Pages

Selasa, 14 Mei 2019

SASTRA BANDINGAN 8. SASTRA BANDINGAN: ANTARA SASTRA DAN NON SASTRA



SASTRA BANDINGAN: ANTARA SASTRA DAN NON SASTRA


A. Sastra Bandingan dan Antropologi

1. Titik Temu Sastra dan Antropologi

Bandingan dalam konteks sastra dan non sastra juga termasuk bagian dari sastra bandingan. Biarpun ada yang berpendapat hal ini bukan sastra bandingan, melainkan seni bandingan, silahkan saja. Seni bandingan tetap wilayah sastra bandingan. Yang paling penting, dalam proses termaksud ada upaya membanding antara sastra dengan aspek non sastra. Hal ini sebagai bukti bahwa sastra itu karya yang memuat sekian hal, sehingga layak dibandingkan.

Bidang-bidang lain yang dekat dengan sastra cukup banyak. Bidang-bidang tersebut biasanya termuat dalam konteks sastra, antara lain antropologi, sosial, psikologi, agama, filsafat, agama, kepercayaan, sejarah, seni, dan politik. Sastra bandingan semacam ini merupakan kajian yang lebih luas karena menyangkut bidang-bidang di luar dunia kesusasteraan. Banyaknya karya sastra yang berisikan teori maupun merefleksikan masalah-masalah yang terdapat dalam bidang-bidang tersebut, merupakan suatu hal yang biasa dalam dunia kesusasteraan. Sastra memang buah karya yang kaya terhadap dunia. Sastra mewadahi seluruh hal tentang kebutuhan hidup manusia baik di dunia maupun akhirat.
Sadar atau tidak, memang ada para penulis yang memang dengan sengaja memasukkan buah pikiran dari berbagai bidang, misalnya teori psikologi dan buah pikiran filsafat, tetapi ada pula yang tanpa sengaja telah memasukkan buah pikiran tersebut ke dalam karya-karya sastra mereka. Seorang Danarto pernah bilang, katanya ketika berekspresi kadang-kadang tak sadar, gila, maka bukan tidak mungkin kalau seluruh ada dalam karyanya. Tegasnya berbagai hal itu tentu ada keterkaitanya dengan masalah hidup manusia. Namun, baik persoalan hidup yang disengaja maupun tidak, para penelaah sastra bandingan akan membicarakan hubungan ini begitu mereka melihat bahwa dalam suatu karya terdapat hubungan yang dimaksud. Peneliti sastra bandingan akan meneropong aneka kemungkinan yang terdapat dalam sastra. Betapapun absurd dan imajinatif karya yang dihadapi, tentu ada relevansinya dengan bidang-bidang kehidupan manusia.

Perlu diketahui, aspek kehidupan di luar sastra itu tidak lain juga merupakan kebutuhan hidup manusia hanya dengan ekspresi berbeda. Bidang-bidang lain non sastra yang senada dengan sastra yaitu seni, keduanya banyak bermain dengan imajinasi dan atau fantasi. Keduanya sering terdapat titik temu. Keduanya juga merupakan wajah ekspresif hidup. Bahkan karya di luar sastra yang tanpa imajinasi, seperti agama, psikologi, sosiologi, politik, lingkuan hidup, dan lain-lain pun tetap berkaitan erat dengan sastra.

Asumsi yang dibangun oleh pengkaji sastra bandingan dengan non sastra, sastra itu adalah ekspresi dan refleksi kehidupan. Sastra adalah ranah kehidupan itu sendiri. Sastra adalah bagian penting dari hidup dan kehidupan yang mau tidak mau akan berhubungan dengan seluruh aktivitas hidup. Sastra yang terkesan fantastis, berada di luar kehidupan, misalnya kisah di luar angkasa pun tetap terkait dengan hidup itu sendiri. Sastra yang berkisah tentang surga pun, biarpun tetap imajinatif, dapat dikaitkan dengan hidup manusia.

Sastra bandingan dengan ilmu lain, terutama antropologi sastra, masih relatif baru. Sastra dan antropologi adalah dua ilmu yang bersebelahan, tapi tidak berseberangan. Sastra adalah imajinasi dunia manusia, yang banyak membeberkan ekspresi hidup secara fantastis. Sastra menggarap kehidupan sesuai paham dunia mungkin. Hal yang tak mungkin dalam antropologi, dalam sastra menjadi mungkin. Hal-hal yang kecil, mungkin tak diperhatikan oleh antropolog, akan dibidik oleh pengarang.

Pada suatu saat, antropolog pun seperti seorang pengarang. Karya etnografi yang dihasilkan, kadang-kadang sekedar imajinasi, dan bukan tidak mungkin kalau lebih indah dari warna aslinya. Apalagi etnografi antropolog yang sengaja ditulis dengan gaya posmo dan penafsiran, tentu sering berupa karya seperti halnya sastra. Permainan tafsir sering menyebabkan etnografi menjadi seperti karya imajinatif. Biarpun data-datanya jelas, namun hasil tafsir seorang antropolog kadang-kadang melebihi batas-batas imajinatif.

Dalam proses demikian, bukan tidak mungkin kalau karya etnografi tidak jauh berbeda dengan sebuah novel. Etnografi yang ditulis menggunakan perenungan dan dibahasakan secara lentur serta cair, membuka peluang terjadinya fantasi. Akibatnya ada titik temu antara antropologi dengan sastra. Sebaliknya, tidak sedikit karya sastra yang sengaja atau tidak melukiskan kehidupan etnografi tokoh. Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan Donyane Wong Culika dan Astirin Mbalela karya Suparta Brata adalah gambaran etnografi sekelompok manusia. Kehidupan priyayi dan kehidupan seni, dilukiskan dalam novel tersebut. Melalui karya yang bernuansa etnografi, berarti seorang antropolog pun dapat belajar dari sastra.

Melalui kepiawaian seorang pengarang Suparta Brata, yang membuat novel Astirin Mbalela, tergambar pula bagaimana pola-pola kehidupan seseorang di masyarakat. Berbagai tradisi sering pula muncul dalam novel-novel lain, seperti Kumandhanging Katresnan karya Any Asmara, Mendhung Kesaput Angin karya AG Suharti, dan sebagainya, adalah potret sebuah bangsa. Berbagai akar tradisi Jawa yang dilukiskan dalam novel tersebut, tidak lain merupakan sebuah etnografi. Begitu pula ketika kita mencermati sastra drama wayang kulit dalam lakon Dewi Sri, kalau dilihat dari kacamata Levi-Strauss, jelas merupakan refleksi kehidupan antropologi estetis.

Pada kasus-kasus sastra di atas, pengkaji sastra bandingan dapat melakukan penelusuran lebih intensif terhadap karya sastra dan antropologi. Sastra dengan sendirinya akan menyediakan bahan etnografi yang amat berharga, yang di dalamnya setiap orang dapat memahami kehidupan lebih dalam. Sastra menjadi bahan imajinatif, kapan dan di mana saja orang hidup secara sosiokultural. Dalam kaitan ini, sastra bandingan akan melihat seberapa jauh keterkaitan antara sastra dan antropologi.

2. Sastra Antropologi dan Antropologi Sastra

Secara kebetulan saya memiliki basic sastra, baru menelusuri antropologi. Berkat keilmuan dasar itu, ternyata memasuki wilayah antropologi justru menemukan “hutan sastra” yang penuh makna. Jagad antropologi dan sastra ternyata seperti hutan simbol yang tidak pernah terbakar. Hutan itu rimbun daunnya, sarat makna.

Sejak saat itu, saya terus menemukan keunikan, bahwa ada istilah sastra antropologi dan antropologi sastra. Keduanya merupakan studi interdisipliner yang penuh tantangan. Mungkin anda tidak yakin bahwa jagad antropologi itu sebenarnya banyak yang mirip sastra. Tidak sedikit tulisan etnografi yang bernilai sastrawi. Sebaliknya, saya baru menyadari bahwa banyak pula sastra yang memuat endapan antropologis.

Yang dimaksud dengan `sastra antropologi' di sini menurut Ahimsa-Putra (2008) bukanlah kajian sastra tentang antropologi ataupun teks antropologi (etnografi), tetapi karya sastra yang dihasilkan oleh para ahli antropologi sebagai penulis etnografi. Sebagaimana telah kita lihat, dengan munculnya posmodernisme dalam antropologi maka batas antara etnografi sebagai deskripsi tentang suatu kebudayaan yang dianggap `objektif' dan `berjarak', dengan suatu karya sastra yang bersifat imajinatif dan `tanpa jarak', tidak lagi'dapat di-pertahankan. Dilihat melalui kacamata kajian sastra, ternyata pelbagai etnografi dalam antropologi juga memiliki genre tertentu, dan etnografi ternyata juga bukan sebuah karya yang bisa ditulis oleh setiap orang dengan teknik yang sama. Bagaimanapun, sebuah etnografi ternyata juga tidak bisa lepas dari kepribadian, kesukaan, dan, pengalaman pribadi penulisnya. Selain itu, sebuah etnografi ternyata juga bukan sebuah karya yang hanya memaparkan apa yang ada `di luar sana', yang tidak mengandung imajinasi penulisnya sarna sekali.

Sudut pandang seperti ini ternyata mempunyai implikasi yang sangat penting terhadap aktivitas dan identitas seorang antropolog. Seorang ahli antropologi yang telah melakukan penelitian, dan kemudian menulis sebuah etnografi mengenai masyarakat dan kebudayaan yang ditelitinya dengan sendirinya adalah juga seorang `pengarang', bukan hanya penulis.
Tentu saja kepengarangan ini masih belum sebebas yang dimiliki oleh seorang penulis karya sastra. Namun hal ini tidak mengurangi kadar kepengarangannya, sebab walaupun seorang pengarang tampaknya memiliki kebebasan sepenuhnya, namun analisis atas karya-karya sastra tertentu menunjukkan bahwa hal ini lebih bersifat ilusi ketimbang `kenyataan yang sebenarnya'. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi yang menyajikan suatu kebudayaan dalam bentuk suatu karya tulis dengan teknik atau cara tertentu, pada dasarnya adalah juga seorang sastrawan.

Seorang ahli antropologi dengan demikian bukan hanya seorang ilmuwan atau pengamat, penafsir dan penjelas pelbagai fenomena sosial budaya, tetapi dia adalah juga seorang seniman, seorang sastrawan. Sama seperti seorang sastrawan, karya-karya seorang ahli antropologi juga dapat sangat berpengaruh terhadap pelbagai pandangan yang dianut oleh warga masyarakatnya. Seorang antropolog yang menyadari betul posisinya sebagai seorang penulis kebudayaan, seorang pengarang, yang mampu mempengaruhi pandangan masyarakat lewat tulisan-tulisannya, akan dengan sadar memanfaatkan potensi politis yang ada dalam etnografinya sebaik mungkin. jika ini dilakukan maka seorang ahli antropologi akan mampu memberikan sumbangan yang lebih `berarti' terhadap masyarakat-masyarakat yang `tertindas', yang `terpinggirkan', yang umumnya kurang memiliki kesempatan untuk menyuarakan apa yang ada dalam hati mereka, dan seandainya toh kesempatan ini diberikan, suara-suara mereka tidak akan selalu didengarkan.

Sementara itu, ada pertanyaan lain yang tak kalah mengusiknya: disiplin ilmu apa yang menggenggam keabsahan dalam mengkaji sastra? Ketika disiplin ilmu kini mengalami banyak konvergensi, klaim spesialisasi ilmu nyaris menjadi omong kosong. Batas-batas ilmu pengetahuan, yang dulu banyak dikukuhi para ilmuwan, mulai mengalami keruntuhan. Akibatnya, beragam disiplin ilmu tumpah ruah dalam kancah kajian sastra. Lagipula, kini perkembangan ilmu sosial acapkali disebut-sebut memasuki `era bahasa' (linguistic turn). Akibat dari semua itu, saya memandang sekat-sekat keilmuan itu hanya penting pada situasi tertentu saja. Pada suasana lain, justru kolaborasi dalam keilmuan banyak yang menunggu.
Kajian gabungan antara antropologi sastra dan sastra antropologi, ternyata sulit diabaikan. Kehadiran sastra antropologi sering menarik para ahli antropologi. Sebaliknya munculnya antropologi sastra juga memiliki daya pikat bagi ahli sastra. Kedua hal itu sebenarnya berpeluang merebut hati para komparatis. Sastra bandingan menjadi alternatif pemahaman kedua masalah tersebut.

B. Tradisi Lisan: Sebuah Pintu Masuk

Tradisi lisan termasuk bidang yang unik. Saya katakan unik, sebab di dalamnya memuat ragam seni dan sastra yang sekaligus memenuhi fungsi estetis. Wilayah tradisi lisan memuat aneka ragam, antara lain seni, tradisi, dan sastra yang saling kait-mengkait satu sama lain. Pudentia MPSS (2008:5) dalam pengantar buku Metodologi Kajian Tradisi Lisan menyatakan bahwa tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara. Pernyataan ini meluputi aneka ragam tradisi, seperti pantun, mendongeng, wayang jemblung, ludruk, dan sebagainya. Keragaman tradisi lisan sebenarnya juga memuat sastra lisan, yang rentan perubahan.
Sastra lisan adalah bagian tradisi lisan yang sering berubah-ubah. Perubahan sebagai akibat salah ucap atau memang disengaja diucapkan keliru (dipelesetkan). Semua kekeliruan itu ternyata dapat menjadi “pintu masuk” jalur sastra bandingan. Berkat penuh dengan aneka perubahan sastra lisan menarik dibandingkan satu sama lain. Bahkan antara sastra lisan dan tradisi tulis, juga boleh dibandingkan. Di kalangan peneliti sastra dikenal istilah `sastra lisan', yang tampaknya muncul dari perjumpaan para peneliti ini dengan pelbagai cerita rakyat atau mitos yang masih hidup dalam masyarakat, yang juga mengandung nilai `sastra', nilai keindahan tertentu, namun tidak dituliskan. Jika para peneliti berpegang secara ketat pada definisi `sastra' sebagai sebuah karya tulis dengan pola tertentu yang mengandung keindahan-keindahan tertentu pula.

Apalagi kalau sastra lisan tersebut dipertunjukkan, jelas melalui garapan yang berubah-ubah, melewati sanggit, carangan, dan tafsir sutradara atau dalang. Pertunjukan sastra dan tradisi lisan sering banyak perubahan, hingga melahirkan varian teks dan konteks. Dari sini maka tantangan sastra bandingan adalah menemukan aneka perubahan itu sehingga terlihat variannya. Oleh karena itu, pelbagai cerita yang menarik dan jelas-jelas memiliki keindahan tersebut menjadi berada di luar definisi mereka, dan karenanya sering luput dari perhatian komparatis. Untuk dapat menempatkan pelbagai cerita dan mitos ini di bawah lingkup objek material kajian sastra bandingan diperlukan konsep-konsep baru yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, dan istilah `sastra lisan' (oral literature) adalah salah satu di antaranya, yang penuh dengan percabangan. Cabang-cabang itu merupakan kreasi unik yang menyedot para komparatis. Di sini pengertian `sastra' tentunya telah meluas, mencakup tidak hanya segala sesuatu yang tertulis, tetapi juga yang tidak tertulis namun memiliki keindahan sebagaimana yang ada dalam karya yang tertulis.
Sebagai peneliti yang langsung terjun dalam masyarakat dan hidup bersama warga masyarakat yang diteliti, para ahli antropologi boleh dikatakan merupakan peneliti yang paling mungkin menemukan pelbagai bentuk tradisi lisan dan sastra lisan yang hidup dalam masyarakat yang ditelitinya. Mereka memiliki kesempatan paling besar untuk dapat merekam sastra lisan yang masih hidup, dan melihat sendiri bagaimana sastra lisan ini `hidup', berfungsi dan diberi makna. Sastra lisan tersebut bisa dirunut migrasi dan atau difusinya, agar dapat ditemukan proses estetika yang saling mempengaruhi satu sama lain. Jika peneliti jeli terhadap aneka tradisi lisan, misalkan saja kisah Nyi Rara Kidul, tentu segera tergelitik melakukan bandingan dengan ketoprak misalnya. Apabila peneliti tertarik menelusuri kisah dewi Sri, sebagai dewa kesuburan, akan segera tergiring untuk membandingkan dengan Babad Tanah Jawa, begitu seterusnya.

Namun sebagai sumber informasi tentang kebudayaan masyarakat pencipta tradisi lisan, para komparatis perlu memperlakukannya dengan agak hati-hati. Ini disebabkan karena sebuah tradisi lisan pada dasarnya juga hasil dari imajinasi, sehingga informasi tentang ke-budayaan yang ada di dalamnya tidak harus dipercaya seratus persen sebagai informasi yang akurat. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat diperlakukan sebagai data kebudayaan lewat cara dan perspektif tertentu. Yang lebih penting para pengkaji, perlu menelusur, merekam, dan memahami silang perbedaan tradisi lisan satu dengan yang lain.

Jagad tradisi lisan kadang-kadang masih dianggap wilayah non sastra. Terlebih lagi kalau tradisi lisan tersebut terbalut dengan aneka tradisi ritual, sering orang lupa bahwa di dalamnya ada karya sastra. Tradisi lisan yang terjadi dalam karawitan (gamelan Jawa) pun relatif banyak. Dengan kemampuan kreatif seorang sinden, sering menyuarakan tradisi lisan yang penuh dengan perubahan. Akibatnya sastra karawitan baku diubah dengan keinginan sinden agar lebih kontekstual. Dalam suasana demikian, berarti perubahan di sana sini harus terjadi. Perubahan, entah yang disebut inovasi atau ada unsur ketidaksengajaan jelas memberi peluang studi sastra bandingan.

Tradisi lisan adalah karya seni, sastra, dan budaya yang berbaur. Tradisi lisan adalah karya yang amat rentan alihwahana, artinya perubahan di sana sini, yang sampai kini dianggap legal. Ketoprak, misalnya sering menggarap karya-karya sastra lain. Kisah Sampek Ing Tai, Romeo dan Juliet, Oedipus, Hamlet, Putri Tirtagangga, Abunawas, sering mewarnai dunia ketoprak kita. Penonton tidak pernah protes, bahwa yang ditonton itu sebuah olahan kreatif, biarpun tidak dinyatakan terus terang. Oleh karena itu, sastra bandingan perlu menjelaskan terjadinya alihwahana itu.

C. Sastra dan Agama/Kepercayaan.

Kaitan antara kesusasteraan dengan agama/kepercayaan telah sangat lama terjadi. Banyak para penganut agama/kepercayaan yang memanfaatkan tradisi sastra sebagai bagian ekspresi batin. Tidak sedikit mereka yang berdoa, melantunkan puji-pujian menggunakan karya sastra. Namun, kapan bermulanya kaitan tersebut tidak ada yang dapat memastikannya. Naskah tertulis tertua yang diketahui berasal dari Mesir purba mengenai pertunjukan drama yang disebut dengan drama Abydos (Kasim, 1996), jelas terkait dengan kepercayaan masyarakat waktu itu. Dari naskah yang tidak lengkap ini diketahui bahwa pertunjukan drama itu dimaksudkan untuk memuja dewa Osiris dan dilaksanakan di kota Abydos, suatu kota di selatan Mesir yang terkenal sebagai tempat pemakaman raja-raja Mesir zaman dahulu. Naskah dan pertunjukan dramanya diperkirakan terjadi sekitar tahun 2000 SM.

Biarpun saya tidak sedang ingin merunut sejarah awal mula agama dan sastra itu ada, tetapi hubungan keduanya tampak jelas. Entah sejak prasejarah ataukah sejak manusia hendak mencari tahu siapa yang harus disembah dan dipuja, sastra religius telah berkembang luas. Pada tahun 1871 suatu ekspedisi arkeolog mengadakan ekskavasi di lembah Mesopotamia dan berhasil mendapatkan peninggalan kebudayaan tersebut berupa kota, kuil, dan naskah-naskah bangsa tersebut yang diperltirakan berusia sekitar 4000 SM. Di antara naskah tersebut yang terkenal adalah Epik Gilgamesh. Karya yang berbentuk prosa liris ini bercerita tentang Gilgamesh, seorang raja, yang beribukan seorang dewi dan berayahkan seorang manusia biasa. Dia seorang yang sangat energik, namun memerintahkan rakyatnya dengan keras sehingga rakyatnya meminta pertolongan dewa dewa. Kisah Gilgemesh ini berintikan kepercayaan rakyat Sumeria pada masa dahulu.

Namun apabila drama Abydos dan epik Gilgamesh da diperkirakan usianya, masih banyak karya yang anonim dan berbentuk lisan yang tidak diketahui usianya. Tradisi mite dan puisi. umpamanya sering berkaitan dengan upacara ritual keagamaan. Permohonan dan pemujaan sering berkai dengan Yang Maha Kuasa dan diungkapkan melalui puisi. Dapat dikatakan bahwa kesusasteraan pada mulanya bers keagamaan. Mitologi Jawa misalnya, telah mengenal ragam sastra religi. Legenda-legenda Jawa, jelas banyak yang terkait dengan religiusitasnya. Religiusitas orang Pantai Selatan dan Gunung Merapi, jelas terkait dengan keyakinan mereka. Itulah sebabnya antara keyakinan dan sastra sebenarnya dapat dirunut dan dibandingkan.

Dalam sejarah pertunjukan drama selanjutnya, kita mengetahui bahwa tragedi berasal dari pemujaan terhai dewa Dionysus, dewa anggar dan kesuburan yang kemudian dilaksanakan sekali setahun yang dikenal dengan festival Dionysus. Dalam perkembangan selanjutnya, pertunju] drama dimaksudkan sebagai sarana pengajaran moral i kepercayaan dalam masyarakat Yunani klasik kar masyarakat pada zaman itu belum mengenal kitab tertentu sebagai pedoman dan tuntunan hidup mereka. Kaitan antara pertunjukan tragedi Yunani klasik dengan kehidupan spiritual masyarakat dinyatakan dalam kutipan di bawah ini.

"Karena tragedi tak dapat dilepaskan dari agama ditujukan sebagai pengajaran bagi masyarakat, dramc dipandang sebagai figur yang penting dalam kehidupan masyarakat".

Di Inggris, sekitar abad ke 7 karya-karya sastra, terul: puisi, banyak ditulis oleh para paderi. Salah seorang y terkenal Caedmon, paderi dari Northumbria, dan puis biasa disebut "Hymne Caedmon". Isi dari puisi ini tenlu bersifat keagamaan, memuja Tuhan yang bersifat baqa telah menciptakan segala keajaiban, sorga, bumi, dan sekitarnya Pada masa masa selanjutnya, menjelang selama Abad Pertengahan (Medieval) pengaruh agama sangat kuat terhadap kehidupan masyarakat. Pertunjukan-pertunjukan drama yang dikenal dengan nama Mysteri dan Miracle Play, mula mula ddaksanakan oleh inst gereja untuk memperteguh iman para anggota masyarakat.
Kisah kisah yang diangkat untuk pementasan tersebut tentu saja berasal dari kisah-kisah yang bersuasana keagamaan. Selanjutnya ada pementasan yang disebut dengan Morality Play yang dilaksanakan oleh masyarakat umum, namun juga memiliki nafas keagamaan. Dante (Durante) Alighieri (1265-1321) dengan karya besarnya Divina Commedia (The Diviae Comedy, mulai ditulis tahun 1307 selesai tahun 1321) merupakan karya yang sarat dengan pesan pesan keagamaan.

Selama dan sesudah masa Renesans, dominasi unsur-unsur keagamaan mulai berkurang dan karya-karya yang bersifat sekuler semakin bermunculan. Namun, itu tidak berarti karya karya sastra bebas sama sekali dari warna dan nafas keagama,an. John Milton, penyair Inggris (1608-1674) menciptakan Paradise Lost (1667) dan Paradise Regained (1674) yang merupakan karya-karya Yang berintikan ajaran agama. Seorang penyair yang unik adalah T. S. Eliot yang menggabungkan unsur-unsur ajaran Kristen, Budha, dan mite dalam sajaknya panjangnya The Waste Land. Di samping itu, menurut Vimala Rao dari Universitas Lucktnow, India (dalam Comparative Literature Studies, vol XVIII, no 2, Juni 1981), T.S. Eliot juga d.ipengaruhi oleh ajaran aga;ma Hindu. Berikut ini ringkasan artikel Vimala Rao yang berjudul 'T. S. Eliot's The Cocktail Party and The Bhagavad-gita" yang memperlihatkan adanya kaitan antara karya drama T.S. Eliot tersebut dengan Kitab Suci agama Hindu.

Vimala Rao menyatakan bahwa sangat sedikit kritikus yang pernah menelaah kaitan antara karya karya T. S. Eliot dengan filsafat agama India, baik Budhisme maupun Hinduisme. Apabila pun ada hanya merupakan komentar-komentar singkat dan tidak mendalam. Eliot mengagumi Bhagavadgita yang dipandang sebagai puisi terbesar setelah Divine Comedy: Menurut Vimala Rao, Eliot menggunakan karya tersebut sebagai sumber inspirasinya untuk sajaknya "Four Quartets", terutama untuk bagian 'The Dry Salvages". Demikian juga pada sajaknya ya kurang terkenal To the Indians Who Died in South Africa. Eliot mengindentifikasikan peperangan di Afrika dengan mitologis peperangan Kurukhsetra dalam Gita dan menjadi Krishna bagi serdadu India, memberi nasehat agar berjua dalam peperangan walaupun sebenarnya bukan peperang mereka, karena mereka harus memahami pengertian yang sebenarnya tentang kewajiban berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran sejati. Kebenaran sejati itulah yang harus meresapi dan dilaksanakan dalam misi mereka di Afrika.
Konsep-konsep filsafat India kelihatannya membekas dalam pikiran Eliot sebagaimana dapat dilihat pada salah satu ungkapan penting dalam The Cocktail Party, yakni "Lakuk penyelamatan dirimu dengan penuh keteguhan", yang diulas dalam drama tersebut. Kalimat ini merupakan perintah Buda kepada para pengikutnya ketika akan meninggal dun Namun, disamping referensi dari agama Budha tersebut, keliru apabila membatasi diri menelaah karya tersebut dari sudut Budhisme semata mata. Karya drama tersebut ak memberikan makna yang lebih mendalam apabila k tempatkan dalam konteks Brahma atau Hinduisme, terutai apabila kita kaitkan dengan Bhagavad Gita.
Seorang kritikus, Howarth, berbuat kesilapan deng mengkaji The Cocktail Party hanya dari sudut panda Budhisme. Dia sendiri mengakui bahwa adanya perubahan radikali dalam karya The Cocktail Party yang menekankan pada humanitas, karena karya-karya sebelum karya drama tersebut Eliot setuju dengan pemisahan asketik. Namun, hal itu tiada memberi arti, kata Budha, karena merupakan sumber dosa yang tidak dapat dihindari dan akibatnya memperpanjang masa kemalangan jiwa inkarnasi. Dalam The Cocktail Party Eliot sendiri memihak pada kehidupan berumah tangga dan juga pengobanan suhada. Apabila The Cocktail Party ditelaah dari tradisi Bhagavad-Gita, bukannya dari tradisi ajaran Budha, akan terlihat bahwa Eliot tidaklah memperkenalkan konsepsi baru dan asli itu yang dapat menjawab kontradiksi itu. Eliot mencampuradukkan latar belakang ajaran Budha dan Brahma dalam karya drama itu, Namun dia sendiri sebenarnya cenderung ke arah ajaran Brahma.

Pengetahuan dan kesadaran tentang hakikat dunia membuat seseorang berpartisipasi dalam kehidupan ini tanpa keterikatan. Penahanan diri secara total yang merupakan satu-satunya jalan untuk menuju nirwana menurut Budha, tidaklah penting, Karena itu, dalam tradisi Bhagavad-Gita berpartisipasi dalam kehidupan dengan sikap semestinya merupakan tugas yang penting bagi manusia. Pandangan yang sama dapat dilihat dalam The Cocktail Party.

Dari sudut pandangan ini The Cocktail Party dapat dipandang sebagai suatu epitome dari situasi yang digambarkan dalam Bhagavad - Gita, bahwa kehidupan adalah masalah pemilihan, masalah keterlibatan melalui tindakan dan sikap yang semestinya. Pola percakapan antara Reilly dengan pasiennya menyerupai pola percakapan antara Krishna dengan Arjuna dalam Gita. Arjuna sedang berada dalam persimpangan jalan pengalaman hidupnya yang membuatnya ragu-ragu. Dia berusaha mencari jawaban jawaban pertanyaannya. Sementara itu, Krishna menempatkan intelektual diatas tindakan, namun masih meminta Arjuna untuk bertindak. Ketika Arjuna menyatakan bahwa perkataan Krishna bertentangan satu sama lain, Krishna menjawab bahwa ada dua cara untuk mendapatkan penerangan. Bahwa mereka yang kontemplatif, ialah jalan pengetahuan, bagi yang aktif adalah jalan tindakan yang tidak berdasarkan kepentingan diri sendiri. Kata-kata Krishna tersebut san dengan kata-kata Reilly ketika dia bercerita kepada Cel tentang dua jalan, yang dengan jalan itu individu-individu dapat mencapai keselamatan. Kedua jalan itu berbeda dan sesuai untuk individu-individu menurut pembawaan merek Jalan Edward dan Lavinia tidak akan sesuai untuk Celi karena itu Reilly menganjurkan kepada Celia jalan pengetahuan dan kepercayaan.

Gambaran Eliot demikian sungguh memukau. Yang lebih penting lagi, melalui ekspresi dia, tergambar betapa erat kaitan antara sastra dan keyakinan seseorang. Kepercayaan sering menjadi tumpuan penyair dan dramawan. Begitu pula dramawan sering emmanfaatkan doa-doa, dikemas secara literer. Dalam kondisi spiritual demikian, menandai bahwa sastra bandingan yang merujuk pada kepercayaan dan sastra memang selayaknya dilakukan. Misalkan saja dalam khasanah sastra Jawa, kita dapat membandingkan antara kepercayaan kejawen dengan karya sastra Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng. Ranggawarsita. Keterkaitan keduanya, mungkin sekali menjadi percabangan dan atau pokok peribadatan.

D. Sastra dan Psikologi.

Dalam artikelnya Edel (Stallkenecht (1990:89-91) telah menguraikan keterkaitan sastra dan psikologi. Dua hal ini perlu dibandingkan, sebab memang ada kemiripan dalam ranah tertentu. Ssatra sebagai cetusan jiwa, tentu saja tidak berlebihan bila dikaitkan dengan ekspresi kejiwaan. Bahkan menurut dia, sastra dan psikologi - khususnya psikoanalisis pada abad ini diletakkan dalam satu tingkungan dengan beberapa persamaan. Kedua-duanya mengkaji motivasi dan gerak laku manusia yang diperbolehkan mencipta mitos dan menggunakan simbol. Kedua-duanya juga mengkaji soal-soal subjektivitas kemanusiaan. Dengan masuknya psikoanalisis dalam psikologi, kajian sastra mula berkiblat kepada ilmu dan hasil kajian semakin subur, begitu juga halnya dengan kritikan sastra dan penulisan biografi yang cnemanfaatkan alat psikologi dan psikoanalisis.

Perhatian manusia terhadap emosi dan kajiannya telah dilakukan sejak Aristoteles. Penyair-penyair gerakan Romantik telah mendalami tradisi ini melalui puisi-puisi yang mereka hasilkan. Antara tokoh-tokoh awal yang penting ialah Rousseau yang menulis tentang pengalaman awalnya. Goethe menulis tentang kepercayaannya. Blake melansir pula tentang mitologi diri dan simbolnya. Adapun Coleridge dengan hal tanggapan manusia, kesemuanya melakukan satu eksplorasi psikologi. Dalam pengenalan Comedic Humnirre, Balzac menyebut tentang "fenomena otak dan saraf yang masih belum diterakan dalam psikologi", di negara ini Hawthorne juga menginsafi hal yang sama. Novelis ini percaya bahwa psikologi dapat mengurangi mimpi-mimpi indah berada pada satu sistem.

Kelayakan sastra bandingan dengan psikologi bukan suatu kebetulan. Sebab hadirnya ilmu psikologi sastra telah membukan jalan ke arah ini. Bahkan dalam sastra bandingan ini juga ada baiknya menelusuri psikologi pengarang satu dengan yang lain melalui teks. Jika tahun-tahun berikutnya, tulisan-tulisan Freud tidak pada masalah sastra tapi lebih kepada hal kedalaman atau kejiwaan yang lain dengan interpretasi terhadap simbol kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam sastra, jelas menarik bagi sastra bandingan. Psychoanalytische Sludien an Werken der Dichtung und Kunsl, 1924, pula penting untuk kajian kritikan dan bidografi, termasuk kajian terhadap sebuah novel kecil oleh Wilhelm Jensett, Gradiva; juga terdapat sebuah esei mengenai Leorhardo da Vinci semasa kecilnya dan Dostoevsky. Pada Freud, seni adalah "perantaraan penolakan realiti dan fantasi, pcncapaian terhadap sesuatu". Beliau juga memperluaskan konsep katharsis. Walau bagaimanapun psikoanalisis, tidak dapat menerangkan hal-hal tersirat di sebalik penciptaan kreatif.
Pandangan Freud terhadap proses kreatif amat cocok terhadap perkembangan psikologi ego menuhjukkah bagaimana penulis merakamkan ketidakpuasan rasa dalam dirinya, dan Ernst Kris mengkonsepkannya sebagai "penurunan fungsi ego", yang menuju ke tahap kreativiti dan mengenal pasti diri. Seni tidak semeseinya hasil neurosis, seperti pandangan Freud, tapi hanya ungkapan penulis atau seniman itu saja. Esei-esei Freud berfungsi sebagai pengubat 'penyakit neurosis' yang sering dilemparkan terhadap seniman. Pendekatan terapeutik ini terus menjadi jambatan antara sastra dan psikologi.

Sejak awal tahun 1910 pula, dalam Dichtung und Neurose karya Wilhem Stekel mula menerapkan teori Freud, Wilhelm meletakkan seniman atau penulis itu sendiri di meja terapi, psikoanalisis gunaan. Tokoh-tokoh awal terdiri dari C. G. Jung, Otto Rank, Franz Alexander, Ernest Jones, Hans Sachs, Oskar Pfister, Ernst Kris, Erich Fromm; Phyllis Greenacre dan Erik Erikson. Di Amerika pula V. W. Brooks, Joseph W. Krutch dan Ludwig Lewisohn menggunakan idea Freud hinggalah kepada peringkat kemudian seperti Edmund Vilsoh Kenneth Burke, Frederick C. Crews dan Lionel Trilling menggrrnakan konsep psikoanalisis dalam kritikan. Leon Edel menyatukan sastra dan psikologi dalam tulisan biografi sastranya.

Pengaruh langsung yang paling awal tcrhadap sastcra tcrdapat pada gerakan surrealis'. Pengasasnya, Andre Breton terpengaruh olch Freud selepas Perang Dunia Pertama. Selepas menemuramah Freud di Vienna, bcliau berhenti dari pengajian pcrubatannya, beralih kepada pencarian seni bawah scdar ini. Dia memberi nama surrealisnre sebagai konsep penyatuan antara mimpi dengan realiti yang kemudiannya, dia mempcrcayainya scbagai "kebenaran mutlak". Scjarawan sastra telah mcmberi dcfinisi surrealismc schagai pencrokaan terhadap sistem bawah sedar yang "hcrsubjcktivili mutlak". Bahasa adalah hak pencipta sepcrti juga warna kepada pciukis, dan yang ditafsir adalah simbol-sirnbol. Dunia luar sering dinafikan. Dunia individu yang jadi tumpuan. Sebcnarnya Freud menentang pcnggunaan teori ini dalam sastra, kcrana yang di bawah sedar itu biasanya hanya terjadi pada "bahan-bahan mcniah sahaja; scdangkan pencipta sangat arif lerhadap apa yang dikerjakan serta keseronokan hasilnya dengan pembaca-pembacanya".

Hal yang sama dengan unsur bawah sadar Freud di dalam seni disebut juga sebagai kesadaran dalam, sering digunakan dalam karya sastra sebagai "urutan bawah sadar" atau "monolog dalam". Personaliti ciptaan begini dapat dirasakan, malah dialami sendiri, oleh pembaca kelika menalap karya surrealisme. Novel surrealisme melakukan perubahan amat banyak dalam teknik naratif. Masa jadi "psikologikal" karena pengalaman pembaca dipusatkan pada masa itu saja sedangkan pcrlakuan serta pemikirannya tidak statik. Bahan-bahan dikemukakan tanpa orutan atau susunan kronologi novel yang lazim dilakukan; data yang diberikan tidak tersusun dan timbul secara di bawah sadar melalui pancaindera, ingatan dan hubung-kait. Peranan pengarang yang serba tahu telah terhapus sendirinya. Pergerakan dan perubahan mental dan emosi watak amat perlu diikuti sekiranya pembaca tidak mau "hilang" di tengah penghayatannya.

Di sini psikologi dan kritikan bcrgabung pada kajian estetik. Seolah-olah kita kembali ke zaman permulaan kesusasteraan, Karya Homer sendiri terdapat beberapa hal yang dapat memukau pembacanya. Dari tulisan Proust kita dapat mencliti pcnerangan bagaimana sebuat novel dapat memukau pembacanya supaya terus membaca dan merasa terlibat bersama.Ada dua perdekatan yang menonjol dalam kritik sastra : (a) kajian mengenai unsur-unsur psikologi dalam karya sastra itu sendiri, tanpa. mengaitkan dengan sejarah atau asal usul karya itu; (b) kajian pola-pola mitos dan arketip yang mungkin ada dalam suatu karya.

Kalau dicermati, motivasi dan tingkah laku para pelaku dalam karya Shakespeare Hamlet merupakan perhatian utama kajian Ernest Jones dalam Hamlet and Oedipus. Berdasarkan buah pikiran Freud, Jones menyimpulkan bahwa penundaaan membalas dendam terhadap pembunuh ayahnya oleh Hamlet disebabkan fantasi pribadinya (keinginan untuk membunuh ayahnya karena dianggap sebagai saingan dalam mendapatkan kasih sayang ibunya). Karena di alam bawah sadarnya dia telah lama ingin menyingkirkan ayahnya - sebagaimana digambarkan Oedipus kompleks - Hamlet mengindentifikasikan dirinya dengan pamannya (Claudius) yang telah lama membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Karena itu apabila dia membunuh pamannya berarti dia membunuh dirinya sendiri. Akibatnya, Hamlet terus diliputi keraguan.

Maud Bodkin merupakan kritikus yang penting ya menerapkan teori Jung tentang mite dan arketaip dalam buku Maud Bodkin, Archetypal Pattern in Poetry telah memberikan pengaruh yang besar sejak terbit tah 1934. Hipotesisnya adalah bahwa pola-pola arketaip atau imaji-imaji "hadir dalam pengalaman yang dikomunikasikan melalui puisi dan dapat dijumpai dengan analisis reflektif'. Dia membandingkan pola-pola ini dengan poia pola budaya yang dikaji oleh antropologi. Pola pola ini, menurut pengamatannya, dal digambarkan sebagai pengatur kecenderungan-kecenderungan emosional yang sebagian ditentukan oleh pengalaman ras atau komunitas yang dalam sejarahr menimbulkan tema. Di antara arketip atau pola-pola yang dikajinya adalah "sorga-Hades-Kelahiran kemba atau arketaip-arketaip setan, hero, dewa-dewa atau berbagai bentuk imaji tentang wanita dalam foklor dan sastra. Selain dasar pembahasannya diambil dari teori Jung, Maud Bodkin juga mengambil bahan dari karya James Frazer, Golden Bough, dan berbagai kaji mitologi lainnya.

Banyak kajian sastra pada periode sebelum Freud yang dilakukan untuk menjejaki sumber-sumber karya, baik bersifat biografis maupun kesastraan, dari suatu karya sastra.Buku-buku yang telah dibaca penulis tertentu dan kejadian-kejadian yang menimpa kehidupannya ditelaah untuk mendapatkan gambaran bagaimana semua itu memuat pengaruh terhadap karya karya yang mereka ciptakan. Sejak kemunculan psikoanalisis, kajian telah beipindah dari cara kuno tersebut ke alam sadar dan telah menerapkan kajian yang lebih sistematis mengenai proses imajinatif, yakni dasar dari fantasi-fantasi sang seni.man dan pola pola yang tersirat dalam karya-karyanya. Apabila sumber-sumber kesastraan telah diperoleh dan metode-metode psikoanalisis diterapkan penelaah berusaha untuk menentukan bagaimana sumbersumber tersebut mencair bersama-sama dalam alam sadar kreatif untuk menciptakan karya seni baru.

Kajian yang dibicarakan di atas mengenai "Proses kreatif' menerapkan karya biografi yang ditulis oleh penulisnya sendiri. Ada biografi para penulis yang ditulis oleh para ahli psikoanalisis, misalnya Marie Bonaparte tentang Edgar Alian Poe dan Phylis Greenacre mengenal Jonathan Swift, Karya mereka lebih bersifat klinikal dari pada kajian sastra yang menitik beratkan pada kesimpulan tentang cara kerja alam bawah sadar berdasarkan tulisan-tulisan dan bukti biografis. Penulis biografi yang berorientasi pada psikologi mampu menangkap hal terkecil yang kelihatannya tidak berarti, yang pada masa lalu hal ini selalu disingkirkan, untuk dipergunakan agar personalitinya kelihatan lebih jelas. Berbeda dengan para pendahulunya, penulis biografi masa kini memanfaatkan hal-hal yang bersifat kontradiktif dan ambiguous dalam pokok pembicaraannya, sedangkan para penulis biografi masa lalu menghindari hal yang demikian sehingga membuat figurnya lebih konsisten - yakni kurang ambivalent - dari pada keadaan sebenarnya. Satu contoh yang unik dari biografi berdasarkan psycoanalisis adalah karya Ernest Jonest. Karya ini disebut unik karena subjek pembicaraannya adalah pendiri psikonalisis itu sendiri, yakni sigmun Freud. Karya ini penting baik sebagai sebuah biografi maupun sebagai penjelasan kehidupan pribadi Freud dan kaitannya dengan kelahiran dan sejarah aliran psikoanalisis.

Walaupun terus muncul kesadaran bahwa psikoanalisis dapat memberi kejelasan tentang tingkah laku dan proses mental manusia, namun secara umum dapat dikatalcan hubungan antara disiplin ini dengan disiplin kajian sastra masih kabur. Ada keberatan dari para sastrawan dan pakar sastra terhadap kegiatan "mempsikologikan" karya karya 'sastra, suatu perasaan kuat bahwa persepsi manusia terhadap jiwa telah begitu mendalam dalam karya-karya para penulis ternama sehingga tidak memerlukan bantuan lain, terutama dari eksplorasi ilmiah yang berorientasi psikologi. Di samping itu, penggunaan perlambangan oleh para pengikut Freud dengan cara yang pasti dan kaku telah banyak dikritik Kebanyakan mahasiswa sastra mengetahui bahu lambang-lambang itu sering bersifat universal, lambar tersebut juga sering memiliki makna-makna assosiatif khusus terhadap individu.

Teori kekhawatiran dari Otto Rank sebagai akibat trauma kelahiran, hanya kecil artinya bagi kajian sastra, dan "kompleks inferioritas (rendah diri)" dari aliran Alfred Adler lebih banyak kaitannya dengan masalah-masalah terapi dari memberikan dasar penelaahan bagi pakar sastra kecuali pandangan Adler tentang perjuangan untuk kekuasaan. Sebagaimana dikatakan di atas, pandangan Freud banyak memberikan bahan untuk kajian sastra karena orientasinya terhadap religi dan mistik serta "alam bawah sadar kolektif mereka yang berisikan "memori-memori rahasia”. Menurut pandangan beberapa pakar, aliran Amerika dari Harry Stack Sullivan lebih bermanfaat karena memandang individu sebagai produk dari “hubungan interpersonal" dengan pola kehidupan pada masa kecil, dan khususnya bukan hubungan seksual dengan figur tertentu, yang memainkan peranan penting dalam pembentukan personaliti individ Karena novel sebagian besar berkaitan dengan hubunga hubungan interpersonal, aliran ini lebih banyak menawarkan kemungkinan bagi para mahasiswa sastra. Pendekata pendekatan Karen Horney dan Eric Fromm yang mengambil pemikiran sosiologis dan antropologis dalam membentuk teori-teori mereka, juga berharga untuk diterapkan. Mereka menekankan pada masalah-masalah kultural dari kehidupan seorang individu, bukannya penekanan nah biologis seperti Freud.
Kecenderungan membicarakan masalah-masalah kejiwaan dalam karya karya sastra semakin menonjol pada abad ke 20 ini. Franz Kafka dengan Metamorphosesnya, Thomas Mann dalam karyanya Death in Venice, Sadegh Hedayat (novelis Iran) dengan novelnya The Blind Owl, serta Tennessee Williams dalam karya dramanya A Streetcar Named Desire, merupakan para pengarang sastra yang dikenal selalu membicarakan masalah masalah kejiwaan para pelakunya Sebelum kejatuhan komunisme, para penulis yang disebut dengan sosialis realisme selalu menerapkan ideologi tersebut dalam karya-karya sastra mereka.

Salah satu kajian mengenai kaitan antara kesusasteraan dengan psikologi dapat dilihat dalam artikel yang ditulis oleh Leon Edel yarig berjudul "Literature and Psychology" (dalam Stallnech, Newton P. dan Frenz, Horst, 1961). Leon Edel mengemukakan bahwa hanyalah mulai dari aliran romantik para pengarang sastra yang kreatif yang menyadari adanya kemampuan bagai mimpi bawah sadar. Goethe percaya bahwa fiksinya harus diperkaya dengan pikiran dalam (inner thought) manusia Coleridge mengamati mimpi siang dan mimpi malam, dan Rousseau berusaha menemukan kembali dan mengamati pengalaman masa lalunya, yang kesemuanya memperlihatkan keterlibatan mereka terhadap ek psikologis. Hawthorne berkeyakinan bahwa psikologi akan merumuskan dunia mimpi menjadi suatu Karya-karya pengarang lain, seperti Dostoevsky, Stri Ibsen, dan Henry James, juga memperlihatkan imajinasi mendalam dari para pengarang tersebut dan memotivasi bawah sadar. Namun, hanya sejak 1900-an terbitnya karya Sigmund Freud, Interpretation of Dream para penelaah dan mahasiswa sastra menyadari persamaan antara karya bagai - mimpi sang penyakit kreativitas aktualnya.

Pada tahun-tahun berikutnya, karya-karya mengenai psikoanalisis dapat mengungkapkan n masalah yang menyangkut dengan kemampuan piki alam bawah sadar, konsep pemuasaan ke masalah-masalah neorosis dan sifat asosiatif lambang i yang semuanya dapat diterapkan untuk kajian kesus Untuk kritik sastra dan biografi tulisannya yang lebih adalah tentang hakikat seni dan seniman yang me kumpulan tulisannya tahun 1921 yang Psyhoanalytische Studies an Werken der Dichtu Kunst. Karya ini berisikan kajian psikoanalisis terhad karya Wilhelm Jensen, Gradiva, esainya tentang Leor Vinci, serta kajiannya mengenai "Dostoevsky and p; Freud menganggap seni sebagai "bidang yang menjembatani antara realitas yang ingin ditolak dengan dunia fantasi ingin dipenuhi". Dia berpendapat bahwa isi suatu karya seorang seniman, seperti yang tergambar dalam mimpi dapat mengungkapkan, diluar kesadarannya, apa keinginanl penciptanya. Namun, dia mengakui bahwa psikoanalis dapat menjelaskan asal usul bakat sang seniman dan bahwa ada misteri-misteri dalam kemampuan berkreasi dan yang untuk ini psikoanalisis hanya mampu mengemukakan dugaan tanpa adanya suatu jawaban yang ilmiah.

Pada petmulaan tahun 1920 Wilhelm Stel dalam karyanya Dichtung und Neurose menerapkan buah pikiran imajinatif: Akibatnya, karya Italo Svevo, La Conscience di Zeno, merupakan penerapan psikoanalisis yang alami oleh protagonisnya. Karya Thomas Mann juga berasal dari teori Freud penulis Jerman terkenal ini mengakui jasa Freud dalam esainya "Freud and the Future" yang terbit tahun 1936 di mana dia membicarakan buah pikiran dan tema karya-karyanya yang didasarkan pada psikoanalisis. Ada tiga bidang yang merupakan sumbangan psikoanalisis kepada kajian sastra, yakni: (1) Kritik sastra, (2) Kajian mengenai proses kreatif dalam kesusasteraan, (3) Penulisan biografi.

Dari sejumlah alasan di atas, sastra bandingan cukup strategis memasuki dunia kejiwaan. Bandingan antara psikologi dan sastra menjadi semakin jelas arahnya. Psikologi telah menunjukkan bahwa dalam kesusasteraan kita dapat menjumpai contoh-contoh yang jelas dari imajinatif yang memberikan gambaran tentang psikologi pikir ian cara kerja alam bawah sadar. Pada satu sisi kesusasteraan masih menyerap dan mempelajari psikologi, khusunya konsep-konsep psikoanalisis. Masalahnya bagi kesusasteraan sebagian adalah masalah terminologi, yakni istilah-istilah teknis psikoanalisis diadaptasi secara salah untuk keperluan kritik sastra. Para pengguna psikoanalisis yang paling berhasil adalah para penulis biografi dan kritikus yang telah menemukan cara menerjemahkan istilah-istilah yang khusus kedalam kosa kata yang lebih dikenal dari disiplin mereka sendiri.

E. Karya Sastra dan Filsafat

Kasim (1996:103-118) menjelaskan bahwa sejak zaman dahulu, yakni pada masa keemasan peradaban Yunani klasik, para pemikir telah menguasai berbagai bidang ilmu. Socrates, sebelum menjalani hukuman mati, menulis puisi ketika dia masih berada di penjara. Dia sendiri dikenal sebagai seorang ahli filsafat. Muridnya, Plato (423-347 SM), memiliki bidang pengetahuan yang lebih luas. Dalam berbagai karangannya antara lain Re Symposium, Hippias Minor, Stetesman, Ion, dan Law membicarakan berbagai bidang pengetahuan, mulai politik, filsafat, kepercayaan, hukum, dan kesusasteraan. Demikian pula murid Plato, Aristoteles (384-322 SM) kelihatannya mengikuti jejak gurunya, juga membicarakan berbagai bidang pengetahuan dalam karya-karyanya, Poetics, Politics, Ethics, Rhetorics, Metaphysics, dan Parva Naturalis.

Kaitan antara mite dengan kesusasteraan telah diperlajari para ahli. Ada yang berpendapat bahwa karya; berasal dari mite, namun ada pula yang memandang kesusasteraan dan mite tumbuh dan berk berdampingan. Kita mengetahui bahwa Oedipus Rex bi karya asli ciptaan Sophocles. Kisah Oedipus itu merupakan mite rakyat Yunani klasik yang kemudiar kembali oleh Sophocles dalam bentuk karya drama. Mulai dari pemikiran Plato sampai Socrates (Skilleas, 2001:1) tampak keduanya sebagai sentral pemikir filosofi dunia. Keduanya juga pemberi ilham terkaya bagi perkembangan sastra. Maka merunut keterkaitan sastra dan filsafat tidak akan lepas dari keduanya.
Sekitar abad pertengahan (Middle Ages), buah Plato dihidupkan kembali oleh kaum Neo-Platonist. Karena itu buah pikiran Plato banyak dijumpai pada kesusasteraan Inggris dan Italy. Karya Edmund Spenser (1552-1599), Hymnes in Honour of Love and Beauty (1596) berasal dari Symposiumnya Plato. Pada aliran romantik dikenal apa yang disebut dengan "primitivisme" yang berasal dari buah pikiran Jean Jacques Rousseau (1718-1778) dalam bukunya Discousur les Arts et Sciences (1750). Dalam bukunya, Rousseau (dalam Watt A Homer dan Watt W. William, 1952:395) menekankan bahwa manifestasi tertinggi dari kebijaksanaan terdapat dalam kehidupan mulia masyarakat yan tersentuh oleh kebobrokan masyarakat berbudaya. Pandangan Rousseau ini mengundang berbagai penafsiran. Salah satu penafsiran yang paling menonjol adalah konsepsi yang memandang bahwa pengungkapan puisi yang hanya dijumpai pada orang-orang pedesaan karena yang datang kepada mereka masih bersifat alami dipengaruhi oleh kaidah-kaidah formal penulisan puisi. Konsepsi ini secara jelas diwujudkan oleh William Wordsworth dalam karyanya yang terkenal Preface to Lyrlcal Ballads.

Berbagai buah pikiran filsafat, mulai dari stoicisme, hedonisme, serta positivisme telah mewarnai karya-karya sastra. Aliran naturalis yang berkembang pada penghujung abad ke 19 diketahui memiliki kaitan dengan natural scieace yang menganalogikan tugas seorang novel dengan tugas seorang ahli bedah. Selain itu, aliran tersebut cenderung memuat buah pikiran stoicisme dan determinisme. Demikian pula Ernest Hemingway di katakan selalu menerapkan kedua pandangan filsafat tersebut dalam gambaran perwatakan karya karyanya.

Skilleas (2001:2) adalah penulis ide yang pertama-tama sampai ke tangan saya, yang memberikan gambaran tentang (1) philosophy and literature, (2) literature in philosophy, (3) philosophy as literature, (4) literature as philosophy, dan sejenisnya. Pandangan dia itu, hakikatnya ingin mendudukkan persoalan penting, bahwa ada keterkaitan mendalam antara sastra dan filsafat. Wellek dan Warren (1989) memang pernah membahas panjang lebar tentang hal ini. Namun, melalui pemikiran Skilleas, hubungan keduanya dapat diperluas dan semakin jelas. Saya memandang, bahwa sastra bandingan memang harus menjadi jembatan keduanya.

Apapun alasannya, sastra itu sebuah pemikiran filsafat. Sastra adalah karya filsafat. Pengarang sering menjadi seorang filsuf. Mereka gemar berfilsafat lewat tokoh dan narasi-narasi. Terlebih karya puisi yang padat makna, jelas merupakan buah pemikiran filosofi yang mendalam. Atas dasar hal tersebut berarti bandingan sastra dan filsafat patut dikemukakan. Kalau menengok karya-karya Danarto berjudul Adam Makrifat, jelas merupakan pantulan filosofi tingkat tinggi. Karya ini telah dibandingkan dengan karya berjudul Al Amin. Bandingan dilakukan menggunakan konsep pemikiran Jost. Setelah melalui program penggodogan penulsian esai, komparatis Jamal D Rahman merasa sukses membandingkan kedua karya tersebut. Kalau saya telusuri, hasil bandingan dia jelas terkait dengan ungkapan-ungkapan filsafat. Belum lagi kalau mau menengok karya-karya lain di dunia yang sebenarnya ke arah sufisme, jelas sebagai refleksi filosofi kehidupan yang dalam.

Bahkan Thohari (1988) jauh sebelumnya juga pernah melakukan bandingan antara Danarto dengan Attar (penulis Persia). Hasil kajian bandingan dia menunjukkan bahwa kedua pengarang itu memiliki paham sufisme tingkat tinggi. Sufisme adalah bagian dari filosofi Islam. Jika Attar menulis melalui kesadaran sufistik, Danarto cenderung ke arah enlightenment, artinya pencerahan batin manusia. Biarpun kedua pengarang menggunakan istilah yang berlainan, tetap dapat dipandang memiliki kemiripan arah filosofi kehidupan. Yang jelas masalah sastra bandingan dan filsafat memang sudah tidak harus diragukan. Filsuf sendiri juga tidak sedikit yang gemar bermain sastra. Bahkan filsuf seperti Damardjati Supadjar, amar gemar dengan sastra suluk seperti Sastra Gendhing, Serat Centhini, Serat Kridha Grahita, dan sebagainya. Karya-karya demikian jelas pancaran pemikiran filosofi Jawa, yang patut disandingkan lewat sastra bandingan. Ujung dari semua pelacakan, sebaiknya mengikuti gagasan Shaw (1990:67-71) apakah sastrawan melakukan: (a) terjemahan, dilengkapi dengan proses kreatif, (b) penipuan, melakukan imitasi imajiner yang amat sulit diselami, (c) peminjaman gagasan filsafat ke dalam sastra, (d) keterpengaruhan. Semua hal itu dirunut sumber inspirasinya, agar jelas duduk persoalannya. Tugas sastra bandingan adalah menemukan proses ide filosofi bisa merasuk ke dunia kreativitas. Sebaliknya, juga perlu diketahui sejauhmana para filsuf juga banyak bergumam tentang sastra.

Pemikiran-pemikiran jernih para sastrawan, seperti Taufik Ismail, Tamsir AS, Widiwidayat, Kirjomulyo, Bondan Nusantara, dan lain-lain layak diperhitungkan sebagai studi sastra bandingan. Mereka itu biarpun tidak secara terang-terangan sedang berfilsafat, amat mungkin bahwa karya-karyanya bernuansa filsafat. Bahkan kalau dirunut tulisan psikologis Ki Ageng Suryamentaram pun dapat tergolong karya filosofi, yang layak dibandingkan dengan karya-karya Darmanto Jatman.

0 komentar:

Posting Komentar