(1552-1599), Hymnes in Honour of Love and
Beauty (1596) berasal dari Symposiumnya Plato. Pada aliran romantik dikenal
apa yang disebut dengan "primitivisme" yang berasal dari buah pikiran
Jean Jacques Rousseau (1718-1778) dalam bukunya Discousur les Arts et
Sciences (1750). Dalam bukunya, Rousseau (dalam Watt A Homer dan Watt W.
William, 1952:395) menekankan bahwa
manifestasi tertinggi dari kebijaksanaan terdapat dalam kehidupan mulia
masyarakat yan tersentuh oleh kebobrokan masyarakat berbudaya. Pandangan
Rousseau ini mengundang berbagai penafsiran. Salah satu penafsiran yang paling
menonjol adalah konsepsi yang memandang bahwa pengungkapan puisi yang hanya
dijumpai pada orang-orang pedesaan karena yang datang kepada mereka masih
bersifat alami dipengaruhi oleh kaidah-kaidah formal penulisan puisi. Konsepsi
ini secara jelas diwujudkan oleh William Wordsworth dalam karyanya yang
terkenal Preface to Lyrlcal Ballads.
Berbagai buah pikiran filsafat,
mulai dari stoicisme, hedonisme, serta positivisme telah mewarnai karya-karya
sastra. Aliran naturalis yang berkembang pada penghujung abad ke 19 diketahui
memiliki kaitan dengan natural scieace yang menganalogikan tugas seorang novel
dengan tugas seorang ahli bedah. Selain itu, aliran tersebut cenderung memuat
buah pikiran stoicisme dan determinisme. Demikian pula Ernest Hemingway di
katakan selalu menerapkan kedua pandangan filsafat tersebut dalam gambaran
perwatakan karya karyanya.
Skilleas (2001:2) adalah penulis ide yang
pertama-tama sampai ke tangan saya, yang memberikan gambaran tentang (1)
philosophy and literature, (2) literature in philosophy, (3) philosophy as
literature, (4) literature as philosophy, dan sejenisnya. Pandangan dia itu,
hakikatnya ingin mendudukkan persoalan penting, bahwa ada keterkaitan mendalam
antara sastra dan filsafat. Wellek dan Warren (1989) memang pernah membahas
panjang lebar tentang hal ini. Namun, melalui pemikiran Skilleas, hubungan
keduanya dapat diperluas dan semakin jelas. Saya memandang, bahwa sastra
bandingan memang harus menjadi jembatan keduanya.
Apapun alasannya, sastra itu sebuah pemikiran
filsafat. Sastra adalah karya filsafat. Pengarang sering menjadi seorang
filsuf. Mereka gemar berfilsafat lewat tokoh dan narasi-narasi. Terlebih karya
puisi yang padat makna, jelas merupakan buah pemikiran filosofi yang mendalam.
Atas dasar hal tersebut berarti bandingan sastra dan filsafat patut
dikemukakan. Kalau menengok karya-karya Danarto berjudul Adam Makrifat, jelas merupakan pantulan filosofi tingkat tinggi.
Karya ini telah dibandingkan dengan karya berjudul Al Amin. Bandingan dilakukan menggunakan konsep pemikiran Jost.
Setelah melalui program penggodogan penulsian esai, komparatis Jamal D Rahman
merasa sukses membandingkan kedua karya tersebut. Kalau saya telusuri, hasil
bandingan dia jelas terkait dengan ungkapan-ungkapan filsafat. Belum lagi kalau
mau menengok karya-karya lain di dunia yang sebenarnya ke arah sufisme, jelas
sebagai refleksi filosofi kehidupan yang dalam.
Bahkan Thohari (1988) jauh sebelumnya juga pernah
melakukan bandingan antara Danarto dengan Attar (penulis Persia). Hasil kajian
bandingan dia menunjukkan bahwa kedua pengarang itu memiliki paham sufisme
tingkat tinggi. Sufisme adalah bagian dari filosofi Islam. Jika Attar menulis
melalui kesadaran sufistik, Danarto cenderung ke arah enlightenment, artinya pencerahan batin manusia. Biarpun kedua
pengarang menggunakan istilah yang berlainan, tetap dapat dipandang memiliki
kemiripan arah filosofi kehidupan. Yang jelas masalah sastra
bandingan dan filsafat memang sudah tidak harus diragukan. Filsuf sendiri juga
tidak sedikit yang gemar bermain sastra. Bahkan filsuf seperti Damardjati
Supadjar, amar gemar dengan sastra suluk seperti Sastra Gendhing, Serat Centhini, Serat Kridha Grahita, dan sebagainya. Karya-karya demikian jelas pancaran
pemikiran filosofi Jawa, yang patut
disandingkan lewat sastra bandingan. Ujung dari semua pelacakan, sebaiknya
mengikuti gagasan Shaw (1990:67-71) apakah sastrawan melakukan: (a) terjemahan,
dilengkapi dengan proses kreatif, (b) penipuan, melakukan imitasi imajiner yang
amat sulit diselami, (c) peminjaman gagasan filsafat ke dalam sastra, (d)
keterpengaruhan. Semua hal itu dirunut sumber inspirasinya, agar jelas duduk
persoalannya. Tugas sastra bandingan adalah menemukan proses ide filosofi bisa
merasuk ke dunia kreativitas. Sebaliknya, juga perlu diketahui sejauhmana para
filsuf juga banyak bergumam tentang sastra.
Pemikiran-pemikiran jernih para sastrawan, seperti
Taufik Ismail, Tamsir AS, Widiwidayat, Kirjomulyo, Bondan Nusantara, dan
lain-lain layak diperhitungkan sebagai studi sastra bandingan. Mereka itu
biarpun tidak secara terang-terangan sedang berfilsafat, amat mungkin bahwa
karya-karyanya bernuansa filsafat. Bahkan kalau dirunut tulisan psikologis Ki
Ageng Suryamentaram pun dapat tergolong karya filosofi, yang layak dibandingkan
dengan karya-karya Darmanto Jatman.
0 komentar:
Posting Komentar